MOJOK.CO – Pengalaman menstruasi pertama itu tidak mudah. Ia bikin nggak bebas beraktivitas, hingga merasa diri begitu kotor.
Saat masih duduk di bangku SD, saya tumbuh dengan badan kerempeng. Ketika ada beberapa teman perempuan saya yang mulai mendapatkan menstruasi pertama, saya tidak berpikiran akan mendapatkannya dalam waktu dekat—seperti mereka. Pasalnya, dari observasi saya dengan kemampuan yang pas-pasan itu, teman-teman yang sudah menstruasi adalah mereka yang punya badan bongsor atau lebih berisi. Alias, sepertinya mereka sudah cocok untuk masuk usia reproduksi.
Secara perawakan dan pemikiran, saya rasa mereka-mereka ini adalah orang-orang yang sudah cukup dewasa. Maka, wajar kalau mereka mendapatkan pengalaman menstruasi pertama di kelas saya.
Sebaliknya, menjadi hal yang mengejutkan bagi teman-teman saya—termasuk diri saya sendiri, saat mereka tahu kalau saya juga sudah mendapatkan menstruasi pertama dengan waktu yang tidak jauh berbeda. Pasalnya, perawakan saya ini sungguh berbeda dengan mereka.
Mungkin, mereka juga melakukan observasi kecil-kecilan seperti yang saya lakukan. Hingga tak mungkin rasanya bentuk tubuh yang kurus dan kelakuan yang masih sangat polos, sudah mendapatkan menstruasi pertama.
Mengetahui hal itu, teman-teman mengolok-olok saya dengan sebutan, “bawang merah”. Ya, sebetulnya sebutan ini sangat tidak kreatif. Hanya karena darah haid berwarna merah, lantas mereka mencari sebutan lain yang mengandung kata “merah”. Dan menyematkan frasa tersebut pada diri saya selama beberapa minggu.
Mendapatkan sebutan “bawang merah” dan anggapan tidak pantas untuk mendapatkan menstruasi di usia tersebut, tentu saja membuat saya malu. Saya jadi merasa bahwa mendapatkan hadi terlalu dini adalah sebuah dosa besar. Hal ini sempat membuat saya membenci badan saya yang kerempeng. Maksud saya, kenapa sih, badan saya harus kerempeng, sehingga sulit masuk dalam lingkaran mereka?
Kan saya juga pengin kalau bisa bergaul akrab dengan kumpulan teman saya yang berada pada barisan pertama sudah menstruasi. Saya merasa iri dan tersisih, karena nggak bisa ngobrol dan ikut saling berkeluh kesah mengenai kondisi yang baru—atau setidaknya untuk saling berbagi informasi dan pengalaman.
Kalau tidak pada mereka, harus pada siapa saya bercerita soal pengalaman yang baru terjadi pada tubuh saya? Cerita sama ibu? Sungguh untuk memulainya rasanya malu sekali.
Pertama kali tahu kalau saya menstruasi, saya kaget karena ada darah merah agak coklat di celana dalam. Karena saat itu saya tinggal di rumah nenek, akhirnya saya tanya ke nenek saya soal darah itu. Ada perasaan takut kalau saya kena kanker.
(((kanker)))
Lalu, tanpa banyak omong, nenek saya memberikan saya pembalut dan memberi tahu cara menggunakannya. Lantas bilang, kalau itu artinya saya sudah menstruasi. Saya sudah balig. Jadi salatnya betul-betul nggak boleh bolong lagi.
Sementara ibu saya, mengetahui saya sudah menstruasi, beliau justru meminta saya untuk melakukan hal yang menjengkelkan. Ibu meminta saya untuk membersihkan darah haid saya sendiri. Mencuci pembalut saya dengan bersih—tidak boleh dengan diijak-injak, mencuci celana dalam yang terkena bleberan darah sampai betul-betul tanpa bekas noda dan bau—supaya tidak najis. Hingga mencuci baju atau sprei yang juga terkena darah yang tembus saat saya sedang tidur dengan tingkah polah yang nggak karu-karuan.
Sungguh, wejangan dari ibu itu rumit dan sulit banget bagi saya. Ya, tahu kan, kalau darah haid tidak semudah itu dienyahkan? Hal ini membuat saya berpikir bahwa noda darah itu sangat kotor sehingga sangat tidak baik kalau ia tampak, membuat saya juga merasa kotor saat mengalami haid.
Ya obrolan dengan ibu, mungkin hanya bisa mentok sebatas itu. Saya malu kalau harus menanyakan hal-hal yang aneh. Pasalnya, saya belum pernah mendengar topik soal ini dibicarakan di dalam keluarga saya. Jadi, saya merasa sungkan kalau harus menceritakannya.
Apalagi, tante saya—adik terakhir bapak—bukannya menenangkan dan ngasih tahu kalau yang terjadi pada saya itu normal, malah terus-terusan ngece. Semacam,
“Cieee, udah mens.”
“Awas, bocor, loh.”
“Wah, roknya merah, tuh!”
Jelas, hal ini membuat saya semakin malu dan tidak percaya diri. Fyi, tante saya ini jugalah yang ngasih tahu teman-teman kalau saya telah mendapatkan menstruasi. Membuat berita itu menyebar cepat dan julukan “bawang merah” tersemat.
Padahal, dalam posisi saya sedang mengalami sesuatu yang baru, saya membutuhkan penerimaan dari orang-orang sekitar. Saya harus beradaptasi saat menggunakan pembalut, supaya bisa merasa nyaman dan tidak perlu berjalan ngangkang.
Apalagi, pembalut yang saya pakai di awal-awal masa haid adalah pembalut milik Hers, karena hanya itu pembalut yang diberikan pada ibu pada saya. Pembalut ini, membuat saya tidak dapat bergerak dengan leluasa. Belum lagi, produk ini tidak dapat menyerap darah dengan baik. Sepertinya, ibu ini lupa kalau darah menstruasi anaknya keluar lebih banyak dibandingkan yang tejadi pada dirinya sendiri.
Percayalah, pengalaman pertama menstruasi ini sungguh ribet. Kalau dibandingkan sama mimpi basahnya para lelaki yang sama-sama sebagai pertanda balig, itu nggak ada apa-apanya. Ya, kalau laki-laki mimpi basah, palingan kejadiannya pas lagi tidur malam di rumah. Terus, bangun-bangun kaget kok celananya basah. Terus, paginya tinggal dicuci dan bisa berangkat ke sekolah dengan tenang tanpa merasa ribet atau awkward.
Bandingkan dengan pengalaman menstruasi, di mana darahnya nggak cuma keluar waktu di rumah aja. Di sekolah pun, darah tersebut masih keluar sehingga harus dikasih pembalut biar nggak bleber ke mana-mana. Belum kalau tembus ke rok seragam. Belum lagi perasaan nggak nyaman karena ada benda asing yang tiba-tiba menempel di badan. Belum sakit perutnya, pegel punggungnya.
Proses beradaptasi dengan urusan teknis dan fisik pertama kali haid aja sudah cukup ribet. Eh, malah ditambah ejekan yang tidak nyaman dari lingkungan. Kan ya, asem banget, yak!
Pemahaman bahwa menstruasi adalah normal, meski ia datang lebih dini, harusnya dipahamkan orang tua pada anaknya. Bayangkan saja, kalau banyak anak-anak Indonesia yang hanya karena mengalami haid lebih awal atau malah terlambat haid, lantas dianggap berbeda. Kira-kira berapa potensi para generasi bangsa yang harus tertimbun karena merasa rendah diri terus malu-malu hingga kemampuannya tidak dikembangkan dengan baik.
Fyi, saya begitu malu kalau tanya-tanya masalah ini ke teman saya. Jadi, saat saya pengin mencoba saran dari teman saya untuk pakai dua pembalut biar nggak tembus. Bukannya menggabungkan dua pembalut itu “dibariskan” di celana dalam, saya justru menggabungkannya dengan ditumpuk. Lha, apa ya nggak percuma?