Aku tak mengerti apa yang terjadi setelah pertengkaran kami semalam. Aku merasa tak ada suatu masalah yang patut dikhawatirkan. Tentu, aku berpikir pasti pertengkaran kami akan berakhir seperti biasanya: aku akan berdiam diri, membalikkan badan dan Aran akan merayu untuk sekadar meminta maaf.
Dengan menyumpal rasa kesal, aku berpura-pura tuli, mengulur waktu untuk menunggu Aran merasa putus asa, lalu barulah aku akan memberikan maaf selayaknya seorang istri kepada suami. Bagiku, harga diri tak patut diobral murah, meski untuk suamiku sendiri. Mengingat bahwa menjadi seorang perempuan adalah sebuah kemalangan tersendiri dibandingkan apabila aku menjadi lelaki, maka sudah barang tentu perempuan itu diciptakan atas keajaiban dan sejumput kesedihan yang selalu bersarang di hatinya.
Singkatnya, aku selalu berusaha menjadikan diriku semahal mungkin, tak hanya untuk orang-orang saja, bahkan untuk Aran yang kusayangi.
Kami memang bertengkar semalam, tapi aku lupa apa yang memantik pertengkaran kami. Namun, melihat keadaan Aran pagi ini, aku sangat yakin bahwa pertengkaran semalam tak berakhir baik-baik, meski aku sudah sedemikian ingin melupakan pertengkaran kami semalam.
Bagiku, apabila kami berdua sudah saling berteriak—dia mengumpat dan aku melemparkan sebuah asbak rokok ke arahnya—itu sudah cukup. Itulah yang kerap kami lakukan jika kami bertengkar. Umpatannya adalah sebuah lagu sumbang yang kerap dinyanyikan ketika kesal. Di saat seperti itu, aku lebih memilih diam, menunggu kekesalannya reda, dan dia berhenti mengoceh dan mengumbar kata-kata jorok.
Tapi dasar Aran, dia tak akan diam sebelum kulayangkan sesuatu ke arahnya. Meski aku sangat mencintainya, tapi di banyak kesempatan aku menyesali menikahinya. Sungguh, menikah dengan lelaki yang mudah putus asa dan gemar bersungut-sungut seperti dirinya adalah sebuah kemalangan.
Pagi ini aku melihatnya berbeda. Rambutnya dibiarkan kusut masai. Brewoknya, yang biasa dicukur rapi, pagi ini dibiarkan rintik dan membuat wajahnya yang terbiasa klimis itu terlihat jauh berantakan. Tapi, aku tak berkeinginan menegurnya. Aran bukan anak-anak lagi, dia tentunya lebih bisa menguasai dirinya sendiri.
Maka, kubiarkan saja dia berantakan seperti itu. Seolah tak memiliki daya, Aran menyeret kakinya ke kamar mandi. Tak lama dia keluar, rambutnya terlihat basah namun masih terlihat berantakan. Kulihat dia tak berkeinginan menyisir rambut, bahkan tanpa menukar baju meski dia habis mandi.
Aku tetap duduk di ranjang, kuamati saja dia dengan diam-diam. Aran sendiri seolah tak memedulikanku. Matanya yang kosong seolah tak melihat apa-apa. Dia tampak linglung, menyedihkan, dan mulai membuatku bingung.
Dia masih menyeret kakinya dengan malas ke dapur. Dengan kemalasan yang begitu, ketara dia mengambil sebuah cangkir dan mengisinya dengan air putih dari dispenser. Matanya terlihat berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah ingin menangis. Ya Tuhan, mengapa dia sekacau itu?
Perlahan aku mendekatinya. Kutatap dia dengan saksama. Tapi, seolah tak peduli dengan kehadiranku, Aran berjalan begitu saja keluar dari dapur dan menuju garasi mobil di samping rumah.
“Kau mau ke mana? Mau ke kantor?” aku bertanya sembari berjalan di sampingnya.
Aran tak menjawab, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya sangat kebingungan. Dia membuka pintu mobil bagian depan, kanan dan kiri seperti biasa, seperti saat kami berdua akan berangkat bekerja bersama-sama.
“Tapi aku tidak ke kantor hari ini. Aku mengambil libur,” sergahku saat melihat dia mematung di samping pintu mobil bagian kiri. Tanpa menunggu jawabannya, dengan kesal aku masuk ke dalam mobil. Sungguh, diamnya Aran membuat rasa kesalku muncul lagi.
Untuk beberapa saat, Aran hanya terdiam. Di sudut matanya, aku melihat titik kristal bening. Bibirnya berkedut-kedut seolah-olah ingin berbicara, namun tak bisa mengeluarkan suara. Setelahnya, dia menutup pintu mobil dengan keresahan yang begitu jelas di wajahnya.
Di dalam mobil, dia seperti seorang bisu. Tak berbicara sepatah kata pun, sampai akhirnya mobil kami berhenti di lampu merah. Aran menoleh ke arah restoran di seberang jalan. Restoran bergaya art deco kontemporer. Di sanalah kami berdua sering menghabiskan waktu jika senggang. Kami suka bercerita tentang banyak hal. Aran memang teman bercerita yang menyenangkan, meski dia juga lawan bertengkar yang menyebalkan.
Ketika melihat restoran itu, tiba-tiba Aran menangis. Dia terisak-isak. Air mata yang biasanya mahal itu bercucuran tanpa bisa ditahan. Aku menyentuh pundaknya. Aku sendiri kehilangan kata-kata, bahkan sebuah kalimat pendek untuk berbasa-basi saja aku tak mampu mengeluarkannya. Melihat Aran menangis membuatku sedikit terkejut. Betapa anehnya dia hari ini.
“Sonya, aku sangat mencintaimu. Aku sangat mencintaimu,” bisiknya di sela tangis.
“Aku juga sangat mencintaimu. Seperti ketika kali pertama bertemu,” balasku perlahan. Tapi seperti tadi, ia tak membalas ucapanku. Dia hanya terdiam, seolah merenungi sesuatu.
Mobil Aran melaju ke arah tak tentu. Dia berputar-putar mengitari kota. Sesekali dia berhenti, kemudian melanjutkan perjalanannya lagi tanpa tujuan yang jelas. Melihat begitu kacaunya Aran hari ini, aku mengingat-ingat apa saja yang terjadi menimpa kami kemarin sore. Aku masih mengingatnya dengan jelas setelah berusaha mati-matian mengingatnya.
Kemarin sore, aku pulang dari kantor. Aran sudah di rumah, dia berselonjor kaki menonton televisi. Aku menyapanya sekilas sebelum membersihkan diri, mandi, dan beristirahat sebentar di ranjang. Lalu, ia masuk ke kamar. Remote televisi masih dipegangnya. Namun, melihat wajahnya kemarin itu, aku mengerti bahwa dia menahan marah. Rahangnya mengejang, matanya yang buas seolah siap memburuku.
“Sonya! Aku ingin bertanya!”
“Tidak bisakah suaramu itu dipelankan? Istrimu ini belum tuli,” sahutku sembari bangun dan duduk di tepi ranjang.
“Kau pulang diantar Adimas lagi? Mau laki-laki peganggu itu apa?!” Aran berkacak pinggang di depanku.
Aku menahan tawa. Astaga, rasa cemburunya itu tak berubah juga.
“Kau kan tahu, Adimas menjadi kawanku bahkan sebelum kita bertemu. Kecumburuanmu itu membabi buta,” jawabku dengan perlahan untuk mengurangi panasnya keadaan.
Tapi Aran tetaplah Aran yang kukenal. Dia mencerca apa saja untuk melahirkan sakit hati di dadaku. Bagiku, sifatnya itu demikian kekanak-kanakan. Terpaksa, aku membalas ocehannya.
Tak seperti biasa, remote televisi itu melayang ke arahku. Dengan cepat, aku menghindarinya. Dengan kesal pula, aku meraih asbak kaca miliknya, lalu kulemparkan ke arahnya. Keadaan menjadi tak bisa kukendalikan.
Suara Aran yang menyentak-nyentak membuatku pusing. Rasa cemburunya yang keterlaluan itu tak pernah berubah. Sesungguhnya, Aran mencumburui siapa saja, tak hanya dengan Adimas Hardoyo, kawan kuliahku dulu yang kini juga kawan kerjaku. Semua orang yang dekat denganku dicemburuinya. Dia begitu takut kehilangan diriku. Seperti yang selalu ia katakan, ia demikian jatuh cinta kepadaku.
Ya, setelah kepalaku terasa pening, aku tertidur dan tak ingat apa-apa. Aku merasa nyenyak tidur setelahnya. Aran juga berbaring di ranjang, tepat di sebelahku. Aku merasa bahwa kami sudah berbaikan. Masalah kemarahan dan kecemburuannya, tentu sudah kumaafkan.
Tapi aku merasa hubungan kami tak berakhir baik-baik saja setelah melihat kekacauan Aran dan, terlebih, saat dia menuju ke kantor polisi. Tergesa, aku mengikutinya masuk ke kantor pengaduan. Seorang polisi yang berjaga menyapanya dengan keramahan, meski Aran menanggapinya dengan kegugupan.
“Saya ingin melaporkan sesuatu, Pak,” ucap Aran perlahan. Suaranya demikian bergetar.
“Tentang apa, Pak?” tanya Pak Polisi dengan berwibawa.
“Menyoal KDRT. Ini soal KDRT di rumah tangga saya sendiri. Hubungan antara saya dan istri saya.”
“Lantas? Persoalan yang bagaimana?” Pak Polisi terlihat tak mengerti.
Aku yang berdiri di belakang Aran menjadi gugup. Tak pernah kusangka masalah kami akan sampai ke meja penegak hukum.
“Saya sangat mencintai Sonya,” ucap Aran lagi.
“Sonya?”
“Sonya nama istri saya, Pak.”
“Nama Anda sendiri?”
“Nama saya Arane Sendang Panguripan. Saya dipanggil Aran.”
“Baik, Pak Aran. Masalah apa yang sedang Anda hadapi?”
Aran terdiam.
“Saya sangat mencintai istri saya. Semua yang saya miliki bisa saja saya berikan untuknya. Saya bersedia menjaganya seperti yang saya sampaikan ke mertua saya dulu sebelum kami menikah. Saya sangat mencintainya, sangat mengaguminya, sangat mendambakannya setiap waktu. Sonya adalah dunia saya.
“Tapi kemarin kami bertengkar hebat, Pak,” Aran menatap Pak Polisi di depannya dengan resah.
“Ya, lantas apa yang terjadi?”
Aran termenung sesaat.
“Saya telah membunuhnya, Pak. Saya mencekiknya dan membekap wajahnya dengan bantal. Saat ini saya menyimpan mayatnya di lemari pendingin. Lemari pendingin di dapur rumah. Dapatkah bapak menolong agar Sonya bisa keluar dari sana?”
Baca cerita berikutnya di sini.