MOJOK.CO – Circle pertemanan yang menyusut membuat kita sadar bahwa semakin dewasa, jumlah teman semakin sedikit adalah wajar terjadi.
Banyak orang mengeluh karena semakin tua, jumlah teman semakin sedikit. Bagi orang perantauan seperti saya, hal ini akan sangat terasa setiap kali kembali ke kampung halaman. Kalau di kota rantau saya bertemu banyak orang di kantor, di rumah justru sebaliknya. Teman-teman saya ada di kota rantau lain atau sudah menikah dan susah diajak bertemu.
Secara otomatis, circle pertemanan terasa seperti seleksi alam yang perlahan-lahan mengeliminasi orang-orang di dalamnya.
Dulu sekali, waktu saya masih kelas 5 SD, ada sebuah geng cewek yang dikepalai oleh kakak kelas bernama Renata (Bukan nama sebenarnya. Nama sebenarnya, sih, Astuti). Kepopuleran Renata luar biasa—saya harus mengakui. Dengan parasnya yang cantik, badannya yang tinggi, senyumnya yang manis, dan sikapnya yang ramah, Renata ini ibarat Yoona SNSD, Suzy, atau IU yang memang secara otomatis membuat semua orang jatuh cinta.
Seperti yang sudah saya sebutkan, Renata mengepalai sebuah geng—saya tidak tahu namanya. Yang saya tahu, anak-anak perempuan kelas 4, 5, dan 6 sepertinya tergila-gila ingin masuk ke gengnya, kecuali saya. Saat itu, saya lebih suka pergi ke kolam ikan setiap waktu istirahat buat ngasih makan—sebuah kebiasaan yang terbawa hingga sekarang di kantor Mojok.
Anak-anak perempuan ini—mari kita sebut sebagai PR alias Penggemar Renata—umumnya memiliki tampilan yang bersih, cantik, dan lucu. Mungkin ini juga alasan saya kenapa tidak menjadi PR. Saya-semasa-SD adalah cerminan dari plesetan nama saya: Kumal, dari Kumala. Boro-boro untuk jadi PR, lah wong mandi pagi aja alhamdulillah.
Renata populer sekali, saya ulangi. Temannya banyak, penggemarnya banyak—dan semuanya berlomba-lomba ingin menjadi sahabatnya.
Setiap kali—literally, setiap kali—Renata berjalan-jalan saat waktu istirahat tiba, pasti ada setidaknya 2 hingga 3 teman yang mengikutinya. Udah gitu, setiap kali—serius nih, setiap kali—Renata lagi jalan-jalan diikuti kacung-kacungnya teman-temannya itu, pasti ada teman lain yang memanggil dari jauh.
Memanggil Renata? Bukan. Si teman lain ini memanggil temannya-Renata-yang-sedang-mengekor-Renata. Percaya atau tidak, mereka kemudian berkata,
“Hei, Temennya-Renata-yang-lagi-ngekor-Renata! Salam, ya, buat Renata!”
[!!!!!!!!!!!11!!!!!1!!!!!!]
Saat itu, saya bengong saat nggak sengaja mendengar metode titip salam yang super aneh ini. Maksud saya, kenapa nggak langsung menyampaikan salam aja ke Renata, sih, Mbak??? Kenapa harus pakai titip-titip segala, emangnya ini radio??? Lagi pula, ngapain harus ngasih salam??? Bukannya tadi situ juga ketemu di kelas???
Usut punya usut, tradisi titip salam untuk Renata adalah kebiasaan wajib dalam geng. Konon, mereka harus menitipkan salam dengan cara tadi setiap kali Renata tampak di mata mereka dan harus melalui teman yang sedang bersama Renata—tidak boleh langsung menyapa si Tuan Putri. Bukan hanya itu, proses rekrutmen anggota geng pun bersifat rahasia karena semua peserta ‘audisi’ akan dipertimbangkan langsung oleh Renata.
Ini serius. Saya ingat betul dua teman saya di kelas didatangi senior kelas 6 SD yang membisikkan sesuatu. Kedua teman saya langsung tersenyum lebar sekali dan sibuk lompat-lompat kegirangan. Besoknya, mereka meneriakkan hal yang sama saat Renata dan konco-konconya lewat di depan kelas kami,
“Kak, salam buat Kak Renata, ya!”
Hadeeeeeeh!!!
Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan akun Twitter Renata. Parasnya masih cantik dan senyumnya masih jauh lebih manis daripada gula 3 sendok makan. Yang berbeda darinya hanyalah kehidupan sosialnya.
Dari banyaknya cuitan dan foto-foto yang ia bagikan, tak ada foto bergerombol dengan sekumpulan cewek-cewek pemujanya. Pun, tak ada komentar balasan dari para PR yang dulu selalu ‘menyerbunya’ di waktu istirahat dan waktu pulang naik bus sekolah. Sepi. Pengikutnya tak mencapai 100, padahal anggota-anggota geng Renata seluruhnya menjamur di media sosial.
Sepertinya Teman-teman sekalian, circle pertemanan Renata telah menyusut drastis. Saya jadi bertanya-tanya: apakah prinsip ‘semakin tua, jumlah teman semakin sedikit’ itu juga dirasakan Tuan Putri Renata yang terkenal???
“Oh, Renata yang populer itu? Iya, aku ingat!” adalah jawaban dari teman-teman saat saya menyebut namanya. Mereka mengingat Renata dengan baik, tapi tak lagi berkomunikasi. Jelas, ikatan persahabatan masa kecil tak bisa jadi jaminan bahwa ia akan langgeng hingga dewasa.
Ah, saya jadi ingat: sahabat masa kecil saya sudah menikah dan punya anak, sementara sahabat-sahabat lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tidak ada lagi pesan berbunyi, “Liaku! Lagi apa?” dari salah seorang teman karena ia harus menjaga hati istrinya yang kini sudah menjadi sahabat saya. Teman-teman lainnya tak berkabar, meski kami sama-sama masih saling melihat Instagram Story masing-masing.
Saya pernah mendapat broadcast dari seorang teman. Isinya tentang sahabat lama yang sudah tak berkomunikasi dalam waktu yang panjang. Katanya, meski sudah tak lagi dekat seperti dulu, sapaan “Apa kabar?” mungkin akan terasa sangat berharga.
Tapi, ah, buat apa mengharapkan seseorang mengingatmu terus menerus hanya karena perasaan melankolis gara-gara fakta bahwa semakin tua kita, jumlah teman semakin sedikit? Toh bisa saja, ini semua terjadi karena kita (hah, kita???) sudah berubah menjadi Saras 008 manusia dengan prioritas berbeda, bukan?
Lagi pula, mungkin saja teman-teman kita—yang sudah entah bagaimana kabarnya itu—justru tengah menikmati hidupnya jauh lebih baik, seperti Renata.
Oh, ngomong-ngomong, Renata sudah menikah dan punya anak. Hidupnya bahagia sekali, meski di kolom reply Twitter-nya tak ada komentar yang berbunyi, “Aku tadi kirim salam buat kamu lewat penjual sayur kompleks. Sampai nggak?”