MOJOK.CO – Atas dasar curiga, kamu cek HP pasangan. Padahal, kalau ada yang aneh, kamu cuma bakal marah, sementara kalau nggak ada apa-apa, kamu juga akan tetap marah!
Della pernah mengirim pesan pendek kepada temannya, mengajaknya pergi keliling kota. Selang beberapa menit, pesan balasan datang dan berbunyi, “Maaf, ini pacarnya. Kami sedang bertukar HP.”
Reaksi Della pertama kali saat membaca pesan itu adalah bengong hampir satu menit. Ya, ya, Della tahu temannya ini punya pacar, tapi … dalam kondisi apa, sih, seseorang akhirnya sepakat bertukar HP—sekaligus nomornya—selama seharian penuh? Bukankah masing-masing orang ini punya urusan sendiri-sendiri yang membuatnya dihubungi lewat HP?
Mungkin karena kejadian di atas terjadinya di tahun 2006, teman Della pun oke-oke saja. Maksudnya, jelas dia tidak punya urgensi untuk upload foto dan story di Instagram (karena kalau Instagram sudah ada, pasti mereka juga bertukar akun) serta tidak punya kepentingan membalas email pekerjaan atau pesan di grup WhatsApp kantor. Iya, kan?
Kebiasaan mereka tukeran HP dan nomor berlangsung berkali-kali, dan berkali-kali pula Della kecele saat mengirim SMS penuh semangat pada temannya karena ujung-ujungnya baru sadar bahwa HP temannya dipegang si pacar. Apakah Della kesal? IYA BANGET, LAH.
Saat itu, Della belum pernah pacaran, jadi dia jelas nggak bisa membayangkan apa serunya ngecek HP pasangan. Kata teman Della, ini penting untuk mengetahui apakah pacar kita sebenarnya selingkuh. Della cuma ketawa-ketawa aja, membayangkan betapa bodohnya seseorang sampai tega berselingkuh padahal di luar sana banyak fakir-fakir asmara yang berharap punya orang yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati.
Tapi, perkara cek HP pasangan yang jadi bahan tertawaan itu berubah nyata bertahun-tahun kemudian. Della bertemu seseorang dan dia baik sekali, sampai mereka memutuskan berjalan bersama-sama. Mulanya segalanya baik-baik saja sampai suatu hari pacar Della melihat seorang pria secara teratur meninggalkan komentar di Facebook Della. Penasaran, pacar Della bertanya apakah lelaki ini suka mengirimkan pesan ke inbox.
Jawabannya adalah “ya”, tapi tentu tak pernah Della tanggapi. Entah mengapa, pacar Della saat itu langsung marah dan menge-block akun laki-laki tadi, lantas memeriksa semua pesan masuk di inbox Facebook Della—tanpa izin.
Della heran sendiri: ini pacarnya lagi kerasukan jiwa teman Della waktu SMP kali ya??? Kenapa harus marah-marah dan ngecekin semua pesan yang Della terima, sih??? Apakah Della kelihatan segenit itu untuk membalas pesan-pesan semacam “Hai cantik, kenalan dong” atau “Kamu maniez banget sih” atau “Pacaran sama aku aja, yuk!”???
Perkenalan dengan temannya di bangku SMP dan pacar pertama Della ini lantas menjadi dasar yang berpengaruh tentang bagaimana ia memahami bahwa seseorang bisa dianggap wajar untuk cek HP pasangan. Della, yang tadinya cuek setengah mati, lantas terdorong untuk balas melihat HP pacarnya dan memeriksa inbox yang dia punya—juga tanpa izinnya.
Dan terkejutlah Della membaca percakapan yang ia temui—hal yang kemudian benar menghancurkan kepercayaan di antara mereka, atau setidaknya kepercayaan Della pada pacarnya.
Dilansir dari berbagai sumber, kegiatan cek HP pasangan tanpa izin, termasuk aktivitas pribadinya di media sosial, ternyata dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan dalam pacaran. Artinya, Della sadar betul bahwa ia telah melakukan hal yang tak pantas ia lakukan, meski tujuannya untuk membalas apa yang pacarnya lakukan terlebih dulu.
Della nggak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang melakukan hal yang sama. Bahkan—ngaku aja, deh—kamu juga pernah, kan?
Tapi, Teman-teman sekalian, tahukah kalian bahwa kegiatan cek HP pasangan ini sesungguhnya nggak penting-penting amat dan bakal jauh lebih baik kalau waktu yang terbuang itu kalian pakai untuk melakukan quality time demi hubungan yang lebih mesra dan bahagia??? Memangnya situ seneng, ya, kalau ketemu pacar tapi malah megang HP sepanjang waktu, bukannya ngobrol-ngobrol bahagia atau sayang-sayangan karena kangen yang menumpuk???
Seorang relationship coach, Jase Lindgren, sebagaimana dikutip dari Kelascinta.com, menyebutkan bahwa ngecek HP pasangan hanya akan membawa kita ke dua hal besar: 1) kita akan menemukan hal yang mencurigakan, tapi kita nggak akan merasa lega dan malah marah-marah; serta 2) kita nggak akan menemukan hal yang mencurigakan, tapi justru makin curiga karena menganggap pacar kelewat pintar menyembunyikan rahasia.
Dengan kata lain, aktivitas cek HP pasangan hanya akan membuatmu overthinking berkali-kali lipat!!!!11!!!1!!!
Lagi pula, berdasarkan studi psikologi yang dilakukan, ngecek HP pasangan sesungguhnya bukan wujud ketidakpercayaan kita kepada pasangan. Ia justru menjadi bentuk nyata betapa kita nggak percaya sama diri sendiri. Dengan kata lain, kita-kita ini sedang…
…insecure.
Memastikan pasangan kita nggak berhubungan dengan orang lain yang kita anggap sangat mungkin memikat hatinya sebenarnya menunjukkan betapa kita merasa bahwa kita nggak selayak itu untuk menjadi pasangan bagi si pacar. Oleh karenanya, kita butuh validasi dengan cara memeriksa seluruh isi HP-nya.
Padahal, perkara ini justru bisa menjadi sumber pertengkaran: si pacar jadi merasa dimata-matai, sementara kita berpendapat dia menutup-nutupi sesuatu, padahal mah…
…mau nutup-nutupin apa, Rosalinda??? Hanya gara-gara pacarmu kelihatan bengong saat lagi ngobrol, masa iya kamu mau langsung curiga bahwa dia lagi memikirkan perempuan di kelas sebelah dan langsung maksa ngecek HP-nya???
Ketika kegiatan cek HP pasangan telah menjadi rutinitas penting—bahkan mendominasi agenda pertemuanmu dengannya—sebaiknya instrospeksi segera kalian lakukan. Maksud saya, apakah masalah komunikasi yang kalian alami segitu besarnya sampai-sampai ngecek HP pacar terasa jauh lebih mudah dilakukan dibanding bertanya, “Dia siapa?”, begitu?
Simpulan ini kemudian membawa kita ke pertanyaan lain: apakah seharusnya kita bersikap cuek dan bodo amat pada HP si pacar? Apakah kita sama sekali nggak boleh menyentuhnya? Gimana kalau kita yang dikhianati?
Ah, saya jadi ingat: saya pernah berusaha membebaskan seorang pacar dengan tidak maksa-maksa memperlihatkan HP-nya, tapi ia justru mengkhianati saya lewat si HP. Dengan menyebalkan, ia bahkan sempat berpendapat saya mungkin sebaiknya bersikap lebih posesif. Padahal, saya yakin betul bahwa, selama hubungan berlangsung, saya sudah “cukup posesif” dan jelas bukan orang yang cuek dalam sebuah hubungan.
Jadi, Saudara-saudara sekalian, jawaban pertanyaan “Gimana kalau kita yang dikhianati?” sudah jelas. Mengutip perkataan seorang kawan, saya ingin bilang: perkara kita memercayai pasangan adalah hal yang bisa kita kontrol dan memang semestinya kita lakukan. Namun, perkara dia mengkhianati kita adalah hal yang lain. Karma tidak akan tidur—ia akan datang pada mereka yang memang mempersiapkan dirinya didatangi.
Percaya sajalah, biar tidurmu nyenyak.