MOJOK.CO – Tudingan uji klinis fase 3 untuk vaksin corona sebagai upaya menjadikan Warga Negara Indonesia sebagai kelinci percobaan dari Cina itu agak mengerikan sih.
Beberapa hari yang lalu vaksin COVID-19 atau corona dari Sinovac telah tiba di Indonesia. Buat orang kesehatan, kedatangan vaksin ini untuk pelaksanaan uji klinik fase 3 di Indonesia merupakan kabar baik.
Bagaimanapun, vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac itu adalah satu dari 24 kandidat vaksin di dunia yang sudah memasuki fase evaluasi klinis. Pada saat yang sama, per 21 Juli 2020 juga ada 142 kandidat vaksin lain yang tengah berada dalam evaluasi pre-klinik.
Mempermasalahkan asalnya dari Cina? Duh, kalau urusan Cina, tentu di Mojok hal itu sudah menjadi urusan kandidat doktor Novi Basuki untuk menjelaskannya.
Akan tetapi, dari daftar pengembangan tadi, dari 23 vaksin lainnya tertulis nama Wuhan Institute of Biological Products/Sinopharm, CanSino Biological Inc./Beijing Institute of Biotechnology, atau juga Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical/Institute of Microbiology Chinese Academy of Sciences.
Iya, dari Cina juga. Sangat wajar, lha, virusnya kan pertama kali nongol di negara itu.
Sebagai bapak muda yang pernah mengucapkan janji sebagai Apoteker, jantung saya berdegup kencang ketika membaca komentar di salah satu media terkait vaksin corona ini.
Saya salin saja ya:
“Memang di negaranya sudah menjalani uji klinis 1 dan 2. Uji klinis 1 itu adalah kimia, uji klinis 2 adalah terhadap hewan, dan uji klinis 3, yang akan diselenggarakan di Indonesia ini adalah terhadap manusia.”
Sungguh, saya langsung merasa sedih. Bukan hanya karena muatan dari pernyataan itu tidak bersesuaian dengan yang pernah saya pelajari, melainkan karena ini tanggal tua.
Bicara COVID-19 ini memang agak istimewa. Pertama, transmisinya antar-manusia. Kedua, angka kematian yang ditimbulkan terbilang tinggi. Ketiga, ia sesungguhnya dapat dikatakan sebagai self-limiting disease alias bisa sembuh sendiri.
Bagi orang awam, memahami konteks (((bisa sembuh sendiri))) ini jadi agak kontradiktif dengan tingginya angka kematian hingga transmisinya yang mudah. Hal ini yang lantas bikin sebagian orang lebih merasa cocok dengan rupa-rupa teori konspirasi. Bahkan sampai meyakini bahwa penyakit ini tidak ada.
Mengingat teori konspirasinya sudah jadi serial, maka narasi yang dibangun boleh jadi agak menyakitkan karena sudah muncul pernyataan bahwa uji klinis fase 3 itu adalah upaya menjadikan Warga Negara Indonesia sebagai (((kelinci percobaan))).
Fiyuh~
Izinkan saya menceritakan sedikit tentang proses pengembangan obat dan uji klinis.
Begini. Kita pakai saja urutan dalam pernyataan di atas. Uji kimia, uji pada hewan, dan uji pada manusia. Apakah itu maksudnya uji klinis fase 1, 2, dan 3? Tentu saja tidak demikian.
Uji klinis itu adalah uji yang dilakukan pada manusia. Uji kimia dan uji pada hewan ada di bagian sebelumnya. Percayalah, meriset obat itu ongkosnya gede. Pengelola riset nggak akan repot-repot menguji sampai ke manusia kalau di pertengahan riset sudah tampak tanda-tanda bahwa suatu calon obat bakal tidak aman atau tidak berkhasiat.
Rangkaian sebelum bisa masuk ke uji klinis itu juga panjang sekali. Mulai dari skrining yang saat ini sudah banyak menggunakan komputasi, dilanjutkan dengan preformulasi, hingga pertimbangan biofarmasetika dalam rancangan bentuk sediaan.
Pada proses di belakang layar ini pula dikenal istilah in Vivo dan in Vitro. Waktu ramai-ramai kalung antivirus, tentu sering mendengar dua frase itu, kan?
Dalam istilah latin, vitro artinya kaca. Jadi, in Vitro bermakna bahwa pengujian dilakukan di tabung reaksi atau cawan petri dan sejenisnya serta bukan di dalam makhluk hidup.
Nah, in Vivo itulah yang merupakan pengujian pada hewan. Hewannya juga bukan sembarang hewan. Ada berbagai standar yang harus dipenuhi. Di kantor lama, bos saya sering menyederhanakannya sebagai “kesejahteraan hewan”.
Jadi, itu vaksin corona dari Cina bukannya belum pernah diuji pada manusia di negara asalnya terus nyari (((kelinci percobaan))) di sini. Kalau memang pakai kelinci, kan tadi sudah di pre-klinik.
Fase-fase uji klinik sendiri sesungguhnya ada 4. Uji klinik fase 1 fokus pada farmakologi yang meliputi keamanan, rentang dosis, identifikasi efek samping, kemampuan toleransi, farmakokinetik dan farmakodinamik, serta rute pemberian. Hasilnya menjadi bahan fase selanjutnya.
Uji klinik fase 2 sifatnya eksploratif dengan fokus pada efektivitas dan keamanan. Sedangkan fase 3 sifatnya konfirmasi efektivitas dan keamanan tersebut.
Dalam setiap pengembangan yang dilakukan, bahkan mulai dari pre-klinik, data keamanan, mutu, dan khasiat itu selalu dibawa pada proses selanjutnya. Segambreng dokumen itu yang kemudian dibawa ke regulator ketika proses pendaftaran suatu produk.
Lantas fase 4-nya apa?
Ini adalah fase post-marketing surveillance untuk memastikan efektivitas dan keamanan suatu produk setelah digunakan oleh populasi besar dalam waktu panjang, serta untuk mendapatkan data keamanan yang baru. Kerja di industri farmasi itu urusannya nggak selesai sampai produk dilepas ke pasar, tapi sampai jauh akhirnya ke laut pokoknya.
Terus ada lagi tuh di Twitter bertanya, masih soal kelinci, “terus itu kelincinya dikasih tahu nggak kalau lagi dicobain obat?”
GUSTI NU AGUNG!
Bagi yang pernah sekolah dan kuliah dengan materi hafalan mati, pasti pernah mengalami salah menjawab pertanyaan ketika ujian terus saking penasarannya membuka kembali catatan. Seringkali, saking menyesalnya bahwa telah salah menjawab, maka justru soal dan jawaban itu diingat terus sampai kini.
Persis dengan kejadian saya ujian mata kuliah Uji Klinik bertahun-tahun lalu. Soalnya ketika itu adalah “Jelaskan pengertian informed consent!”.
Di uji klinik itu informed consent menjadi salah satu dokumen penting yang intinya adalah penyampaian informasi dengan eksplisit dan relevan kepada pasien atau subyek penelitian untuk dapat memperoleh persetujuan sebelum dilakukannya suatu tindakan medis atau pengobatan dalam penelitian.
Jadi, kalau muncul pertanyaan apakah orang-orang yang menjalani uji klinik tahu perihal sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuhnya? Ya tentu saja tahu, kan ada informed consent. Lagipula, untuk bisa uji klinik itu ada standar tinggi, namanya Cara Uji Klinik Yang Baik (CUKB).
Zaman sudah berubah, nilai-nilai kemanusiaan semakin dijunjung tinggi dan elemen-elemen manajemen risiko juga sangat dipertimbangkan. Hal itu pula yang antara lain menyebabkan permintaan Presiden Joko Widodo agar prosesnya kelar 3 bulan tidak bisa disanggupi oleh tim riset.
Di luar negeri, uji klinik seringkali menjadi kesempatan bagi para penderita penyakit tertentu untuk mengakses obat lebih dahulu. Pada pasien-pasien yang terapinya sudah mentok—alias pengobatan sampai lini terakhir sudah dilakukan, mengikuti uji klinik suatu obat baru justru menjadi bagian dari ikhtiar mereka untuk bisa sembuh dari suatu penyakit.
Patut dicatat pula bahwa Indonesia sendiri memiliki 2 landscape pengembangan vaksin yaitu global dan dalam negeri. Vaksin yang sedang dibahas ini adalah salah satu bagian dari landscape global. Artinya, paralel masih berjalan riset-riset lainnya, termasuk yang kita kenal sebagai vaksin merah putih.
Sesungguhnya, komentar-komentar yang merendahkan uji klinik itu bikin saya berpikir keras. Ini penyakit luar biasa. Nggak ada obat, salah. Nggak ada vaksin corona, salah. Ada vaksin corona yang dikembangkan dalam konstruksi global dan mau diuji di Indonesia, salah juga.
Tempo hari, ketika Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, dalam rapat di DPR bilang tentang temulawak, ikan gabus, dan meniran juga dikomentari miring. Padahal, substansinya adalah mendorong penggunaan temulawak, ikan gabus, dan meniran yang berstatus Obat Herbal Terstandar atau Fitofarmaka. Fitofarmaka sendiri adalah obat tradisional yang sudah lolos uji klinik.
Dari perkembangan yang sudah terjadi ini saja, ditunjang fakta bahwa jumlah antivaksin di Indonesia tidaklah sedikit, jangan-jangan nanti kalau vaksinnya sudah beredar bakal timbul masalah lain lagi.
Duh, Gusti.
BACA JUGA Dexamethasone Jadi Obat Corona? Hm, Cek Syarat dan Ketentuannya Dulu Dong atau tulisan Alexander Arie lainnya.