MOJOK.CO – Masa depan Indonesia lima tahun ke depan, tidak hanya ditentukan oleh presiden dan wakilnya. Jangan lupakan peran DPR di dalamnya, yang besok ikutan Pemilu juga.
Sepertinya gegap gempita Pilpres 2019 memang menyeruak dalam berbagai lini kehidupan kita. Rasa-rasanya lingkungan sekitar kita tak ada bosan-bosannya memberikan penilaian dan membandingkan kedua pasangan capres-cawapres tersebut untuk menentukan: mana yang terbaik. Ternyata, di tengah semarak tersebut, diam-diam kita sedang melupakan pemilihan lain yang juga diadakan pada musim ini, yakni…
…Pemilihan Legislatif (Pileg), yang pada periode ini dilakukan di saat yang bersamaan dengan Pilpres. Sayangnya, kita hanya sibuk menilai sejauh mana—kemungkinan—kemampuan Jokowi dan Prabowo untuk mengatasi permasalahan di Indonesia. Seolah-olah segala beban negara hanya ada di tangan mereka. Namun kita lupa, bahwa ada pula peran para wakil kita, sehingga kita abai untuk menilai mereka yang bakal duduk di DPR, DPD, ataupun DPRD yang katanya, akan bekerja untuk membuat kebijakan sesuai dengan kebutuhan kita.
Masalah ‘lupa’ ini bisa dikatakan sudah cukup gawat. Begini, kira-kira di antara kita berapa banyak yang setidaknya sudah tahu, siapa saja calon-calon DPR, DPRD atau DPD yang menjadi perwakilan daerah pemilihan kita? Iya, paling nggak tahu nama-namanya dulu aja~
Jangan sampai, kita hanya sebatas tahu tentang si Tsamara Amany, Fadli Zon, Fahri Hamzah, atau Mas Kokok Dirgantoro saja. Pasalnya, bisa jadi tokoh-tokoh yang sudah populer dan diam-diam kita idam-idamkan itu, ternyata justru mencalonkan diri sebagai wakil rakyat bukan dari dapil kita. Misalnya kita ngefans dengan PSI sebagai partai baru yang terasa milenial dengan Tsamara sebagai lakon kekinian yang terlihat akrab dan cerdas. Tapi begitu nanti membuka surat suara, kita nggak akan pernah menemukan foto Tsamara. Ya gimana, lha wong kita terdaftar sebagai pemilih di Wonogiri.
Lantas, dengan mudahnya kita jadi asal memilih. Hanya berdasarkan nama yang kira-kira familiar ketika dibaca. Nama yang ternyata mirip dengan orang yang kita suka, atau nama-nama yang meninggalkan memori baik dalam pikiran kita. Atau bahkan karena saking nggak tahu lagi harus memilih siapa. Kita malah memilihnya dengan menghitung kancing, melihat nomor urutnya dengan otak-atik tanggal lahir atau nomor keberuntungan kita. Tapi, masak ya dengan kemudahan teknologi untuk mengenal orang lain, kita memilih pemimpin dengan cara semacam itu? Itu sosial media jangan dipakai buat ngepo hidup mantan yang udah bahagia aja dong!!!11!1
Nggak tanggung-tanggung loh, dalam Pileg mendatang kita turut menentukan setidaknya 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Ini masih belum termasuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota-nya. Bayangkan, Saudara-saudara, padahal berbagai macam kebijakan kita percayakan kepada mereka~
Oleh karena itu, supaya perilaku ngawur ketika memilih wakil kita semacam ini tidak terjadi, selain mengenal pasangan capres-cawapres yang bakal maju ‘bertanding’ besok. Kita juga memiliki kewajiban untuk tahu lalu mengenal siapa saja calon wakil rakyat yang berada di dapil kita. Ini memang sebuah saran sepele yang sudah disampaikan berkali-kali. Namun, berapa banyak dari kita yang berusaha untuk melakukan hal yang sungguh sepele ini?
Selanjutnya, jika kita sudah mengetahui para calon-calon ini, mulai pelajari rekam jejaknya. Hal paling mudah adalah Googling saja setiap nama calon tersebut. Kira-kira ada prestasi atau justru kasus apa yang mengikuti jejak digitalnya. Kalau dia merupakan wakil rakyat incumbent atau pernah menjabat posisi tertentu di pemerintahan kita bisa cek juga harta kekayaannya lewat platform LHKPN KPK. Tentu kalau dia ternyata adalah calon yang kaya dengan rumah dan tanah di mana-mana, hal ini tidak lantas membuat kita berkeinginan untuk meminta uang jajan kepada mereka. Mengenai jumlah kekayaan ini, merupakan pedoman kita untuk mengecek, apakah kekayaannya dalam jumlah wajar dan bisa ditelusuri—kebenarannya?
Dalam mempelajari rekam jejak ini, kejahatan yang perlu diwaspadai adalah apakah sebelumnya dia pernah berhubungan dengan kasus korupsi maupun politik uang, atau tidak. Bukannya bermaksud mengabaikan kejahatan lainnya—semisal pencurian, penganiayaan, dan semacamnya. Begini loh, pasalnya, dua kejahatan tersebut adalah tipe kejahatan yang sangat dekat pencideraan kepercayaan publik. Pejabat itu kan pembantu rakyat. Mereka kita bayar—dan kita pilih—karena kita percaya bahwa mereka mampu mengurusi negara. Jika pejabat tersebut bahkan ketika pemilu saja masih menyuap calon pemilihnya, apalagi ternyata sebelumnya sudah pernah melakukan tindak pidana korupsi. Lebih baik, berpikir dua kali atau berkali-kali juga nggak apa-apa untuk memilihnya. Masak ya kita mau dicederai lagi~
Ya, mau bagaimana lagi. Sepanjang tahun kita sudah terlalu sering mengutuki wakil rakyat yang kerjanya nggak becus. Nah inilah sedikit momen kita sebagai rakyat untuk bisa melakukan perbaikan. Setidaknya dengan berusaha meminimalisir peluang terpilihnya lagi wakil-wakil rakyat yang sering jadi biang kerok. Atau kita nantinya hanya melihat mereka-mereka lagi yang bakal berulah di kursi parlemen. Masak ya, kita malah menjadi bagian dari melanggengkan wakil rakyat yang… misuh-able.