MOJOK.CO – Saat kecil, definisi orang kaya di kepala kita terbatas. Misalnya anggapan kalau makan pakai pisau garpu itu tajir, dan berbagai standar kekayaan konyol berikut.
Mengingat bagaiman kita tumbuh dengan anggapan-anggapan konyol soal definisi orang kaya sungguh konyol dan layak ditertawakan. Di sisi lain memang perlu banyak disyukuri karena pemikiran sederhana justru menjaga kita dari muluk-muluknya keinginan duniawi.
Bapak saya selalu bercerita waktu kecil, beliau selalu pengin punya mobil sedan. Katanya, orang yang punya mobil sedan pastilah orang kaya. Sehingga saat kami berhasil beli mobil Honda Genio di sekitar tahun 2005, bapak saya girang tidak terkira. Sampai akhirnya beliau menyesal dan menjualnya lagi karena mobilnya nggak bisa dipakai buat mudik ke tempat eyang saya di Batang. Bro, jalan desa yang naik turun itu jelas nggak cocok sama sedan yang bumpernya rendah.
Soal definisi menjadi orang kaya, saya punya batasan sendiri di kepala saya dan tentu bukan mobil sedan yang alhamdulillah bisa dibeli sama bapak.
Orang yang kalau makan pakai pisau dan garpu adalah orang kaya.
Mungkin saya kebanyakan nonton sinetron di TV di mana orang-orang kaya hobinya makan steak di restoran mewah. Saya pun tumbuh dewas dengan anggapan itu. Pokoknya kalau ada seorang teman yang saya anggap dia tajir, saya kadang bertanya bagaimana cara makan mereka bareng keluarga, apakah pakai sendok biasa, atau pakai pisau dan garpu? Makan pakai tangan jelaslah rakyat jelata, pikir saya dulu.
Ternyata waktu SMP, saya sudah bisa makan pakai pisau dan garpu saat nongkrong di warung steak ala-ala yang harga tenderloinnya saja cuma Rp11.000. Dulu, harga segitu bagi saya masih cukup mahal. Kalau habis memenangkan lomba atau kompetisi, dapat honor menulis di majalah-majalah, atau habis pecah celengan, saya selalu pergi ke warung steak itu buat merayakan. Wah, saya sudah merasa tajir melintir saat SMP.
Borujuis adalah mereka yang punya kulkas dua pintu dan ada dispensernya pula.
Sebuah cuitan menggemaskan saya temukan di Twitter. Ternyata ada juga yang menganggap orang kaya itu selalu punya kulkas besar dengan dispenser air di pintunya. Kalau yang ini sih sampai sekarang saya belum punya. Tapi ini bukan sebuah memori yang tumbuh di kepala saya, sehingga saya nggak terlalu punya obsesi beli kulkas beginian.
My wife grew up thinking that having water/ice dispensers IN THE FRIDGE DOOR was a life goal.
I grew up thinking if you had a basketball hoop with a clear/plexiglass backboard, you were rich.
What are some things you thought were indicators of wealth when you were a kid?
— connectpoliticditto (@cpoliticditto) June 27, 2020
Saat SD, kawan-kawan saya menganggap ponsel polyphonic adalah simbol kekayaan
Di tahun 2004, saya ingat betul hape pertama yang saya punya: Nokia 8250. Untuk ukuran bocah SD kala itu, saya sudah termasuk paling keren. Satu kelas cuma dua siswa yang sudah punya hape, saya dan salah satu kawan saya yang memang anaknya bupati, jelas orang kaya dong berarti. Tapi kawan-kawan saya jelas menganggap si anak bupati ini tiada tanding karena dia sudah bisa beli hape polyphonic.
Sementara hape yang saya punya teknologinya masih monophonic yang bunyinya tulit-tulit nggak jelas kalau ada telepon dan sms. Melihat hape yang sekarang udah bisa diperintah cuma dengan “Hey, Siri!” dan “Oke, Google!” mengingat hal ini bikin saya sakit perut karena menahan geli. Ya ampun, polosnya masa kecil. Di hari ini, orang kaya nggak bisa ditentukan dari apa merk hapenya, tapi buat apa hape itu mereka pergunakan.
Membayangkan punya rumah tingkat dengan kolam renang kayak yang di sinetron Bidadari
Kamu mungkin ingat betapa getolnya televisi mengisahkan tentang orang jahat yang punya motif menguasai harta kekayaan, mengincar warisan, dst.dst… Sementara orang baiknya adalah orang kaya yang punya rumah gedongan dengan kolam renang dan garasi segede gudang beras bulog. Rumahnya tingkat dihiasi dengan lampu kemerlap di atapnya. Persis kayak rumah legendaris yang dipakai buat shooting Bidadari.
Banyak anak-anak yang tumbuh dengan cita-cita luar biasa ini. Meski banyak yang masih cuma bisa rebahan di kamar kos 3×4, setidaknya kita pernah merancang rumah masa depan di kepalakita sendiri.
Waktu berlalu begitu cepat dan kini definisi orang kaya di kepala kita berevolusi menjadi sosok Hotman Paris, Raffi Ahmad, hingga Reino Barrack. Nggak apa-apa, Mylov. Jadi orang kaya itu nggak wajib, yang wajib adalah bayar pajak dan BPJS. Huhuhu. Menangis.
BACA JUGA Bukan Kayak Raffi Ahmad, Inilah Standar Kekayaan yang Sesungguhnya atau artikel lainnya di POJOKAN.