MOJOK.CO – Dia yang menjaga marwah kepak sayap PSS Sleman di klasemen Liga 1. Kepada Irfan Jaya, Sleman fans bisa menjura.
Sudah agak lama saya tidak melihat ada sebuah klub yang sangat bergantung kepada satu pemain. Perkembangan sepak bola, baik dari sisi teknis maupun skema permainan, menuntut sebuah tim untuk menjadi lebih kolektif. Kini, saya menyaksikannya lagi di tubuh PSS Sleman.
Irfan Jaya bukan pemain flamboyan. Bahkan kalau memperhatikannya secara saksama di atas lapangan, pemain berusia 25 tahun itu tidak punya aura yang mendominasi. Dia seperti team player biasa. Namun, tampilan akan selalu menipu mata telanjang kita.
Kultur sepak bola Italia punya istilah protagonista. Sebuah istilah untuk menggambarkan si aktor utama. Dia yang menjadi pembeda di sebuah laga penting. Namun, tetap saja, istilah tersebut dialamatkan kepada si pembeda, bukan pembawa keajaiban.
Nah, di mata saya, Irfan Jaya sudah berada di level “pembawa keajaiban” untuk PSS Sleman. Saat ini, pemain kelahiran Kabupaten Bantaeng itu sudah mencetak enam gol. Jumlah golnya hanya kalah dari barisan striker asing; Ezechiel N’Douassel, Illija Spasojevic, dan Youssef Ezzejjari dengan catatan tujuh gol. Yah, di sepanjang sejarah Liga Indonesia, striker berdarah asing memang kerap mendominasi.
Fakta ini bisa menjadi indikator kualitas striker lokal. Ketika Irfan Jaya mampu mengganggu kenyamanan striker asing, kita langsung tahu betapa krusial keberadaannya bagi PSS Sleman.
Kepak sayap Irfan Jaya
Bagi saya pribadi, pemain berkualitas bukan mereka yang jago teknik saja. Pemain yang bakal menjadi pembeda adalah mereka yang punya mental dan fokus profesional. Mereka yang tahu bahwa tanggung jawab terbesar ada di lapangan hijau dan gangguan non-teknis cuma kentut belaka.
Irfan Jaya, yang matang bersama Persebaya Surabaya, punya mental profesional itu. Kita sama-sama tahu bahwa di dalam tubuh PSS Sleman sedang terjadi badai. Sayap Super Elang Jawa sedang disiksa. Bulu-bulu indahnya rontok oleh brengseknya situasi yang terjadi.
Tidak perlu saya jelaskan lagi, kan….
Berbagai kekacauan yang terjadi tidak membuyarkan fokus seorang Irfan Jaya. Meski PSS Sleman bermain sangat buruk, dia tahu bahwa hasil akhir yang akan selalu dicatat dalam kenangan. Enam gol yang sudah dia koleksi menjadi semacam prasasti bahwa fokusnya adalah hasil akhir. Entah pada akhirnya PSS Sleman kalah (lagi) atau menang dengan cara paling buruk.
Irfan Jaya seperti seorang pahlawan kesepian yang membawa kepak sayap PSS Sleman supaya bisa terus bertahan di kompetisi Liga 1. Jika kelak PSS Sleman bisa bertahan dan keluar dari segala kekacauan ini, saya rasa Irfan Jaya pantas diganjar kontrak seumur hidup dengan nilai kontrak biar dia saja yang mengisi.
Mempersatukan PSS Sleman
Saya jadi ingat nomor punggung yang pernah Irfan Jaya sandang ketika masih membela Persebaya Surabaya dan kini PSS Sleman. Dia mengenakan nomor punggung 41.
Ini memang nomor punggung yang dulu dianggap janggal. Namun, seiring perkembangan zaman, sudah semakin banyak pemain mengenakan nomor punggung “aneh”.
Jangan salah, ada makna luhur dari nomor punggung yang pernah disandang Irfan Jaya. Dan bagi saya, makna nomor punggung pemain dengan tinggi 162 sentimeter itu sangat dibutuhkan klub dan Sleman fans pada umumnya.
Jadi, dalam bahasa Makassar, “angka 4” itu disebut appa’. Sementara itu, “angka 1” disebut se’re. jika digabung, menjadi appa’ se’re. Istilah ini punya makna ‘mempersatukan’. Sebuah makna mulia yang dibutuhkan skuat PSS dan Sleman fans.
Bagi skuat PSS Sleman, chaos yang terjadi pasti sangat mengganggu keharmonisan tim. Sebuah fakta yang seperti luput dipahami manajemen. Di tengah badai ini, yang bisa diandalkan para pemain adalah mereka sendiri. Pilihannya hanya bersatu demi masa depan klub ini di kompetisi tertinggi Indonesia.
Kondisi miris yang terus terjadi pasti menggerus stamina dan mental. Namun, para pemain PSS Sleman bisa menemukan penawar dahaga itu lewat kepak sayap Irfan Jaya. Dia yang selalu bisa tampil profesional di setiap laga dan TIDAK MENYULITKAN kehidupan rekan-rekannya.
Bagi Sleman fans, pilihannya juga hanya bersatu. Menyatukan fokus ke dalam satu misi, yaitu mengembalikan PSS Sleman ke “rumah besar” bernama Kabupaten Sleman. Bukan hanya pulang semata, tapi benar-benar menjadi kesayangan publik Sleman secara utuh tanpa racun di dalam klub.
Sudah lama saya tidak melihat ada satu pemain yang menjadi suara vokal sebuah tim di atas lapangan. Dia yang menjadi panutan di usia 25 tahun. Dia yang menjaga marwah PSS Sleman di klasemen Liga 1. Kepada Irfan Jaya, Sleman fans bisa menjura.
BACA JUGA PSS Sleman Disiksa Tembok Jahat yang Menutup Prambanan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.