Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Bahagia Itu Bukan Tanggung Jawab Jodoh, tapi Diri Sendiri

Audian Laili oleh Audian Laili
3 Januari 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ada anggapan hidup kita akan bahagia ketika bertemu dengan jodohnya. Namun, yang perlu kita pahami, bahagia itu tanggung jawab diri kita sendiri. Bukan orang lain.

Kita hidup di dalam budaya yang menganggap pernikahan sebagai ‘puncak’ dari pencapaian manusia—sebelum pencapaian lain dengan punya rumah, mobil, dan anak. Maka tidak mengherankan jika orang-orang sekitar kita, baik yang dekat maupun yang nggak kenal-kenal amat, dengan baik-baik atau bahkan annoying sering bertanya, apakah kita sudah punya pacar? Sudah bertemu sama calon jodoh? Atau jika sudah bertemu, pertanyaan selanjutnya adalah, ‘Kalian kapan menikah?’

Intinya, pertanyaan perkara jodoh ini terus ditanyakan dalam banyak kesempatan. Seakan-akan jodoh memang betul-betul dianggap sebagai pencapaian tertinggi bagi kita-kita yang sudah cukup dewasa tapi terlihat masih sendiri. Abaikan saja itu gelar pendidikan, karier tinggi yang dicapai. Selama kita belum menikah, berarti hidup kita tidak lengkap. Tampak tidak terurus dan sangat kasihan sekali.

Dulu, menikah memang dijadikan sebagai kebutuhan. Menikah merupakan jalan yang harus ditempuh jika seseorang ingin meneruskan keturunan. Memiliki banyak keturunan pada zaman dulu, memang sangat dibutuhkan. Pasalnya bumi masih sangat luas. Masih banyak tempat kosong yang bisa dikuasai. Lha kalau sekarang? ke mana-mana aja rasanya udah empet-empetan.

Selain untuk meneruskan keturunan, dalam budaya Jawa, menikahkan anak merupakan tanggung jawab orang tua. Maka tidak mengherankan, jika kita terus menerus mendapatkan pertanyaan tersebut dari orang tua atau saudara dekat kita. Pasalnya, dalam budaya Jawa, hal ini menjadi tanggung jawab terakhir orang tua sebelum betul-betul menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, biasanya bagi beberapa keluarga, setiap calon yang akan bersanding dengan kita betul-betul diselediki dengan saksama.

Meski terkesan bawel dan rewel, pertanyaan ini sebetulnya sebagai bentuk rasa cemas orang tua, apalagi kalau ngelihat anaknya nggak ada tanda-tanda dekat dengan lawan jenis. Lantaran, banyak orang tua takut jika tidak dapat mengantarkan anaknya kepada pasangan yang diharapkan menjadi jodoh dunia akhirat itu.

Namun, ada sebuah postingan mengenai ‘bertemu jodoh’ ini dengan alasan yang kurang dapat saya pahami. Dalam sebuah postingan di akun Instagram tersebut, ia mengungkapkan intinya: orang gampang marah itu karena kurang kasih sayang, jadi dia nggak butuh ke psikolog, butuhnya jodoh.

Ini postingan aslinya,

View this post on Instagram

A post shared by Gerakan Nikah Muda (@gerakannikahmuda)

Sebetulnya, saya tidak terlalu memahami apakah kata-kata dalam postingan tersebut sekadar bercanda atau tidak. Namun postingan yang ternyata berasal dari kata-kata seorang doktor psikologi dan trainer motivasi psikologis tersebut memang memunculkan anggapan bahwa, ‘menikah adalah solusi dari segala permasalahan.’ Welok, udah ngalah-ngalahin Pegadaian aja, nih!

Jika anggapan ini akhirnya berhasil menumbuhkan kesadaran tinggi bagi generasi muda untuk menikah muda, maka mohon maaf, harus saya nyatakan dengan jelas bahwa profesi psikolog—ataupun profesi trainer motivasi psikologis seperti bapaknya—tidak lagi di butuhkan di dunia ini. Eh, di Indonesia aja ding kayaknya.

Jadi, untuk teman-teman yang telah dan sedang kuliah psikologi hingga tingkat profesi atau master, lebih baik cari alternatif profesi lain dengan segera, ya. Atau kalau ada yang sebetulnya berniat kuliah di jurusan psikologi, lebih baik urungkan saja niat itu. Sepertinya, profesi ini tidak akan terlalu berguna lagi, karena tidak sanggup membantu mengatasi masalah psikologis apa pun. Mengapa? Saya tekankan sekali lagi, merunut dari yang disampaikan sebuah akun dengan follower ratusan ribu itu, bahwa solusi dari segala permasalahan adalah…

…bertemu jodoh dan menikah. Titik.

Iklan

Selain itu, hal lain yang bikin gagal paham dari postingan tersebut, karena adanya anggapan kalau kasih sayang hanya bisa kita dapatkan dari jodoh semata. Hal ini dengan jelas mengabaikan kasih sayang dari orang tua, saudara, dan teman-teman dekat kita. Padahal, kasih sayang mereka nyata adanya, tanpa pamrih, dan tanpa meminta balasan apa-apa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia!

Jadi, kok bisa-bisanya kita malah tidak menghargai sebuah kasih sayang yang jelas-jelas ada di depan mata? Lantas sibuk mencari kasih sayang pada seseorang yang belum tentu akan bisa menerima kita apa adanya, belum tentu sanggup membuat hidup kita tenang tanpa banyak drama.

Ehm, terus kalau udah punya pasangan tapi masih belum juga bahagia, itu artinya harus menemukan jodohnya lagi, dong? Eh, atau gimana?

Selain itu, jika hubungan antara kebutuhan kasih sayang dan bertemu jodoh tersebut supaya kita tidak mudah marah-marah alias selalu merasa bahagia, sepertinya ada sedikit yang ingin saya revisi. Begini, seharusnya kebahagiaan diri kita itu tidak ditentukan oleh orang lain. Tidak ada seorang pun yang berhak menentukan bahagia kita. Kita sendirilah yang bertanggung jawab dengan diri kita, dengan kebahagiaan kita.

Jika seakan-akan yang bertanggung jawab dengan kebahagiaan kita adalah si jodoh, maka kita hanya akan bergantung dengannya dan kita tidak bisa betul-betul hidup mandiri. Maka tidak mengherankan jika akan semakin banyak kasus bunuh diri karena patah hati. Pasalnya, ketika bahagia diletakkan pada orang lain. yang kita anggap nggak bakal jahat. Lantas suatu hari dia menyakiti kita, maka dengan mudahnya kita merasa hidup kita runtuh. Tidak punya pegangan dan tidak tahu arah untuk melangkah. Terombang-ambing seperti daun jatuh yang tidak membenci dihembus angin.

Pernak-pernik pesta pernikahan yang dipamerkan oleh following Instagram kita, memang sangat menggoda. Apalagi hal ini seakan juga mendapatkan pembenaran dari akun-akun hijrah yang menggerakkan untuk menikah muda. Namun, menilik dari perkataan teman saya, jatuh cinta adalah euforia sesaat, butuh kerja keras untuk mempertahankannya. Begitu pula dengan yang namanya pernikahan, meski ‘terlihat’ membahagiakan di sosial media, tetapi yang namanya ‘hidup baru’ tentu juga punya tanggung jawab yang baru.

Jadi, yakin nih, udah siap belum dengan tanggung jawab yang baru? Kalau sekadar untuk bahagia saja masih menjadi tanggung jawab orang lain.

Terakhir diperbarui pada 24 Februari 2019 oleh

Tags: Bahagiajodohmenikahtanggung jawab bahagia
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Tepuk Sakinah saat bimbingan kawin bikin Gen Z takut menikah. Tapi punya pesan penting bagi calon pengantin (catin) sebelum ke jenjang pernikahan MOJOK.CO
Ragam

Terngiang-ngiang Tepuk Sakinah: Gen Z Malah Jadi Males Menikah, Tapi Manjur Juga Pas Diterapkan di Rumah Tangga

26 September 2025
Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4
Video

Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4

24 Februari 2025
Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja MOJOK.CO
Ragam

Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja

10 Januari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.