Jika memerintah diibaratkan bermain catur, maka sebenarnya Jokowi adalah pecatur yang buruk. Baiklah, kalau para pemilih Jokowi belum ikhlas dicap buruk: Jokowi telah memainkan pembukaan yang buruk. Amburadul sekali openingnya. Terlalu banyak menggerakkan satu-dua perwira, sementara banyak perwira lain lumutan di posnya, Jokowi bahkan belum sempat rokade agar posisi rajanya aman.
Dibanding pendahulunya, Si Pak Beye itu, Jokowi (setidaknya dari yang nampak hingga sekarang) jelas belum ada tai-tainya, baik secara posisional maupun taktik.
Di awal pemerintahannya, Pak Beye langsung dihantam tsunami (sungguhan, bukan istilah catur), posisinya tentu saja menjadi sulit. Tapi itu tak membuat Pak Beye memainkan pembukaan yang kacau, dia bersetia pada taktiknya, membangun formasi andalannya dengan sabar, meski tidak mudah, lalu mengamankan posisinya di DPR dengan mencaplok semua kotak kuning.
Dan Pak Beye ternyata memang pecatur andal. Ia licin di middlegame (masih ingat strategi menurunkan harga BBM, mengorbankan menteri lama dan mempromosikan satu bidak untuk jadi ratu baru, “Katakan tidak pada korupsi”, “Terima kasih, Pak SBY”, dan “Lanjutkan!”?) dan lincah di endgame (mengorbankan beberapa perwira terdepannya yang menghalangi ruang tembak pasukan di belakang, tentu dengan pertukaran yang tidak terlalu merugikan, lalu sesegera mungkin membawa raja ke tengah papan).
Lah, Jokowi?
Di sini lawan-lawan Jokowi punya kesempatan baik untuk mengalahkan atau setidaknya mengimbanginya. Tapi apa yang dilakukan kubu seberang terhadap Jokowi selama ini? Cuma iseng-iseng gak mutu, seperti yang terakhir meribut-ributkan kesalahan penyebutan kota kelahiran Bung Karno, berputar-putar pada isu Jokowi tidak Islam, segala Jokowi minum dengan tangan kiri dibesar-besarkan.
Apa yang Anda harapkan dari situ? Kelahiran pemimpin yang jago menghafal? Terbitnya pemimpin yang minum selalu duduk dan menggunakan tangan kanan?
Anda barangkali bisa berargumen bahwa perilaku besar seorang pemimpin tercermin dari hal-hal kecil yang dilakukannya. Ya, boleh jadi begitu. Tapi masih banyak yang jauh lebih mengundang maslahat daripada meribut-ributkan hal-hal sesepele itu. Anda bisa menghantam kebijakan-kebijakan ekonominya, misalnya.
Apa yang kita dapatkan dari hestek #SudahlahJokowi dan #SudahiJokowi? Selain olok-olok, saya tidak melihat sesuatu yang istimewa. Saya tidak menemukan kritik tajam atas kebijakan administrasi Jokowi, kecuali hujatan dan rundungan slapstik.
Sebagai awam di bidang kebijakan publik, saya sangat mengharapkan wawasan-wawasan mencerahkan dari kelompok opisisi mengenai cara pengelolaan negara. Sebagai orang biasa, saya ingin sekali melihat oposisi yang kuat dalam memainkan peran check and balances.
Dan pada gilirannya, dari oposisi yang tangguh itu, kita bisa berharap lahirnya pemimpin yang lebih hebat daripada Jokowi. Begitulah yang seharusnya terjadi di negara dengan demokrasi yang matang, pemimpin baru datang mengoreksi pemimpin lama. Koreksi yang bukan sekadar tak pernah lagi selip lidah dan selalu minum pakai tangan kanan—kalau begini doang sih, anak TK juga bisa nyalon presiden.
Bukankah Jokowi lahir dari oposan yang kuat dan selalu bersuara keras melawan kebijkan-kebijakan SBY? Dan Jokowi muncul ke permukaan dengan gayanya yang gesit, tangkas, dan mengakar sebab Pak Beye dianggap plin-plan, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya, penuh lipstik pencitraan dan lebih suka bikin album sebagai musisi karbitan daripada legasi atau mahakarya sebagai negarawan.
Dengan alur demikian pula saya berharap akan terbitnya pemimpin baru yang lebih mantap daripada Jokowi. Tapi jika kualitas oposisi terus-menerus seperti ini, saya kira saya harus siap-siap menelan ludah dan gigit jari.
Jika kehidupan bernegara kita dalam empat tahun ke depan masih saja didefinisikan dengan pembelahan antara Jokower dan Prabower, saya pesimis akan ada terobosan baik dari kubu pemenang pemilu maupun yang kalah. Karena sejauh ini, dengan pembagian dua kubu tersebut, yang kita saksikan hanyalah propaganda-propaganda khas pilpres, bukan kehidupan bernegara yang sehat dengan pemerintah yang bekerja dengan baik dan oposisi yang mengkritisi langkah-langkah penguasa dengan elegan.
Atau gegap-gempita dengan tagar #SudahiJokowi itu memang serius ingin menjungkalkan Jokowi dari kursi caturnya? Yakin, bisa? Kayak 20 Mei tempo hari? Oh, seandainya memang bisa, alih-alih kubu seberang yang nanti bersorak, seluruh rakyat Indonesia apalagi (jauh panggang dari api), justru para pengerikit kekuasaan di sekitar Jokowi itu yang akan berpesta-pora.
Hati-hati, GM Jokowi, kalau hanya memainkan satu langkah acak, dua langkah lagi Anda bisa kena family fork.