MOJOK.CO – North London Derby antara Arsenal melawan Tottenham Hotspur menjadi pertandingan ketiga yang paling banyak ditonton di Inggris dan Eropa.
Oktober tahun 2018, saya berkesempatan bertemu dengan Richard Clarke, orang yang menginisiasi hampir semua kanal media sosial Arsenal. Richard ini orang pertama yang ngetwit menggunakan akun Arsenal di Twitter, langsung dari hapenya sendiri. Saya menyebut beliau sebagai Simbah Medsos Arsenal.
Bagaimana bukan “simbah”, Richard menjadi pondasi salah satu kanal informasi The Gunners. Seperti kamu semua ketahui, informasi itu punya harga yang tinggi di era Revolusi Industri 4.0. Ketika belum banyak klub yang memaksimalkan kanal media sosial, Richard bersama timnya sudah lebih duluan menginisiasi.
Kalau mengikuti perkembangan sejarah klub dari London Utara ini, kamu pasti tahu bahwa klub pertama yang pertandingannya ditayangkan lewat televisi adalah Arsenal. Tepatnya 29 Agustus 1936, ketika The Gunners menjamu Everton di Highbury. Richard Clarke membahasnya dengan begitu antusias.
Richard menjadi begitu mencintai klub ini setelah rajin ikut bapaknya bekerja. Bapak dari Richard adalah seorang wartawan, yang kala itu bekerja menggunakan mesin tik tua. Salah satu laporan pertandingan yang rajin ditulis bapak dari Richard adalah pertandingan Arsenal di Highbury. Cinta ada karena terbiasa. Pameo itulah yang jadi latar belakang kecintaan Richard.
Sesuatu yang diwariskan, biasanya terasa begitu kental, terasa dekat di jati diri seseorang. Apalagi ketika kita bicara soal identitas. Richard menjadi Gooners berkat bapaknya yang wartawan dan juga fans klub ini. Kecintaan itu diwariskan, termasuk juga di dalamnya gengsi daerah, rivalitas dengan semua klub di London. Dan, yang paling panas, adalah North London Derby, melawan Tottenham Hotspur.
Sama-sama berasal dari London Utara, sejarah kedua klub ini kental dengan kisah betapa Spurs itu begitu pecundang. Menelusuri sejarah kelahiran Arsenal pada tahun 1886 di Plumstead, bakal memberimu konteks persaingan yang jauh lebih kental ketimbang persaingan klub satu wilayah.
Yusuf “Dalipin” Arifin, dalam bukunya yang berjudul Dongeng dari Negeri Bola menjelaskan ada sebuah permusuhan yang lebih mendasar, sebuah persoalan resentment (rasa penolakan yang sengit) oleh sebuah kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain yang dianggap asing, bukan penduduk asli alias pendatang.
Adalah sebuah jalur kereta api di jalur Piccadilly yang menjadi akar permasalahan. Sebuah stasiun kecil, sepi, terjepit di antara rumah-rumah penduduk. Dahulu, stasiun di situ bernama Gillespie Road. Namun, pada tahun 1932, jawatan kereta api London mengubah namanya menjadi Stasiun Arsenal atas permintaan dari pengurus klub Arsenal FC.
Jawatan kereta api London bahkan mau bersusah payah mengganti semua peta di setiap stasiun kereta api London demi memenuhi syarat resmi pergantian nama. Permintaan dari klub Meriam itu adalah supaya perpindahan mereka dari Plumstead pada tahun 1931 termantabkan. Sebagai pendatang, mereka sadar harus menegaskan kehadiran mereka di daerah tersebut. Sampai saat ini, hanya Stasiun Arsenal yang menggunakan identitas klub sebagai nama.
Tottenham Hotspur tentu melawan, tapi gagal. Ketika The Gunners boyongan ke Emirates Stadium pada 2006, Tottenham mengajukan petisi perubahan nama stasiun. Namun, pemerintah London tidak menggubrisnya sama sekali. “Kamu lihat itu lapangan bola. Masuk sana dan buktikkan kalau kamu memang pemilik London Utara,” tulis Dalipin menggambarkan betapa tak pedulinya pemerintah London kepada petisi yang diajukan Tottenham Hotspur.
Identitas rival itu jelas dibawa sampai sekarang, terutama ketika Spurs sedang membangun stadion baru. Sematan tunawisma diberikan kepada klub ayam itu lantaran saat ini sedang menumpang di Stadion Wembley. Spurs boleh dua kali mengakhiri musim dengan berada di atas Arsenal. Namun, jangan pernah menyinggung soal sejarah. Sejarah panjang London Utara dipenuhi dengan mural-mural kepecundangan Spurs.
Melawan klub tunawisma, Gooners terancam berbuat dosa. Mengapa?
Karena sebaiknya yang punya menjamu yang tidak punya, bukan sebaliknya. Bermain di Wembley, Arsenal justru yang lebih akrab dengan kebiasaan mengangkat piala. North London Derby bukan pertandingan antar-rival, tapi persaingan halus supaya Gooners tidak berdosa terlalu banyak.
Ibarat kata, ketika ditraktir oleh orang yang “lebih tidak punya”, kamu jangan memilih menu. Serahkan kepada yang “tidak punya” untuk memilih menu makanan. Serahkan kepada Spurs. Terserah mereka mau bilang apa. Termasuk kebanggaan mengakhiri musim di atas Arsenal. Dua kali berturut-turut.
Klub besar tidak dipandang dari dua musim saja. Kalau cara pandangnya begitu, Leicester City jelas lebih BESAR ketimbang Spurs yang belum pernah juara Liga Inggris di era baru.
Bersedekah itu penuh dengan pahala. Itulah yang diajarkan di semua agama. Namun, di sepak bola, “agama bola” mengajarkan kita semua untuk menghajar habis rival di atas lapangan. Oleh sebab itu, Gooners terancam berdosa ketika tidak mau mengalah kepada “klub tunawisma”.
Saking sengitnya persaingan ini, Richard Clarke sampai mengingatkan saya untuk tidak menyebut “Tottenham Hotspur” ketika membahas klub ayam sayur itu. Kami bersepakat untuk menggunakan istilah “that club” untuk merujuk Spurs. Ahh, maaf, maksud saya merujuk kepada ayam sayur, yang di bentang sejarah mereka, yang ada hanya jejak pecundang.