MOJOK.CO – Biarkan Emil Audero bahagia di Italia beserta ambisi dan cita-citanya. Mari kita nikmati kenyataan pahit di Liga Indonesia.
Edy Mulyadi mengucapkan kalimat itu dengan nada meremehkan. “Mimpi kali.”
Sayangnya, kalimat Edy tersebut sangat sulit untuk ditampik. Indonesia, liga dan timnasnya, bisa dengan sangat mudah untuk diremehkan. Kamu akan kesulitan menemukan kalimat sanggahan ketika timnas Indonesia diremehkan. Nasionalisme? Saya kira ini sebuah konsep yang tidak bisa dipakai di semua situasi.
Salah satunya ketika Emil Audero Mulyadi, lewat mulut bapaknya, menolak tawaran bermain untuk timnas Indonesia. Beberapa kali saya menemukan opini soal nasionalisme dan seseorang yang lupa akan sejarah keluarganya. Dua opini tersebut mungkin terdengar nikmat di telinga. Namun, sayangnya, tidak valid untuk selalu dipakai.
Saya rasa, Emil Audero pasti lebih dekat dengan budaya italiano ketimbang unggah-ungguh wong Jowo. Ini jika menilik dari nama keluarga “Mulyadi”. Ya maaf kalau terdengar mengeneralisasi. Tapi, bagi saya, nama Mulyadi lebih dekat ke Magelang ketimbang Nusa Tenggara Barat, meski dia lahir di sana.
Kedekatan akan budaya itu, tentu ini buat saya pribadi, bakal sangat menentukan pilihan seseorang. Orang akan lebih memilih bekerja atau berkarya di tempat asing tapi budaya setempat sudah lekat kepada dirinya, ketimbang pulang ke “kampung halaman”. Terutama ketika di tempat asing itu, dia punya peluang besar untuk mengukir sejarah.
Hal ini terjadi kepada adik saya. Sebelum 2010, dia sudah sibuk wara-wiri Jogja-Polandia. Selepas kuliah, dia lebih menikmati bekerja di Polandia. Budaya, cara berpikir, kebiasaan, gaji, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, peluang menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi tersedia di sana.
Kini, dia bisa menikmati Lebaran dalam kesendirian. Apakah dia lupa akan asal-usulnya? Tentu tidak. Namun, dia sudah tidak bisa merasakan kenyamanan di Indonesia. Peluang untuk berkembang dan budaya yang sudah melekat akan membuat orang betah.
Di satu titik, bisa jadi Emil Audero berpikir demikian. Budaya Italia lebih lekat kepada dirinya. Bisa jadi dia merasa asing dengan Indonesia dengan segala dinamikan masyarakatnya. Ingat, ini dugaan saya saja. Sangat bisa keliru. Saya hanya berkaca kepada pola pikir dan proses pengambilan keputusan adik saya.
“Terlalu rugi,” kata Edy Mulyadi, bapak Emil Audero.
Apakah membela timnas Indonesia itu akan sangat merugikan Emil Audero? Sekali lagi, tidak akan ada yang menyalahkanmu ketika punya pikiran seperti itu.
Terkadang, kita lupa bahwa pesepak bola itu juga manusia. Mereka punya ambisi dan cita-cita. Lagipula, siapa yang tidak ingin bermain di Piala Dunia. Italia, sebetulnya tidak perlu diperjelas, pasti punya peluang lebih besar ketimbang Indonesia untuk lolos ke kompetisi terbesar di dunia itu.
Rival Emil Audero untuk merebut satu tempat di timnas Italia memang berat. Namun, bukan bearti tidak ada. Menjadi kiper ketiga atau keempat pun tidak masalah. Berangkat ke Piala Dunia sudah memberikan kebanggaan tersendiri. Ambisi Emil Audero, yang disuarakan Edy Mulyadi, tidak salah.
Ada satu kalimat yang menggelitik dari Edy, ketika dia bilang timnas Indonesia itu lolos ke (Piala) Asia saja tidak. Sekali lagi, ini kenyataan pahit yang tidak bisa dibantah. Sebuah gambaran betapa timnas kita sangat tertinggal, bahkan dari rival-rival di Asia Tenggara.
Kenapa timnas kita tidak bisa menembus Piala Asia? Ada banyak sebab dan saya yakin kamu sudah punya gambaran. Satu yang ingin saya tegaskan adalah soal pengelolaan liga. Ingat, timnas yang kuat tidak hanya berasal dari naturalisasi. Saya selalu yakin bahwa timnas kuat itu berawal dari liga yang sehat, kontinu, dan profesional.
Liga Indonesia adalah liga yang lungkrah. Kata lungkrah adalah istilah dalam Bahasa Jawa. Artinya, bisa mengarah ke kondisi ‘lelah’ atau ‘tidak berdaya’. Iya, Liga Indonesia adalah liga yang lelah. Tidak sehat. Terlalu banyak masalah.
Rentetan masalah yang tidak mungkin tidak jadi bahan pertimbangan Emil Audero dan bapaknya. Bapaknya saja sampai bilang, “Di sini tidak ada penghargaan.” Lagi-lagi, kalimat yang menohok, pedas, pahit, tapi fakta.
Salah satu masalah yang saya temui tepat sebelum membuat tulisan ini adalah masalah pengaturan skor di Liga 3. Dilaporkan Jawa Pos, Zha Eka Wulandari, whistlerblower kasus percobaan suap di Liga 3 Jawa Timur mengalami tabrak lari beberapa hari memberikan keterangan di Polda.
Wajah, kaki, dan tangannya luka. Giginya tanggal dua. Tabrak lari ini membuat Zha Eka batal memberikan keterangan di Polda.
Memang, tabrak lari bisa dianggap masuk dalam ranah “bencana”. Sebuah ketidaksengajaan. Namun, jujur saja, rasanya sangat sulit untuk tidak curiga dan gelisah. Ketika seseorang hendak membuka borok liga, mendapat kecelakaan. Sebuah kebetulan? Saya harap begitu. Kebetulan. Meski akal sehat saya agak susah menerimanya.
Suap, pengaturan skor, dan kekerasan sangat sulit dilepaskan dari sejarah panjang sepak bola. Masalah yang bakal sangat mengganggu perkembangan sebuah liga. Emil Audero, lewat mulut bapaknya, tidak salah jika memandang kondisi liga ini sebagai alasan menolak panggilan timnas.
Yah, tidak ada gunanya lagi saya melanjutkan tulisan ini. Saya tahu, semua kalimat yang saya susun sebetulnya sudah ada di kepala pembaca. Saya hanya membantu mencatatnya ke dalam prasasti.
Biarkan Emil Audero bahagia di Italia beserta ambisi dan cita-citanya. Mari kita nikmati kenyataan di Liga Indonesia. Seperti kata Fim Miftah, mantan jurnalis sekaligus guru menulis saya, kita akan tetap mencintai sepak bola Indonesia meski kondisinya sangat kusut. Saya menyebutnya, liga yang lungkrah.
BACA JUGA Match Fixing Terjadi di Liga 1? Sejumlah Wasit Diperiksa dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.