MOJOK.CO – Tulisan dokter yang ngeruwel-ngeruwel itu sekarang sedang viral, padahal kepusingan para farmasis membacanya sudah bertahun-tahun lamanya.
“Li, ini bacanya apa?”
Sebuah pesan masuk dari kakak saya: foto tulisan tangan yang nggak jelas—saya menebak itu adalah tulisan dokter di kertas resep–huruf depannya adalah “p” dan huruf belakangnya “l” karena sedikit ngeruwel. Berada di antara keduanya adalah garis polos yang lebih mirip rambut rontok.
“Paracetamol,” jawab saya.
Kakak saya mengirim emoji tepuk tangan, mengapresiasi.
Duh. Bukan, bukan—saya bukan farmasis atau apoteker atau dokter. Kemampuan saya membaca huruf ajaib itu adalah murni karena…
…ya karena foto tulisan dokter itu lagi viral, Maemunah!!!1!!!1!!!!
Pertama, biar saya jelaskan kenapa kakak saya tiba-tiba mengirimi foto tulisan dokter. Walau bertampang bingungan begini, saya pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Farmasi sebuah universitas di Bandung Jatinangor—yah walaupun cuma dua semester dan separuh semester pendek, sih.
Tapi, nggak usah repot-repot bilang “Woow” karena durasi pendidikan itu nyatanya tidak membuat saya mendekati diri sebagai calon farmasis yang qualified. Boro-boro ngebaca tulisan dokter, membedakan aroma mawar dengan aroma menthol untuk meracik bedak saja saya gagal, kok.
Viralnya tulisan dokter Paracetamol di atas membuat saya bertanya-tanya: kenapa, sih, farmasis atau apoteker beneran bisa membaca tulisan tadi? Apakah jangan-jangan, selepas saya kabur dari Jurusan Farmasi, teman-teman saya mendapatkan mata kuliah khusus yang namanya—misalnya—Dokterografi, alias membahas penuh soal goresan dan tarikan pena dokter saat menulis resep di atas kertas???
“MANA ADAAAAAAAA!” jawab teman saya yang sekarang bekerja jadi farmasis di rumah sakit. Oh, dan by the way, dia berhasil menjawab tulisan dokter tadi sebagai “Paracetamol”, meski diikuti juga dengan mengirim tiga foto resep obat asli sambil berkata, “Nih, coba baca.”
Selagi saya misuh-misuh karena disuruh baca resep obat beneran padahal saya cuma mantan calon farmasis, teman saya menjawab segala pertanyaan yang saya berikan.
Jadi, begini, Saudara-saudara. Konon, tulisan dokter memang sengaja dibuat susah dibaca agar tidak disalahgunakan. Kamu pasti pernah mendengar informasi ini—tapi sudahkah kamu tahu maksudnya apa?
Ternyata, jika resep obat ditulis dengan tulisan yang mudah dipahami pasien, diyakini akan ada kemungkinan si pasien tadi bakal membeli obat yang sama di apotek untuk orang yang mengalami gejala yang sama dengannya, tanpa perlu repot-repot berobat. Padahal, memangnya dia bisa jamin kalau metode tebak-tebakan dan cocok-cocokan obat begini aman dilakukan? Hmm?
FYI saja, tidak semua obat memiliki efek yang sama terhadap pasien meski dengan penyakit yang sama. Jadi jelas, konsultasi pada dokter dan farmasis memegang peranan penting kalau kamu ingin mengonsumsi obat demi kesembuhanmu. Itu sebabnya ada beberapa obat yang bertuliskan “harus dengan resep dokter”, Fernando.
Kemungkinan alasan berikutnya soal kenapa tulisan dokter justru keriting dan susah dibaca adalah karena…
…ya karena selama ini tulisan dari dokter sudah identik dengan istilah “tak bisa dibaca”!!!!1!!!1!!!
Kalau tiba-tiba si dokter tadi berubah mood dan mulai menulis dengan huruf yang rapi dan terbaca, bukankah nanti si farmasis bakal keheranan dan mencurigai resep obatnya palsu??? Maksud saya, kamu juga pasti bakal mencurigai temanmu kalau mendadak mengirimimu WA dengan manis, padahal biasanya cuek setengah mati, kan???
Yah, gimana yah, lah wong ternyata temanmu itu cuma mau pinjam uang. Hehe.
Teman-teman saya yang farmasis menyebutkan bahwa, semasa mereka kuliah apoteker, bahasan mengenai tulisan dokter yang lebih ruwet daripada perjalanan cinta ini memang “sengaja” dilakukan dengan tujuan tadi. Tapi nyatanya, strategi ini bisa langsung patah begitu sampai di tangan farmasis karena bisa saja mereka jadi berpikir…
…ini resep bacanya apaan dah, bosque???
“Kalau ada yang bisa baca tulisan di kertas resep, itu murni karena pengalaman dan skill, Li,” tambah seorang teman saya.
Percayalah, para farmasis dan asistennya ini ternyata sama manusianya seperti kita. Mereka nggak ujug-ujug paham tulisan yang tertera di kertas resep. Kadang, mereka bakal bertanya dulu pada rekan kerjanya dan, nggak jarang, kalau tulisan dokter tadi kelewat keriting, mereka harus mencatoknya dulu.
Hehe, bercanda. Maksud saya, mereka harus mengonfirmasinya ulang pada si dokter.
“Tapi itu kan makan waktu, apalagi kalau pasiennya banyak dan antre,” tambah si teman.
Berterima kasihlah pada kemajuan zaman dan teknologi. Sekarang, resep obat yang ditulis dokter mulai melalui proses input terlebih dulu sehingga ia berbentuk kertas dengan ketikan rapi saat tiba di tangan farmasis. Itu artinya, tingkat kesalahan pembacaan obat lantas bisa ditekan dengan maksimal.
Wow, wow, sungguh melegakan. Kebayang nggak sih kalau farmasis-farmasis kita ini kerjanya harus membaca tulisan dokter yang susah dibaca, dan di saat yang bersamaan, dia dikirimi pesan dari kekasihnya, yang berbunyi:
“Ya udah kalau nanti malam nggak jadi ketemu karena kamu mau ketemu teman-teman, nggak apa-apa, kok. Terserah kamu aja. Have fun, ya.”
Sungguh, hidupnya dipenuhi kode yang membingungkan~