MOJOK.CO – Jangan-jangan, kasus ijazah palsu Komar adalah bukti bahwa orang lucu adalah orang paling sedih sedunia, termasuk sedih karena nggak punya ijazah?!
Beberapa bulan lalu, saya bertugas menyunting kumpulan esai milik Nyimas Gandasari. Salah satu esainya berkisah soal seseorang yang berniat mencari ijazah palsu demi menaikkan gengsi di hadapan kekasihnya.
Saya nggak tahu nasib akhir pria tadi, apakah berhasil memenuhi egonya atau tidak. Tapi, belakangan, media massa melaporkan hal serupa: pelawak kenamaan kita, Nurul Qomar alias Komar, diberitakan menggunakan ijazah palsu S-2 dan S-3.
Usut punya usut, kasus ijazah palsu Komar ini nggak sepenuhnya berupa ijazah. Dilaporkan, awal terbukanya kasus ini adalah munculnya surat keterangan lulus (SKL) dalam pemberkasan pencalonan rektor yang Komar ikuti di Universitas Muhadi Setiabudhi (Umus), di Brebes, Jawa Tengah.
Seluruhnya dimulai di tahun 2017, tepatnya bulan November, saat Komar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai rektor di Umus. Apa pasal?
Ternyata, dalam CV, Komar menyatakan telah lulus S-2 dan S-3, tapi sayang, ia tak bisa menunjukkan ijazahnya, sampai dua tahun kemudian kita justru mendengar kabar ijazah palsu Komar.
Ijazah Palsu Komar adalah Lawakan yang Nggak Lucu, Jangan-Jangan Komar Sedang Sedih?
Bersama grup lawak Empat Sekawan, Komar pernah mengocok perut kita semua lewat tayangan di televisi. Berita soal ijazah palsu yang menyeret namanya ini pun membuat saya terkaget-kaget: masa, sih???
Dari seluruh riwayat lawakannya, saya rasa “lelucon” soal ijazah palsu Komar adalah yang terburuk, apabila terbukti benar. Ha gimana, kuliah itu berat, je. Ya mata kuliahnya, tugas-tugasnya, kuis-kuisnya, ngitungin jatah bolosnya, sampai skripsi dan sidangnya.
Jadi, kalau mendengar orang punya ijazah palsu, rasa-rasanya kok saya gemas sendiri. Memangnya mereka nggak mikirin keluh kesah mahasiswa seluruh Indonesia yang tiap hari pasang status galau gara-gara di-PHP dosen pembimbing, ya???
Tapi, melihat bahwa tokoh yang menggunakan ijazah palsu adalah Komar, yang notabene kita kenal sebagai pelawak—alias orang yang lucu—saya jadi penasaran lagi: bukankah Komar sudah cukup ceria dan tampaknya membawa keceriaan untuk lingkungannya? Kelam seperti apa yang ia rasakan sampai-sampai memutuskan untuk memunculkan kasus ijazah palsu Komar ini?
Bukan apa-apa, nih, Gaes, tapi orang-orang lucu macam Komar—dan mungkin juga kamu—nyatanya sering sekali mendapat stereotip mutlak. Salah satunya tersebar dalam akun quotes di Instagram dan di-like lebih dari 2638673529 orang: “The saddest people smile the brightest”.
Lantas, kalau kutipan itu benar, apakah Komar yang senyumnya lebar dan tampak ceria sekali itu sesungguhnya sedang bersedih? Bersedih karena belum punya ijazah, sampai-sampai membuat SKL palsu, begitu?
Ya, Orang-Orang Lucu Juga Bisa Berduka
Setelah kasus ijazah palsu Komar terangkat, kabarnya Komar telah dibebaskan karena penyakit asma akut. Berita inilah yang kemudian mengusik saya kembali.
Kalau orang-orang lucu kayak Komar aja bisa sakit parah, tentu mereka sedih, dong? Lantas, apakah kesedihan ini yang mendorong mereka untuk bersikap nggak masuk akal?
Saya kenal baik seorang kawan perempuan yang suka melihat orang lain tertawa. Dia merasa gembira kalau keberadaannya menghibur orang lain. Itulah sebabnya, dia berusaha keras menjadi teman yang menyenangkan, membawa ceria, hingga melempar tebak-tebakan garing paling menyebalkan yang pernah saya dengar.
Tapi, saya terhibur. Teman-teman lain juga. Keberadaannya, meski bukan hal paling signifikan di hidup kami, tetap menjadi hal yang kami rindukan.
Suatu ketika, teman saya dirundung duka. Untuk sejenak, saya tidak bisa menjangkaunya. Saya cuma bisa mengiriminya pesan berbunyi: “Jangan sedih lama-lama, ya. Ingat, kamu kan biasanya lucu. Hehe.”
Sedetik setelah saya kirim, saya menyesal. Bukankah pesan saya tadi justru terkesan “membebaninya” untuk tetap menjadi orang lucu, tak peduli seberapa sakit hatinya dia? Bukankah pesan saya tampak sangat egois karena saya menuntutnya kembali ceria, padahal kalau dipikir-pikir selama ini pun dia tak pernah berhenti menghibur kami—yang berarti dia terbiasa menutupi kesedihannya?
Bedanya teman saya dengan Komar, teman saya tidak melamar jadi rektor. Artinya, kesedihannya tidak diwujudkan dalam bentuk ijazah palsu.
Sayangnya, dalam keadaan yang berlebih, kesedihan ini malah berakhir jadi self-harm yang ia lakukan. Perlu waktu lama sampai dia kembali dan terlihat “normal”, lalu menjelma lagi sebagai “orang yang lucu”.
Tapi, Ingat, Orang-Orang Lucu Aslinya adalah Orang-Orang yang Pintar
Sebelum kasus ijazah palsu Komar terbuka, kita semua telah familier dengan stereotip lain yang menyebutkan bahwa orang-orang lucu cenderung merupakan orang-orang pintar. Sebut saja almarhum Dono, anggota Warkop DKI yang terkenal itu. Diketahui, Dono adalah seorang mahasiswa UI yang juga aktif sebagai aktivis.
Di kancah internasional, pemeran Mr Bean, Rowan Atkinson, juga punya pamor yang sama. Meski aktingnya mampu mengocok perut, ia ternyata merupakan lulusan Newcastle University dan Oxford University di bidang Teknik Elektro.
Sebuah penelitian di Austria bahkan menemukan fakta bahwa orang-orang lucu ini, terutama yang menyukai dark humor, memiliki IQ yang lebih tinggi daripada orang-orang seusianya. Sebab, humor dan lelucon tertentu memang melibatkan kemampuan kognitif dan emosional. Artinya, tak sembarangan orang bisa bertitel “lucu” dengan suksesnya.
Dengan kepandaiannya, orang-orang lucu ini memiliki keahlian verbal dan non-verbal, ketahanan lebih tinggi pada gangguan mood, dan kemampuan menghadapi sikap-sikap agresif.
Pertanyaannya, apakah kasus ijazah palsu Komar justru bisa mematahkan teori yang satu ini?
Saya harap tidak. Komar adalah pelawak yang layak dikenal sebagai “orang yang lucu”. Saya yakin, ia pun punya cara yang pintar menghadapi kasus ini: mengakui dan meminta maaf, misalnya, kalau memang terbukti. Atau, menunjukkan bukti sebaliknya, jika tuduhan ijazah palsu Komar ini hanya dugaan kosong.
Plus, Komar—dan orang-orang lucu manapun di dunia ini yang sedang tersandung masalah,—kelak akan bangkit kembali dengan cemerlang.
Kali ini, tanpa ada perasaan sedih yang menyiksa. Semoga.