MOJOK.CO – Rendahnya kepercayaan diri dan tidak dilatih dengan benar membuat Arsenal semakin terpuruk. Sudah boleh dikatakan kalau The Gunners sedang krisis!
Setelah Arsenal kalah dari Brighton, Hector Bellerin seperti hilang ke dalam lamunan. Bek asal Spanyol itu seperti kehilangan arah.
“Saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya merasa apapun yang kami lakukan selalu tidak benar. Arsenal sudah memberikan yang terbaik, kami membuat beberapa peluang dan bertahan dengan baik. Tapi, rasanya seperti kami harus membuat lebih banyak peluang untuk mencetak gol sementara tim lain bisa bikin gol di setiap peluang. Saya kehilangan kata-kata.”
Pertama, Bellerin berkata kalau Arsenal sudah bertahan dengan baik. Bagaimana bisa mengaku bertahan dengan baik ketika dalam posisi 5 melawan 2, David Luiz sampai harus bikin pelanggaran? Bagaimana bisa bertahan dengan baik, apabila gol kedua Brighton berawal dari kegagalan Bellerin sendiri mencegah Aaron Mooy melepas umpan silang?
Kedua, Bellerin banyak menggunakan kata “merasa”. Artinya, wakil kapten Arsenal itu gagal menganalisis pertandingan. Padahal, sebagai pemain profesional, setidaknya memahami alasan-alasan mendasar dari kekalahan timnya. Ketika dia mengungkapkan perasaan seperti itu, maka sah untuk dikatakan kalau Arsenal memang sudah dalam keadaan krisis.
Ingatan saya terlempar ke sebuah pertandingan di Liga Champions tahun 2004 ketika Manchester United menjamu FC Porto. Old Trafford terdiam ketika Costinha mencetak gol untuk Porto lewat bola rebound. Sedetik kemudian, Jose Mourinho, berlari dari tempat duduk di bangku cadangan menuju sudut lapangan untuk ikut seleberasi bersama pemain-pemain Porto.
Yang saya rekam bukan selebrasi legendaris Mourinho saja, tetapi tim Porto itu sendiri. Di atas kertas, skuat Porto sangat baik. Berisis nama-nama yang dalam beberapa tahun ke depan mengisi halaman muka surat kabar. Namun, waktu itu, nama-nama mereka relatif belum setenar yang kita bayangkan.
Mengapa Porto menjadi sebuah tim yang bagus? Menurut saya perpaduan dua hal. Pertama, karena dilatih dengan benar. Para pemain bermain sesuai posisi dan kelebihan masing-masing. Kedua, pelatih berhasil menanamkan esensi dari sebuah usaha mengarungi kompetisi: determinasi, kepercayaan diri, kedisiplinan, rasa saling percaya, dan segala unsur non-teknis lainnya. Di akhir musim, Porto menjadi juara Liga Champions.
Dua hal penting itu sudah lenyap dari tubuh Arsenal. Masalah yang ada sudah begitu kompleks, sampai Bellerin kehabisan kata-kata. Sepanjang mendukung Arsenal dari tahun 1999, belum pernah saya menyaksikan secara langsung pemain klub ini kehilangan arah. Kepercayaan diri seperti dilucuti secara sempurna.
Dulu, Thierry Henry pernah hampir putus asa ketika tidak kunjung mencetak gol. Perubahan peran dari winger ke striker membuat Henry kesulitan. Namun, dia masih percaya Arsene Wenger punya tujuan. Pun perubahan peran itu memang disesuaikan dengan kelebihan Henry sendiri, bukan karena alasan tim butuh tambahan pemain di lini depan.
Alasan itu yang digunakan Unai Emery ketika mencoba memainkan Lucas Torreira lebih ke depan. Padahal, melihat kelebihan Torreira, dia adalah gelandang bertahan terbaik Uruguay. Kalau begitu inginnya menambah jumlah pemain di lini depan dengan menaikkan satu gelandang, kenapa Emery tidak berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan Aaron Ramsey?
Ada rasa tidak percaya dari pelatih yang ditransformasikan kepada satu pemain. Yang tidak disadari, pesan negatif itu pasti menular. Para pemain juga makhluk sosial. Mereka berinteraksi. Saling curhat dan mengeluh. Jika si pemain adalah sosok yang berpengaruh, kondisi psikologis bisa terpengaruh.
Kerusakan Arsenal berasal dari ketidakpercayaan pelatih yang lama dan keyakinan yang gagal ditanamkan. Menggeser Aubameyang ke sisi lapangan membunuh ketajaman tim. Mendorong Torreira ke depan, merusak keseimbangan tim. Terus memainkan Sokratis dan David Luiz bersama padahal performa terus menurun.
Arsenal harus belajar dari peristiwa Granit Xhaka. Ketika dicadangkan untuk beberapa waktu, Xhaka bermain lebih baik ketika masuk 11 pemain pertama. Namun, semua hal itu tidak ada artinya ketika tim tidak dilatih dengan baik. Di atas kertas, seperti Porto, skuat Arsenal bukan sekumpulan pemain jelek.
Bellerin mengaku tim sudah bertahan dengan baik. Cermati statistik berikut: di kandang sendiri, Arsenal sudah menderita tembakan tepat ke gawang sampai 52 kali. Terbanyak di lima liga besar Eropa. Sepanjang musim era invincibles, Arsenal cuma menderita 48 kali tembakan ke gawang. Sepanjang musim ketika bermain di rumah sendiri.
Saya tidak ingin menghakimi Freddie Ljungberg. Saya rasa masalah Arsenal bukan jenis masalah yang bisa diatasi pelatih tanpa pengalaman. Rendahnya kepercayaan diri membuat jiwa pengecut yang dulu ditularkan Emery sulit dihilangkan. Jiwa pengecut itu membuat delusi semakin nyata.
Ketika para pemain tidak menyadarinya dan Ljungberg terus mencoba formula yang sama, Arsenal akan terjerumus ke dalam krisis lebih dalam. Kini, mereka hanya berjarak 5 poin dari jurang degradasi. Jika melawan Brighton saja menderita 9 tembakan ke gawang, kalah penguasaan bola, dan akhinya kalah, bagaimana ceritanya kalau ketemu tim besar?
Resmi, Arsenal berada dalam krisis….
BACA JUGA Emery Pengecut dan Arsenal yang Dibuat Tak Berdaya Oleh Pelatihnya Sendiri atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.