MOJOK.CO – Penginnya sih, Jokowi jadi tamu yang diundang di nikahan. Kalaupun nggak datang, setidaknya beliau ngasih karangan bunga. Kan keren buat konten Instastory, ya~
Orang Indonesia, memang dikenal dengan masyarakat yang komunal. Jadi, bisa punya banyak kerabat, atau paling tidak ngerasa punya banyak kerabat. Seolah-olah, semua orang yang dikenal bisa langsung jadi teman atau saudara. Langsung kayak punya ikatan khusus. Padahal, mah, nggak juga. Di satu sisi, ini menyenangkan. Contohnya saja kalau kena cegatan. Tinggal sebut nama saudaranya saudara jauuuh yang punya posisi agak bagus di situ dengan gaya meyakinkan. Kalau beruntung, ya, nggak perlu sidang atau bayar.
Tapi sayangnya, di sisi lain hal ini cukup meribetkan. Seperti yang dialami oleh teman saya yang bakal menggelar pesta pernikahannya. Saat ini, ia sungguh mengalami dilema, untuk membatasi pertemanannya yang sebetulnya juga nggak luas-luas amat. Baginya, semua orang yang dia kenal, pasti punya jasa dalam kehidupannya. Hal ini lah yang kemudian membuatnya sungkan, kalau ada salah satu dari mereka yang nggak diundang di nikahan
Penginnya sih, semuanya aja diundang di nikahan. Tapi masalahnya, venue-nya terbatas. Belum lagi kalau udah mulai hitung-hitungan soal katering dan souvenir. Mohon maaf, nih. Budget juga termasuk sumber daya yang terbatas. Jadi, katanya, sangat penting di awal untuk betul-betul menentukan kuota. Dan semua orang yang terlibat, harus patuh dengan kuota tersebut.
Akhirnya, teman saya ini berusaha menyaring dengan saksama teman-temannya. Sementara untuk keluarga dan tetangga, dia menyerahkannya pada orang tuanya. Dia hanya akan fokus mem-filter teman-temannya. Baik teman bergaul yang bener dan nggak bener, teman kerja, hingga teman sekolahnya. Untuk teman sekolah, tidak hanya teman sejak TK, tapi juga sejak PAUD. Jadi, dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, hingga S3. Semuanya dia telaah satu persatu, membuatnya pusing. Untungnya, ada grup chat yang memudahkannya mengingat nama teman-temannya dengan hanya membuka bagian anggota grup.
Setelah semua data terkumpul. Dia bagi mereka-mereka ini dalam tiga klasifikasi atau prioritas. Yakni, yang perlu diundang di nikahan, yang mungkin diundang, dan nggak perlu-perlu amat diundang. Dia akan memprioritaskan dari teman-teman yang masing sering callingan sama dia, baik via chat maupun media sosial. Baginya, orang-orang yang masih berhubungan baik dengannya dalam satu tahun terakhir, menjadi bagian dari mereka yang sebaiknya diundang di nikahan.
Meski sudah berusaha nge-list mati-matian, ternyata teman saya ini tak cukup rela tidak mengundang orang-orang yang masuk kategori “mungkin diundang”, atau “nggak perlu-perlu amat diundang”. Lagi-lagi karena dia merasa, mereka pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Mungkin, kita memang pernah akrab dengan mereka pada suatu masa. Namun, bukankah tidak semuanya masih menjalin hubungan yang sedekat dulu? Oleh karenanya, memikirkan lagi kapan kita terakhir bertemu dan berbicara dengan mereka, menjadi penting. Jangan sampai, kita menuliskan namanya sekadar karena perasaan bersalah tidak mengundangnya. Terkadang, kita memang memerlukan rai gedek, Saudara-saudara.
Masalah selanjutnya, tidak berhenti di situ. Setelah dia sudah berusaha keras memfilter semua nama-nama itu, ternyata ketika datanya dikumpulkan dengan data orang tuanya. Naudzubillah, data dari mereka saja ternyata sudah di luar kuota. Rata-rata dengan pertimbangan: orang tuanya pernah diundang di nikahan, saat pernikahan anak mereka.
Doa semakin tak habis pikir, bagaimana mungkin dia sanggup menyalami orang-orang yang sebegitu banyaknya. Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk menjaga dirinya supaya tetap tersenyum dan tampak bahagia saat dipampang di atas pelaminan semacam itu—padahal badan pasti bakal nyut-nyutan setelah menyiapkan segala hal sebelumnya.
Dia pun mulai mempertimbangkan lagi nama-nama yang telah di-list-nya sendiri. Kira-kira apa yang harus dia lakukan untuk menyiasati data nama dari orang tuanya—yang tampak seenaknya itu. Kalau dia harus memapas lagi, apa kata mereka? Nanti kalau mereka tersinggung karena merasa nggak dianggep temen, gimana? Kan ribet, ya? Tapi, kalau nggak dibatasi dengan maksimal, justru malah jadi masalah. Gimana kalau nanti, acaranya malah berjalan dengan ungkep-ungkepan? Hadeeeh, mung ate kawin ae, kok ribet biaaanget!
Meyakinkan orang tuanya untuk mengurangi sedikit lagi tamu yang diundang di nikahan, sulitnya sungguh karuan. Apalagi, mengharapkan sebuah pesta pernikahan yang intim, yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat. Hanya bersalaman dengan orang-orang yang dikenal saja. HAHAHA, sepertinya itu sebuah mimpi yang ketinggian.
Ya, maaf nih, ini di Indonesia. Bilang ke orang kalau ngarepin acara nikahan yang begituan, supaya teman-teman mereka yang diundang di nikahan nggak kebanyakan? Yang ada sih, disuruh bikin acara sendiri! Hadeeeh, kalau kebanyakan pesta, KAPAN BELI RUMAHNYA?
Yaudah, akhirnya, teman saya ini berusaha menerima bahwa dia nggak akan bisa membahagiakan semua orang. Meski akan ada kemungkinan dia dimusuhi oleh teman-teman yang tidak diundang di nikahan. Tapi, mau bagaimana lagi. Di bisa apa, Kisanak? Di Indonesia, pesta pernikahan itu menjadi pestanya orang tua. Pasalnya, hal ini dianggap menjadi salah satu fase hidup, yakni melepaskan kita sebagai anaknya untuk memulai kehidupan baru dengan anaknya orang lain.
Jadi, lebih baik mengurangkan rasa terlalu peduli dengan orang lain. Jangan biarkan mereka-mereka ini membuat kamu merasa bersalah. Toh, dengan nggak jadi tamu yang diundang di nikahan, bukankah mereka sebetulnya bisa tersenyum bahagia?
Pertama, nggak perlu ribet-ribet ngeluarin uang sebagai sumbangan. Kedua, nggak perlu ribet cari outfit yang seolah telah menjadikan kondangan menjadi fashion show terselubung. Ketiga, ehm, ya weekend-mu bisa dipergunakan untuk kegiatan lainnya. Misalnya, tidur sampai Zuhur. Jadi hemat, meski nggak dapat makan gratisan, sarapannya bisa dirapel sama makan siang.
Udahlah, penting nggaknya kehadiran temenmu ke nikahan. Bukankah yang terpenting adalah kehadiran si pasangan? Kalau yang ini, mah, nggak perlu pakai filter-filter an, ya!