MOJOK.CO – Final Piala Dunia 2018, Prancis vs Kroasia, adalah laga dua tim yang mencintai kekurangan diri sendiri, lalu dengan kerelaan hati mengubah sikap demi “kekasih yang mereka sayangi”.
Setelah 63 pertandingan, termasuk laga perebutan tempat ketiga, Piala Dunia 2018 menyisakan satu panggung lagi. Panggung terakhir, yang akan mementaskan opera antara Prancis vs Kroasia. All European final lagi-lagi terjadi setelah pada gelaran Piala Dunia 2014 mempertemukan wakil Eropa dan Amerika Latin: Jerman vs Argentina.
Europemundial, adalah judul yang digunakan oleh salah satu harian terkenal asal Spanyol AS, setelah Belgia menyingkirkan Brasil. Alhasil, sejak babak semifinal, hanya ada empat tim asal Eropa: Prancis, Inggris, Kroasia, dan Belgia. Pada akhirnya, tim-tim asal Amerika Latin kesulitan menembus ke babak akhir Piala Dunia 2018. Laga final 2018: Prancis vs Kroasia.
Adalah Brasil, negara dari Benua Amerika yang terakhir bisa menjadi juara dunia. Brasil mengalahkan Jerman di Piala Dunia 2002 dengan skor 2-0. Setelah itu secara berurutan, negara-negara Eropa mendominasi. Piala Dunia 2006 dimenangi Italia, 2010 oleh Spanyol, dan 2014 adalah Jerman. Sudah 12 tahun negara Eropa mendominasi.
Yang menjadi anomali di Piala Dunia 2018 kali ini adalah tim-tim dari Benua Amerika yang sampai ke babak perempat final, Brasil dan Uruguay, sebetulnya bermain sangat baik. Uruguay tidak terkalahkan dan tidak kebobolan ketika lolos sebagai pemuncak Grup A. Sementara itu, meski sempat tertahan di laga pembuka oleh Swiss, Brasil bisa memperbaiki diri dan melaju hingga babak perempat final. Brasil menunjukkan keseimbangan dan kedisiplinan, dua hal yang jarang ditunjukkan negara-negara dari Amerika Latin selain Uruguay tahun ini.
Uruguay bahkan menunjukkan cara bertahan yang bisa menjadi contoh banyak negara. Cara bertahan yang membuat Cristiano Ronaldo tak bisa berbuat banyak. Cara bertahan yang tak hanya sekadar menumpuk pemain di dalam kotak penalti. Oscar Tabarez membuat kerja bertahan hampir seperti sebuah seni.
Sementara itu, Brasil menunjukkan caranya meredam agresivitas Meksiko. Sesuatu yang gagal dilakukan Jerman di babak penyisihan grup. Seperti yang disinggung di atas, Brasil di Piala Dunia 2018 tak hanya soal permainan cantik, namun seimbang dan disiplin. Lantas, mengapa segala “yang bagus” itu tak cukup untuk membawa mereka ke babak akhir Piala Dunia 2018? Jawabannya terletak pada performa Prancis dan Kroasia.
Prancis bermain jauh dari kata “nyaman” di babak penyisihan grup. Dengan komposisi pemain yang boleh dikatakan nomor satu, Les Blues menyajikan cara bermain tim level dua. Kita ambil contoh laga Prancis vs Australia (2-1). Kamu boleh menyebut kemenangan Prancis ini sebagai sebuah keberuntungan. Teknologi menolong mereka mencetak dua gol.
Bermain dengan tiga penyerang super kreatif: Kylian Mbappe, Antoine Griezmann, dan Ousmane Dembele, Prancis justru kesulitan untuk masuk ke kotak penalti. Sesuatu yang mungkin tak akan terlihat di laga Prancis vs Kroasia.
Cara bermain tim Ayam Jantan ini menjadi satu dimensi saja, yaitu bermain sebanyak mungkin di sisi lapangan untuk mengeksploitasi kecepatan trio penyerangnya. Lini tengah yang kalah jumlah, tidak kreatif, dan dua bek sayap yang tidak agresif ikut membantu serangan membuat Prancis kehilangan tak punya banyak opsi ketika mencapai sepertiga akhir lapangan.
Adaptasi dilakukan Didier Deschamps, pelatih Prancis, dengan memasukkan Olivier Giroud untuk menggantikan Dembele. Prancis mengandalkan kemampuan Giroud untuk menjadi pemantul umpan satu-dua sentuhan. Keberadaa striker milik Chelsea tersebut menambah variasi Prancis di sepertiga akhir. Meski dua bek sayap mereka masih terlihat canggung, Prancis menjadi lebih baik ketika memanfaatkan sisi lapangan.
Performa Benjamin Pavard (bek kanan) dan Lucas Hernandez (bek kiri) sebetulnya bukan pilihan pertama Deschamps. Untuk sisi kiri, Prancis punya Benjamin Mendy yang lebih seimbang; agresif ketika menyerang dan tangguh ketika bertahan. Untuk sisi kanan, Prancis memang tak punya banyak pilihan. Sempat tampil biasa-biasa saja di babak putaran grup, Pavard dan Lucas memperbaiki diri di babak 16 besar ketika menghadapi Argentina.
Performa pemain menjadi lebih bagus tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang disebut niat, semangat, atau determinasi. Perbaikan performa juga dipicu oleh perubahan cara bermain tim itu sendiri. Fakta ini sangat penting untuk laga final Prancis vs Kroasia nanti.
Untuk babak 16 besar, lalu 8 besar, dan semifinal, Deschamps mengubah pendekatan, dari tim dengan intensi menguasai bola selama mungkin, menjadi tim yang lebih direct, bahkan pragmatis.
Deschamps menitikberatkan cara bermain Prancis kepada keseimbangan. Mereka lebih disiplin sejak lini pertama, dan efisien ketika naik menyerang. Penggunaan tiga gelandang dengan modifikasi peran Blaise Matuidi (atau Corentin Tolisso) membuat lini tengah lebih seimbang dan Paul Pogba bisa bermain lebih ke depan.
Griezmann tidak lagi terpaku sebagai penyerang tengah (seperti ketika melawan Australia) berkat keberadaan Giroud. Mbappe menjadi kanal serangan di sisi kanan, dibantu Pavard, Griezmann, dan Giroud. Oleh sebab itu, Mbappe tak lagi terisolasi ketika menguasai bola seperti ketika melawan Australia.
Mendapat banyak opsi umpan, lawan tak bisa gegabah menekan Mbappe dengan jumlah pemain lebih banyak. Alhasil, Mbappe mendapatkan lebih banyak ruang untuk berakselerasi. Bermain lebih bebas, baik Griezmann dan Mbappe menjadi protagonis Prancis di babak sistem gugur. Perubahan cara bermain, sebuah usaha untuk menutup kekurangan tim, berbuah manis. Prancis menjadi sangat tangguh di paruh akhir Piala Dunia.
Di sisi lain, Kroasia lebih konsisten sejak babak putaran grup. Sadar bahwa mereka tak punya runner atau pemain yang bisa membuat perbedaan dengan penetrasi kecepatan seperti Mbappe atau Griezmann, Kroasia mendasarkan ciri mereka kepada kolektivitas dan efisiensi di depan gawang. Jenis tim Kroasia, pada titik tertentu, sama seperti Prancis, yaitu tak bermain bagus (atau cantik) namun sungguh sulit dikalahkan. Bekal tim Balkan di final 2018 Prancis vs Kroasia nanti.
Kroasia bahkan butuh babak adu penalti untuk menyingkirkan Denmark dan gol di perpanjangan waktu untuk menyingkirkan Inggris. Kamu pasti tahu, Inggris bermain sangat baik ketika mengalahkan Swedia.
Prancis vs Kroasia adalah laga “tim yang sadar”. Sadar akan kekurangan diri sendiri dan mencoba beradaptasi dengan pendekatan yang berbeda. Kesadaran akan kekurangan diri membuat Prancis bisa melewati Belgia yang lebih dominan di semifinal. Prancis hanya menang lewat sundulan kepala Samuel Umtiti, lewat sebuah skema sepak pojok. Selebihnya, Prancis menunjukkan sebuah keseimbangan, memaksimalkan kemampuan pemain yang sebelumnya dirasa kurang pas. Pavard menjaga Eden Hazard secara betul-betul itu contohnya. Pavard yang di babak putaran grup tak terlalu istimewa.
Kroasia tak konsisten di paruh awal babak pertama ketika melawan Inggris. Mereka membuat banyak kesalahan mendasar. Jika Inggris lebih efisien saja, komposisi final sudah pasti bukan Prancis vs Kroasia. Lewat perubahan taktik di babak kedua, Kroasia mampu menekan kreativitas Inggris. Lebih seimbang, Kroasia layak untuk menantang Prancis untuk mengulang laga klasik Piala Dunia 1998 ketika kedua tim ini bertemu di babak semifinal.
Jika di Piala Dunia 1998 Prancis menang dengan skor klasik 2-1, di final Piala Dunia kali ini situasinya lebih sukar untuk diraba. Melihat juara baru di Piala Dunia tentu sangat menyenangkan. Namun, keunggulan individu itu menjadi (sedikit) kelebihan Prancis.
Saya ingin melihat dua tim ini menang. Dua tim yang mencintai kekurangan diri sendiri lalu dengan kerelaan hati mengubah sikap demi “kekasih yang mereka sayangi” (baca: trofi Piala Dunia). Namun tentu laga Prancis vs Kroasia harus ada pemenang dan nampaknya, Piala Dunia 2018 belum akan menghadirkan juara baru.