MOJOK.CO – Ketiadaan pendamping sebenarnya bukan masalah besar bagi saya yang nggak pernah pacaran, tapi rasa-rasanya cukup menjadi sekat antara saya dan teman-teman.
Waktu SMP, teman saya ditembak seorang laki-laki. Teman saya ini—sebut saja namanya Astuti—tampak sangat berbunga-bunga setelah itu. Padahal setahu saya, ia sudah memiliki kekasih; seorang kakak kelas yang baru saja lulus SMP tahun lalu dan tengah melanjutkan SMA di Magelang.
“Tidak masalah, Cahyo mau dijadiin yang kedua,” jawab Astuti enteng saat saya menanyakan hubungannya dengan si kakak kelas. Cahyo sendiri adalah nama teman kami yang menembak Astuti.
“Maksudmu,” tanya saya memastikan, “kamu mau semacam… selingkuh?”
Astuti terkekeh-kekeh sambil menepuk pundak saya. Dia benar-benar jadian dengan Cahyo selama beberapa minggu, membuat saya ngilu sendiri membayangkan si kakak kelas yang sedang dibohongi mati-matian sama anak SMP—dan mendorong saya untuk bersumpah tidak akan selingkuh sekaligus tidak akan bertahan dalam hubungan percintaan dengan orang yang berselingkuh kelak.
“Hehehe, kamu coba, deh, punya pacar. Masa aku punya dua, kamu nggak punya?” celetuk Astuti, membuat saya bengong setengah mati.
Maksud saya…
…memangnya sebegitu besarkah perkara punya pacar ini baginya, sampai-sampai dia merasa perlu dan bangga punya dua kekasih, gitu???
“Eh, kamu mau nggak aku jodohin aja sama Kak Bejo? Dia temennya pacarku itu, lagi jomblo juga,” sambungnya lagi. Saya menatapnya tak percaya. Kenapa kita nggak bisa fokus saja pada fakta bahwa dia sedang mengkhianati perasaan seseorang, daripada sibuk memikirkan saya yang nggak punya pacar dan nggak pernah pacaran dan menurutnya patut dikasihani???
Lagi pula, please deh, saat itu saya masih kelas 9 SMP—bukannya saya mau menikah tahun itu juga!
Selain Astuti, kehidupan masa muda saya dihiasi dengan kisah cinta teman-teman. Bukan apa-apa, tapi saya memang benar-benar nggak pernah pacaran sampai usia tertentu—menjadikan banyak orang bertanya-tanya kenapa saya bisa berteman dekat dengan Astuti yang konon ke-playgirl-annya terkenal sampai ke Planet Mars.
Ketiadaan pendamping di masa itu sebenarnya bukan masalah besar bagi saya, tapi rasa-rasanya cukup menjadi sekat antara saya dan Astuti bersama teman-teman lain, yang setiap bulan kayaknya bisa saja gonta-ganti pacar berkali-kali. Setiap kali berkumpul—saya ulangi: setiap kali—yang menjadi topik pembicaraan mereka adalah soal pacar. Pacarku begini, pacarku begitu, pacarku cemburu, aku cemburu sama mantannya, dan lain sebagainya. Saya mendengarnya dengan saksama. Saya pernah membaca ramalan cinta di majalah perempuan dan membaca novel cinta remaja milik kakak saya, jadi saya rasa saya bisa mengikuti tempo pembicaraan mereka. Tapi ternyata, mereka tidak menganggap saya bisa.
“Ah, kamu nggak ngerti, sih, gimana rasanya. Sakit tahu, Li, kalau diselingkuhin pacar,” tutur Astuti suatu hari saat ia berkisah soal pacarnya yang lain. Dalam hati saya menahan diri mengingatkan kelakuannya beberapa bulan lalu yang berselingkuh. Belum sempat saya jawab, dia sudah pindah ke tempat duduk Maemunah, teman kami satu lagi, yang konon sudah pernah berpacaran dengan semua laki-laki di kelas.
Kata-kata Astuti, entah bagaimana, menjadi bumerang bagi saya. Dua belas tahun kemudian, saya diselingkuhi seorang laki-laki setelah saya memutuskan untuk melepas gelar “nggak-pernah-pacaran”. Kalau Astuti yang waktu SMP saja sudah merasakan sakit, saya yang sudah cukup dewasa saat itu pun cuma bisa mengelus dada setelah habis air mata.
“Semoga,” kata Fani—teman saya yang lain, yang saat itu menemani saya setelah menangis gara-gara dielingkuhi, “aku nggak perlu merasakan seperti kamu, ya.”
Saya memutar bola mata, kebingungan akan maksud Fani. Lalu lanjutnya, “Kamu tahu, kan, aku nggak pernah pacaran. Umur sudah segini. Kalau harus patah hati dulu, mau kapan menikah?”
Perkataan Fani, sejujurnya, justru membuat saya lebih ngilu dari tiga detik yang lalu. Siapa juga yang minta diselingkuhi??? Siapa juga yang minta patah hati saat rencana pernikahan sudah hampir di depan mata??? Tapi, sebagai orang yang pernah merasakan pengalaman menjadi satu-satunya individu yang nggak pernah pacaran, saya mencoba memaklumi keluh kesah Fani.
“Tapi kamu punya teman dekat, kan?” tanya saya—pertanyaan yang saya rasa Fani bakal sebal mendengarnya. Dia menggeleng dan berkata, “Nggak ada. Dan aku jujur. Nggak ada.”
Fani cemberut, diam-diam panik pada keadaannya yang nggak pernah pacaran, sedangkan teman-teman sebaya kami sudah sibuk mengunggah foto di Instagram dengan caption soal cara menggendong bayi yang baik dan benar.
Kecemberutan Fani berbanding terbalik dengan kebahagiaan Melati—teman saya yang lain, yang belum pernah berpacaran sejak pertama kali ia lahir di rumah sakit dekat rumah. Selagi perempuan seusia kami (iya, iya, usia kami sudah lebih dari seperempat abad!) mulai galau jodoh dan belum menikah, Melati justru terlihat bahagia dan punya segudang daftar liburan keliling Indonesia setiap dua bulan sekali. Ia mungkin menjadi orang yang paling mentok bakal bilang, “Sabar, ya,” kalau dicurhatin soal pacar yang selingkuh, tapi memangnya kenapa??? Bukankah kita semua sesungguhnya butuh orang-orang semacam Melati sebagai cerminan penikmat hidup tanpa harus bergantung pada kepentingan orang lain???
Lagi pula, mengutip prinsip Melati, tidak ada yang salah dengan tidak pernah berpacaran. Lagian, orang Indonesia tu aneh-aneh saja, katanya. Sebagian orang percaya pacaran itu tidak bermanfaat, tidak produktif, bahkan pelakunya dianggap nakal dan berlebihan. Tapiiii, di lain sisi, orang-orang yang nggak pernah pacaran (“Kayak aku,” sahut Melati) justru kerap di-bully dan dijadikan lelucon gara-gara jomblo. Bahkan, tokoh politik semacam Ridwan Kamil saja kerap menyenggol kaum jomblo untuk meningkatkan citra dirinya sebagai pribadi yang dekat dengan masyarakat, atau bisa kita sebut dengan ‘politik jomblo’. Duh, penting banget, ya, bawa-bawa jomblo sebagai jokes???
Ke-jomblo-an seseorang bukanlah hal yang pantas-pantas saja jadi lelucon. Yah, syukur-syukur kalau jomblonya seperti Melati yang tetap percaya pada kebahagiaan dirinya sendiri dan nggak peduli jokes menyebalkan soal jomblo, lah kalau orangnya kayak Fani yang akhirnya merasa tertekan gara-gara diledekin jomblo dan nggak pernah pacaran, gimana coba??? Bukankah itu justru kian mengecilkan kepercayaan dirinya sendiri???
Coba deh sebentar saja kita berpikir bareng-bareng: kebahagiaan apa, sih, yang kita dapat dari ngeledekin orang jomblo dari lahir alias nggak pernah pacaran??? Memangnya mereka butuh semua rasa kasihan itu, atau jodoh-jodoh dadakan yang kamu usulkan setiap tiga hari sekali??? Emangnya semua orang yang jomblo itu kayak kamu; yang nggak tahan kalau nggak punya pacar dan merasa bahwa solusi semua permasalahan di dunia adalah menikah dengan segera???
Hih, sorry lah, yaw, mendingan jomblo dulu daripada pacaran sama tukang selingkuh kayak mantanmu itu~