Sudah lama saya lelah dengan Jonru Ginting. Ia gemar memotong kata-kata. Ia hobi memutarbalikkan pernyataan.
Kita tahu ia tak punya standar minimum untuk dapat dipercaya sebagai orang yang berintegritas, apalagi sebagai ustadz. Ia tak punya rekam jejak keilmuan yang jelas, tak memiliki kemampuan dasar memahami bahasa arab, serta tak punya pengetahuan apa pun tentang metode penafsiran Al-Qur’an dan hadis. Tapi kita juga tahu, ia didengar dan para pendengarnya nyaris taklid buta.
Dulu, saya kira Jonru bisa dihadapi dengan lelucon. Atau pada titik paling jengah, saya mengabaikannya. Saya berharap, waktu akan mengajarinya berbenah. Tapi belakangan, nyaris dari hari ke hari, ia semakin menunjukkan penurunan mutu nalar. Pendukungnya pun demikian. Hingga saya percaya, mereka, Jonru dan para penggemarnya, diciptakan sejoli, serupa nanah dan kumpulan lalat.
Saya pernah mengira ia akan berhenti menghina atau merendahkan Prof. Quraish Shihab. Tapi postingan terakhirnya, yang disebarkan hingga viral di media sosial, mengulangi itu lagi dan membuat saya sangat terganggu.
Saya tidak sepakat dengan orang-orang yang mencaci-maki Jonru di media sosial karena anjurannya untuk mencari masjid lain untuk salat Id selain di Istiqlal. Memilih masjid, lebih menyukai imam atau khatib satu dibanding yang lain, tentu hak masing-masing. Kita tidak perlu merendahkan Jonru karena preferensinya.
Tapi, alasan penolakannya terhadap Prof. Quraish Shihab itu sungguh-sungguh biadab. Dalam delusi Jonru, Prof. Quraish tidak layak menjadi khatib karena tiga hal: tidak mewajibkan jilbab, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak dijamin masuk surga, dan membela Karbala.
Mari kita periksa satu per satu.
Pertama, khotbah seorang PROFESOR BIDANG FIKIH YANG MENGUASAI BAHASA ARAB DAN TAFSIR tidak layak didengar karena ia tidak mewajibkan jilbab. Maka kita perlu tahu, khotbah macam apa yang mutunya baik dalam standar Jonru? Apakah yang menolak Pancasila dan berbaiat kepada ISIS? Atau yang menyerukan khilafah? Khotbah seruan untuk membunuh dan memancung orang kafir?
Kedua, ia menuduh Prof. Quraish berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak dijamin masuk surga. Saya tidak tahu di mana Jonru belajar tafsir, tapi yang jelas dalam khazanah keilmuan Islam, perdebatan tentang masuk surga telah melahirkan banyak tradisi kritis terhadap hidup setelah mati. Kita simak salah satu hadis yang membahas ini:
“Dari Jabir, ia berkata: saya pernah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Amal saleh seseorang di antara kamu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga dan tidak dapat menjauhkannya dari azab api neraka, dan tidak pula aku, kecuali dengan rahmat Allah.” (HR Muslim)
Imam Muhyiddin An-Nawawi dan Imam Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki menafsirkan hadis di atas dengan surat Al-A’raaf:43, yang berbunyi, “Itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”
Profesor Quraish lalu menafsirkan dan memberi konteks, berdasarkan hadis tadi, ia menilai bahwa seseorang tak bisa masuk surga tanpa rahmat dari Allah. Jika Nabi menyebut bahwa seseorang masuk surga karena rahmat Allah, mengapa Al-Quran menyebut surga dihadiahkan kepada orang atas perilakunya? Maka kita perlu memahami apa itu mukhtalif al-hadits; ilmu mempelajari pertentangan sesama hadis atau ayat Qur’an.
Dari sini kita bisa memilih, percaya Prof. Quraish yang teruji keilmuannya atau Jonru yang saya tak tahu sanad ilmunya.
Terakhir, menurut Jonru, Prof. Quraish tidak layak didengar khotbahnya karena membela Karbala. Maksudnya bagaimana? Seorang muslim tidak boleh membela kelompok yang ditindas, dihina, dan dibantai di padang Karbala?
Tahukah Jonru siapa yang dibunuh di Karbala? Cucu Nabi Muhammad sendiri, Imam Husain. Dan seluruh pendukung Imam Husain dibunuh dengan kejam, dinista. Mereka tidak boleh dibela? Manusia macam apa yang merayakan kekejaman seperti itu?
Tidak ada aturan dalam Islam yang menyebutkan bahwa syarat sah menjadi khatib adalah menista karbala, atau mewajibkan perempuan memakai jilbab dalam kehidupan sehari-hari. Dalam adab orang-orang berilmu, mereka yang bertikai dan berbeda mazhab tidak akan mengharamkan apalagi melarang pengikutnya untuk turut salat di belakang imam dari mazhab lain.
Pengetahuan semacam ini jelas hal dasar yang dikuasai dan dipahami oleh orang yang mengerti adab. Apakah orang NU melarang bermakmum di belakang imam dari Muhamadiyah hanya karena perbedaan tafsir? Tentu tidak, mereka yang melarang jelas tidak memahami apa syarat menjadi imam.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al-Badri disebutkan, “Yang boleh mengimami suatu kaum adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur’an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya (yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka”.
Kita tahu, Prof. Quraish Shihab memenuhi semua kriteria tersebut. Ia memiliki pemahaman dan penguasaan Al Qur’an yang baik. Ia menyusun kanon Tafsir Al-Misbah yang diakui mutunya oleh sarjana-sarjana Islam dunia. Prof. Quraish jelas jauh lebih otoritatif daripada Jonru.
Atau anggaplah Jonru Ginting setara pemahaman Al-Qurannya dengan Prof Quraish Shihab. Sebagai orang yang lebih sepuh dan lebih dahulu masuk Islam, Prof. Quraish Shihab jelas lebih layak.
Soal ketaatan? Amit-amit, saya menolak membandingkan.