MOJOK.CO – Situasi politik Indonesia sedang panas. Masyarakat terbelah menjadi dua. Jika kita mengkritik Jokowi, serta merta akan disebut sebagai Kampret.
Susah juga menjadi warga negara yang ingin menjalankan demokrasi di sebuah negara yang saat ini pilihan politiknya hanya terbelah menjadi dua kubu. Kalau kamu mengkritik Prabowo berarti kamu Cebong. Sedang kalau kamu mengkritik Jokowi berarti kamu Kampret. Sesederhana itu.
Namun masalahnya, kita tidak dapat setaklid itu dalam memilih seorang pemimpin. Bagaimanapun juga seorang pemimpin kan masih manusia. Pasti ada dong kesalahannya. Nah, supaya dia dapat mengambil keputusan dengan lebih tepat dan seksama, diperlukan masukan dan kritikan untuk kebahagiaan semuanya.
Sayangnya, dalam situasi yang sedang panas-panasnya ini, ketika kita ingin mengkritik Jokowi—yang saat ini masih menjabat sebagai Presiden—serta merta langsung dituduh sebagai Kampret. Atau dituduh simpatisannya “kubu sebelah” yang cuma bisa ngritik doang tapi nggak bisa ngasih solusi konkret. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Ini adalah sesuatu yang menyebalkan. Apakah sebagai pendukung memang harus se-militan itu? Oke oke saja dengan keputusan yang didukung dan memilih bungkam untuk memberikan catatan perbaikan. Iya? Hooh?
Aduh mama sayange, kondisi semacam ini kan jadi nggak enak ya. Kita yang sebenarnya sangat sayang dengan negara ini dan tidak ingin hancur begitu saja—sehingga pengin memberi masukan kepada Bapak Presiden yang terhormat—dituduh sebagai antek kubu lawan. Sebetulnya masalah dituduh ini tidak menjadi masalah. Namun yang terjadi kemudian, dengan dituduh seperti itu, lantas apapun yang kami katakan, nggak bakal dipercaya dan hanya dianggap sebagai angin lalu.
Untuk kamu para pendukung Jokowi ataupun tidak mendukung salah satu pasangan, namun mengharapkan kenyamanan yang lebih paripurna dalam berjalannya negara ini. Kami punya beberapa saran yang dapat kamu lakukan. Supaya tetap dapat mengkritik Jokowi namun tidak ingin disebut sebagai Kampret. Apa sajakah itu?
Pertama, kita tahu bahwa kedua anak lelaki Jokowi yakni Gibran dan Kaesang memilih jualan makanan. Gibran terkenal dengan Makobar-nya, sedangkan Kaesang terkenal dengan Sang Pisang-nya. Kedua makanan ini tentu sangat hits bagi kaum milenial—seperti saya. Konon katanya, keduanya punya ‘warung perwakilan’ yang ditempatkan di berbagai kota di Indonesia.
Tentu kita dapat memanfaatkan warung perwakilan itu dengan sebaik-baiknya sebagai sarana mengkritik bapaknya. Namun saya sarankan beli ke warungnya Kaesang saja. Soalnya Kaesang terlihat lebih ramah dibanding Gibran. Jadi daripada dimarahin serta untuk meminimalisir risiko, mending ke Kaesang saja. Gitu.
Supaya kita tidak disebut Kampret, lakukan hal sederhana ini, yakni beli Sang Pisang secukupnya—beli banyak juga boleh kalau ada duitnya. Lalu foto se-epic mungkin, plus wajah selfie kita juga tidak apa-apa biar lebih mantab. Kemudian upload ke Twitter—Fyi, Kaesang lebih komunikatif di Twitter, tuliskan caption dengan me-mention Kaesang, “Kaesang, Sang Pisangnya enak nih, taburan keju di atasnya mantab banget. Oh iya, titip salam buat bapak ya, tolong sampein kok tarif dasar listrik semakin mahal ya. Padahal kan nggak bisa gitu, bla bla bla. Makasih ya. Sukses terus buat Sang Pisang.” Dijamin, bakal di-retweet sama Gibran pakai akun @chilli_pari nya.
Kedua, kalau yang ini sepertinya butuh modal lebih besar dan nggak sesederhana seperti saran sebelumnya. Jadi begini, kumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sewa salah satu baliho besar di perempatan lampu merah. Minta tolong temanmu yang bisa desain kalau kamu nggak bisa desain dan butuh desain yang ciamik. Namun sebetulnya dalam hal ini desain tidak penting. Kalaupun kamu desain sendiri dengan bantuan WordArt ataupun Paint saja, menjadi tidak masalah.
Yang terpenting, asalkan di dalam baliho tersebut terpampang tulisan yang jelas dibaca, seperti ini, “Menteri Puan Maharani bekerja sangat hebat. Sampai-sampai selamat dari reshuffle. Sungguh, Nawacita sukses besar.”
Ketiga, jika memang kamu tidak punya modal dan nyali sebesar itu. Kamu bisa lakukan dengan cara yang lebih sederhana hanya dengan memanfaatkan sosial mediamu—yang katanya gratis itu. Atau justru kamu malah bisa mendapatkan honor, kalau ditulis dengan rapi sepanjang 800-1000 kata dan dikirimkan ke email [email protected] disertai nama dan nomer rekeningnya. Namun jika kamu tidak terlalu bernyali sebab takut kalah saingan dengan penulis lainnya, ya sudah share di Facebook, Twitter, atau Instagram-mu juga bisa.
Intinya, kamu tulis sebuah surat terbuka. Berbicara dengan baik-baik, dari hati ke hati. Tidak menggunakan kemarahan, tidak menggunakan cacian. Cukup menulis dengan kalimat yang santun dan mengeluhkan tentang e-KTP yang tak kunjung ada wujudnya, biaya sekolah yang semakin mahal, intoleransi yang semakin menjadi, dan segala keresahanmu lainnya yang meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Keempat, jika tingkat kemangkelan-mu pada Jokowi sudah mencapai ubun-ubun. Lantas kamu merasa ingin mengeluarkannya dengan sumpah serapah supaya lega, namun tetap tidak ingin disebut sebagai seorang Kampret. Tenang saja, Mojok Institute punya solusinya.
Marah-marah saja kepada Jokowi secara terbuka. Mau pakai demo kek, mau pakai video kek. Ter-se-rah. Namun, supaya kamu tidak dituduh sebagai Kampret, pakai saja kaos merah dengan gambar palu dan arit. Niscaya kamu bakalan disebut sebagai PKI, bukan Kampret. Gimana, penak, toh?