Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan

Cerita Pasien Covid-19 : Jumat Kedua di Wisma Atlet

Armin Hari oleh Armin Hari
18 Januari 2021
A A
Cerita Pasien Covid-19 : Jumat Kedua di Wisma Atlet
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dalam ingatan masih samar, bayangan kuning dan orang-orang berpenutup hidung dan mulut yang tak saling menyapa. Sembilan orang, termasuk saya, sejak siang sudah ada di bangku besi yang mulai berkarat di beberapa bagian. Garasi yang disulap jadi ruang layanan, dan tak seorang perawat pun menegur. Kami pun demikian. Masker penutup seperti membatasi gerak mulut untuk sekadar bertukar sapa.

Hingga sore, kami digiring ke bus sekolah berwarna kuning yang telah diubah sedemikian rupa di bagian depan. Duduk saling berjauhan, kami masih menunggu kendaraan diberangkatkan. Kami dipisahkan dengan sopir bus. Tripleks berlapis menyekat ruang antara kami dan sopir. Hanya kami yang berpakaian rupa-rupa. Orang-orang lain mengenakan pakaian berbahan plastik warna putih yang menutupi seluruh badan. Demikian pula wajah mereka.

Lampu sirine ambulans masih menyala di depan bus. Tidak bergerak. Cahayanya berpendar ke segala arah. Sembilan orang di dalam bus kuning yang duduk berjauhan tak mengeluarkan suara. Hanya bising mesin kendaraan yang mengisi. Sepi.

Keheningan pecah oleh suara seorang perawat perempuan yang memanggil nama kami satu per satu. Setelah itu, ia memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan dibawa ke Wisma Atlet Kemayoran.

Dari celah jendela bus, kaca belakang ambulans memantulkan cahaya papan lampu LED di depan bus yang bertuliskan: PASIEN COVID.

***

Bidang kosong di lantai duabelas, menara nomor lima, disulap. Kamar-kamar yang saling berhadapan tertutup rapat. Hanya nomor-nomor dan catatan di kertas tempel yang terlihat di pintu kayu. Kami pun duduk bersila berjauhan.

Sebagian besar yang ada terlihat rapi. Baju baru dicuci, dan sarung yang tidak sempat disetrika. Lusuh dan keriput di beberapa bagian. Sajadah pun dibentangkan, dan beberapa lainnya meletakkan kantong-kantong belanja bekas dari bahan kertas di hadapan mereka. Atau karton bekas air mineral. Pengganti alas untuk sujud. Memang kami tidak sempat menyiapkan beberapa perlengkapan dasar untuk dibawa karena panik dan tidak ada arah. Kosong saat diberangkatkan.

Di beberapa bagian, kantong-kantong plastik berwarna kuning masih ditumpuk di sudut. Karton bekas pembungkus nasi disesakkan. Ikut juga sampah-sampah lainnya. Di lantai juga masih ada cairan menggumpal. Mungkin ada yang bocor saat diseret. Debu pun masih terlihat jelas di atas lantai. Tentu saja tidak dipel saat disiapkan, hanya disapu saja. Ruang beribadah di Wisma Atlet ini pun sementara. Hanya untuk hari Jumat saja.

Saya pun memilih duduk agak di belakang. Masih ada satu saf di belakang saya sebelum dinding.

Lantunan ayat-ayat suci dari masjid sebelah memenuhi ruangan. Seseorang di bagian saf depan berdiri. Ia meminta jika ada di antara kami yang bersedia menjadi perangkat pelaksana salat Jumat. Menjadi juru azan, pengkhotbah, atau imam. Suaranya beradu dengan penyampaian dari gedung sebelah. Beberapa orang pun kemudian berdiri dan maju ke depan.

Suara muazin kami tenggelam. Memang tidak ada pengeras suara. Demikian pula saat khotbah disampaikan. Hanya sayup yang bisa didengar. Semuanya dilenyapkan oleh pengeras suara masjid sebelah. Toh kami tidak punya banyak pilihan. Menjadi minoritas dengan segala keterbatasan seperti ini harus diterima. Tidak boleh memprotes, tidak bisa mengkritik.

Ruangan semacam aula dan lorong-lorong kamar mulai sesak. Jemaah laki-laki dari menara ini mulai berdatangan. Ada tiga puluh dua lantai, lebih dari empat ratus unit kamar, dan masing-masing diisi oleh dua atau tiga orang penderita. Lantai duabelas penuh diisi oleh saf-saf jemaah salat Jumat.

Hampir tidak ada yang bisa saya dengar. Hanya gerakan tangan pengkhotbah yang terlihat. Nampak seperti penerjemah bahasa isyarat di sudut kecil televisi.

Iklan

Di bagian doa akhir yang dipimpin imam, saat semua jemaah menengadah, sayup-sayup suara isakan terdengar di sudut-sudut ruang. Suara imam bergetar memimpin doa. “Ya Allah, Engkau adalah Maha Pemberi dan Pengampun. Ampunkan kami. Sembuhkan kami. Ringankan penyakit saudara-saudara kami yang kurang beruntung. Angkat penyakit ini, ya Allah. Kami rindu sanak keluarga, jangan biarkan kami sendiri.”

Dalam hati, saya bergumam, “Ah, masih ada beberapa hari ke depan yang harus dilalui. Di sini. Wisma Atlet.”

—

Seri Liputan “Cerita Pasien Covid-19 di Wisma Atlet”

  1. Jumat Kedua di Wisma Atlet
  2. Lantai 12 Wisma Atlet Pelepas Suntuk
  3. Pasien Anak-anak, Baby Shark dan Kertas Gambar yang Tersisa

 

[Sassy_Social_Share]

Terakhir diperbarui pada 20 Januari 2021 oleh

Tags: Pasien Covid-19Wisma Atlet
Armin Hari

Armin Hari

Artikel Terkait

ilustrasi Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet mojok.co
Pojokan

Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet

14 Oktober 2021
Perawat di rumah sakit yang kelelahan karena banyak pasien
Jogja Bawah Tanah

Sibuknya Perawat di Masa Gawat Covid-19

15 Juli 2021
Liputan

Cerita Perawat di Masa Gawat

1 Februari 2021
Cerita Pasien Covid-19 : Pasien Anak-anak, Baby Shark dan Kertas Gambar yang Tersisa
Liputan

Cerita Pasien Covid-19 : Pasien Anak-anak, Baby Shark dan Kertas Gambar yang Tersisa

18 Januari 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.