MOJOK.CO – Tantangan hidup bertambah saat orang tua punya akun medsos. Suka atau tidak suka, ayah atau ibu kita mungkin tiba-tiba bakal muncul di lini masa.
Bertahun-tahun yang lalu, Amara gemar berbalas pesan di dinding profil Facebook-nya dengan sang kekasih, Robi. Sebagaimana anak muda yang sedang kasmaran, mereka sesekali menyebut “Sayang” di dinding profil masing-masing.
Tapi, waktu makan malam tiba bersama keluarganya, ayah Amara berdeham sekali, sebelum menyuapkan sesendok penuh nasi putih yang disiram kuah sayur asem, lalu berkata, “Kamu ngapain, sih, sayang-sayangan sama Robi di Facebook? Nggak usah kayak gitu lagi besok.”
Amara kicep. Mendadak, telur dadar buatan ibunya jadi tak seenak biasanya.
Bukan sekali ini saja Amara mengalaminya. Setahun yang lalu, waktu ia dan Robi baru saja selesai mendeklarasikan perasaannya masing-masing dan mengubah status di Facebook dari single menjadi in a relationship, ayahnya menelepon langsung dari kantor sore hari.
“Kamu kok sudah in a relationship? Ini sama siapa? Kerjanya apa?”
Ada jeda agak lama waktu Amara membalas, “Teman sekelas, Yah.”
Telepon berlanjut dengan ceramah panjang soal pacaran saat masih sekolah dan betapa ayahnya ingin Amara tetap mengedepankan pendidikan dan menjaga moralnya. Amara menjawab “iya” dengan agak gemetar.
Orang Tua Punya Akun Medsos: Temenan Nggak, nih?!
Beberapa bulan setelah hari itu, Amara patah hati. Dasar anak muda yang masih labil, Amara menuliskan potongan lirik lagu di Facebooknya: “Kupejamkan mata, berharap takkan temukan selamanya. Tuhan tolong angkat aku dari dunia, aku tak ingin lihat dia bahagia.”
“Kamu mau mati? Duh, istigfar, Amara! Sanah salat dulu!” kejar ayahnya, lagi-lagi saat mereka akan makan malam bersama.
Sejak saat itu, Amara jadi agak takut menghadapi fenomena orang tua punya akun medsos ini. Bertahun-tahun berlalu, diam-diam ia meng-hide kontak ayah dan ibunya dari daftar orang yang bisa melihat statusnya di WhatsApp, sementara Facebook ia tinggalkan sama sekali.
Omong-omong soal orang tua punya akun medsos, dilansir dari laman Facebook Business, mereka memang cenderung melakukan lebih banyak aktivitas di medsos, termasuk mengunggah foto, jika dibandingkan dengan kita-kita yang belum jadi orang tua.
Ayah Amara, misalnya. Ia mengunggah foto Amara saat lulus SMA, saat akan pergi kondangan ke pernikahan anak temannya, saat bersama istrinya pergi umrah, dan masih banyak lainnya.
Adiknya, alias tante Amara, juga tak mau kalah: sama-sama punya Facebook, ia kerap mengunggah foto suami dan ketiga anaknya, lengkap dengan caption yang kadang-kadang nyomot dari tulisan Amara di blog karena ia selalu bilang keponakannya itu “pintar merangkai kata-kata yang bagus sekali”.
Ya, ya, ya, benar: keluarga Amara juga “mengejarnya” hingga ke blog pribadinya.
Sebelum punya akun medsos, tentu kita ingat bagaimana rasanya berdebar-debar membaca SMS dari gebetan di hape pribadi. Tapi sekarang, zaman digital memanjakan orang tua lebih jauh: mereka yang overprotective hanya membutuhkan hape, kuota, dan aplikasi media sosial untuk duduk dan “mengenal” sisi lain dari anaknya.
Nah, sisi lain inilah yang mungkin membuat Amara—dan saya—belum siap-siap amat membiarkan orang tua punya akun medsos atau, kalau mereka sudah terlanjur punya, ya jangan sampailah melihat update-an kita (hah, kita???).
Maksud saya, kebayang nggak, sih, kita lagi enak-enakan kerja lembur (hahahahahaha), lalu tiba-tiba ditelepon orang tua hanya untuk ditanyai: “Itu kamu foto sama siapa di Instagram?”, “Kamu, kok, nge-like meme aneh banget di Twitter? Eh, meme itu apa, sih? Ayah asal aja ngomong gitu!”, “Kamu, kok, nge-retweet twitnya anak Presiden? Kamu lupa, ya, kalau Ayah pendukungnya calon satunya?”, “Kamu, kok, nge-share lagu rock dari Spotify? Itu gimana caranya? Ayah pengin nge-share lagunya Yuni Shara, nih!”, atau “Kamu, kok, malam-malam bikin Instagram Story—ngapain? Lembur lagi, ya? Tuh, kan, lembur terus! Daripada lembur di kota orang, mending pulang ke rumahlah sekarang! Cepet!”
Hadeeeh, kepala jadi tambah umub, Bos~
Alasan Orang Tua Bermedia Sosial: Nggak Melulu Soal Kita
Jangan GR dulu—ada beberapa orang tua punya akun medsos dan alasannya tidak seperti ayah Amara. Mereka-mereka ini punya kepentingan yang berbeda dan—seringnya—kita jumpai lebih banyak di masa kini.
Dari situs Pew Research Center, sebuah penelitian pernah digelar menanggapi fenomena orang tua punya akun medsos ini. Hasilnya adalah media sosial bagi mereka digunakan untuk mendapatkan dukungan dari teman serta merespons berita yang mereka dengar, baik berita baik maupun buruk.
Nah, alasan terakhir inilah yang sekarang sering membuat kita mengurut dada!!!!1!!!1!!
Di Amerika Serikat, sebuah penelitian lain pernah menyebutkan bahwa pengguna media sosial, termasuk golongan orang tua punya akun medsos, yang berusia di atas 65 tahun, cenderung berpotensi 7 kali lebih besar menyebarkan berita bohong alias hoaks. Yah, itu di Amerika, sih, tapi rasa-rasanya kok nggak jauh beda dengan di Indonesia, ya?
Setelah Amara makin dewasa, mulai bekerja, dan media sosialnya cuma berisi share-share-an lagu dari Spotify, ayahnya mulai bosan terlalu banyak kepo di akun anaknya. Kini, ia jauh lebih aktif berinteraksi dengan kawan-kawan sebayanya di grup WhatsApp apa saja: grup kantor, grup bapak-bapak RT, grup pendukung capres, atau grup reuni SMA tahun 1980.
Dari sinilah, pertukaran informasi antar-orang tua dimulai.
“JENG JENG JENG*
Amara pernah gondok setengah mati karena ayahnya melarangnya makan di sebuah restoran kesukaannya karena ia mendapat forward-an pesan hoaks di WhatsApp yang menyebut restoran ini belum tersertifikasi halal dan makanannya mengandung minyak babi.
Di lain waktu, Amara bahkan jauh lebih gondok sampai-sampai hanya bisa bengong: ayahnya membagikan pesan forward-an (lagi) yang menyebutkan bahwa emotikon babi di WhatsApp haram hukumnya digunakan karena ia berbentuk…
…babi.
“Ayah, please, deh!” jawab Amara suatu hari.
“Loh, namanya juga berbagi informasi. Jaga-jaga saja.”
“Tapi kita juga harusnya nggak segampang itu percaya, Yah!”
Ayahnya diam. Amara agak tak enak hati. “Yah?”
“Iya, deeeeh, kita memang harusnya nggak gampang percaya. Kalau gampang percaya, nanti ujung-ujungnya kayak kamu: diduain Robi, terus pengin mati, kayak nggak inget sama Ayah aja.”
Amara kicep lagi, lalu telepon dilanjutkan dengan ceramah panjang dari ayahnya.