MOJOK.CO – Ada anggapan hidup kita akan bahagia ketika bertemu dengan jodohnya. Namun, yang perlu kita pahami, bahagia itu tanggung jawab diri kita sendiri. Bukan orang lain.
Kita hidup di dalam budaya yang menganggap pernikahan sebagai ‘puncak’ dari pencapaian manusia—sebelum pencapaian lain dengan punya rumah, mobil, dan anak. Maka tidak mengherankan jika orang-orang sekitar kita, baik yang dekat maupun yang nggak kenal-kenal amat, dengan baik-baik atau bahkan annoying sering bertanya, apakah kita sudah punya pacar? Sudah bertemu sama calon jodoh? Atau jika sudah bertemu, pertanyaan selanjutnya adalah, ‘Kalian kapan menikah?’
Intinya, pertanyaan perkara jodoh ini terus ditanyakan dalam banyak kesempatan. Seakan-akan jodoh memang betul-betul dianggap sebagai pencapaian tertinggi bagi kita-kita yang sudah cukup dewasa tapi terlihat masih sendiri. Abaikan saja itu gelar pendidikan, karier tinggi yang dicapai. Selama kita belum menikah, berarti hidup kita tidak lengkap. Tampak tidak terurus dan sangat kasihan sekali.
Dulu, menikah memang dijadikan sebagai kebutuhan. Menikah merupakan jalan yang harus ditempuh jika seseorang ingin meneruskan keturunan. Memiliki banyak keturunan pada zaman dulu, memang sangat dibutuhkan. Pasalnya bumi masih sangat luas. Masih banyak tempat kosong yang bisa dikuasai. Lha kalau sekarang? ke mana-mana aja rasanya udah empet-empetan.
Selain untuk meneruskan keturunan, dalam budaya Jawa, menikahkan anak merupakan tanggung jawab orang tua. Maka tidak mengherankan, jika kita terus menerus mendapatkan pertanyaan tersebut dari orang tua atau saudara dekat kita. Pasalnya, dalam budaya Jawa, hal ini menjadi tanggung jawab terakhir orang tua sebelum betul-betul menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, biasanya bagi beberapa keluarga, setiap calon yang akan bersanding dengan kita betul-betul diselediki dengan saksama.
Meski terkesan bawel dan rewel, pertanyaan ini sebetulnya sebagai bentuk rasa cemas orang tua, apalagi kalau ngelihat anaknya nggak ada tanda-tanda dekat dengan lawan jenis. Lantaran, banyak orang tua takut jika tidak dapat mengantarkan anaknya kepada pasangan yang diharapkan menjadi jodoh dunia akhirat itu.
Namun, ada sebuah postingan mengenai ‘bertemu jodoh’ ini dengan alasan yang kurang dapat saya pahami. Dalam sebuah postingan di akun Instagram tersebut, ia mengungkapkan intinya: orang gampang marah itu karena kurang kasih sayang, jadi dia nggak butuh ke psikolog, butuhnya jodoh.
Ini postingan aslinya,
Sebetulnya, saya tidak terlalu memahami apakah kata-kata dalam postingan tersebut sekadar bercanda atau tidak. Namun postingan yang ternyata berasal dari kata-kata seorang doktor psikologi dan trainer motivasi psikologis tersebut memang memunculkan anggapan bahwa, ‘menikah adalah solusi dari segala permasalahan.’ Welok, udah ngalah-ngalahin Pegadaian aja, nih!
Jika anggapan ini akhirnya berhasil menumbuhkan kesadaran tinggi bagi generasi muda untuk menikah muda, maka mohon maaf, harus saya nyatakan dengan jelas bahwa profesi psikolog—ataupun profesi trainer motivasi psikologis seperti bapaknya—tidak lagi di butuhkan di dunia ini. Eh, di Indonesia aja ding kayaknya.
Jadi, untuk teman-teman yang telah dan sedang kuliah psikologi hingga tingkat profesi atau master, lebih baik cari alternatif profesi lain dengan segera, ya. Atau kalau ada yang sebetulnya berniat kuliah di jurusan psikologi, lebih baik urungkan saja niat itu. Sepertinya, profesi ini tidak akan terlalu berguna lagi, karena tidak sanggup membantu mengatasi masalah psikologis apa pun. Mengapa? Saya tekankan sekali lagi, merunut dari yang disampaikan sebuah akun dengan follower ratusan ribu itu, bahwa solusi dari segala permasalahan adalah…
…bertemu jodoh dan menikah. Titik.
Selain itu, hal lain yang bikin gagal paham dari postingan tersebut, karena adanya anggapan kalau kasih sayang hanya bisa kita dapatkan dari jodoh semata. Hal ini dengan jelas mengabaikan kasih sayang dari orang tua, saudara, dan teman-teman dekat kita. Padahal, kasih sayang mereka nyata adanya, tanpa pamrih, dan tanpa meminta balasan apa-apa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia!
Jadi, kok bisa-bisanya kita malah tidak menghargai sebuah kasih sayang yang jelas-jelas ada di depan mata? Lantas sibuk mencari kasih sayang pada seseorang yang belum tentu akan bisa menerima kita apa adanya, belum tentu sanggup membuat hidup kita tenang tanpa banyak drama.
Ehm, terus kalau udah punya pasangan tapi masih belum juga bahagia, itu artinya harus menemukan jodohnya lagi, dong? Eh, atau gimana?
Selain itu, jika hubungan antara kebutuhan kasih sayang dan bertemu jodoh tersebut supaya kita tidak mudah marah-marah alias selalu merasa bahagia, sepertinya ada sedikit yang ingin saya revisi. Begini, seharusnya kebahagiaan diri kita itu tidak ditentukan oleh orang lain. Tidak ada seorang pun yang berhak menentukan bahagia kita. Kita sendirilah yang bertanggung jawab dengan diri kita, dengan kebahagiaan kita.
Jika seakan-akan yang bertanggung jawab dengan kebahagiaan kita adalah si jodoh, maka kita hanya akan bergantung dengannya dan kita tidak bisa betul-betul hidup mandiri. Maka tidak mengherankan jika akan semakin banyak kasus bunuh diri karena patah hati. Pasalnya, ketika bahagia diletakkan pada orang lain. yang kita anggap nggak bakal jahat. Lantas suatu hari dia menyakiti kita, maka dengan mudahnya kita merasa hidup kita runtuh. Tidak punya pegangan dan tidak tahu arah untuk melangkah. Terombang-ambing seperti daun jatuh yang tidak membenci dihembus angin.
Pernak-pernik pesta pernikahan yang dipamerkan oleh following Instagram kita, memang sangat menggoda. Apalagi hal ini seakan juga mendapatkan pembenaran dari akun-akun hijrah yang menggerakkan untuk menikah muda. Namun, menilik dari perkataan teman saya, jatuh cinta adalah euforia sesaat, butuh kerja keras untuk mempertahankannya. Begitu pula dengan yang namanya pernikahan, meski ‘terlihat’ membahagiakan di sosial media, tetapi yang namanya ‘hidup baru’ tentu juga punya tanggung jawab yang baru.
Jadi, yakin nih, udah siap belum dengan tanggung jawab yang baru? Kalau sekadar untuk bahagia saja masih menjadi tanggung jawab orang lain.