“Sugeng sonten, Gus Mul, menawi wonten wekdal, Insya Allah dalem bade wonten siar wonten De Tjolomadoe Solo, saget pinanggih, matur sembah suwun,” begitu pesan video dari Mas Didi Kempot.
Ketika mendapatkan pesan video tersebut pada pertengahan Agustus tahun lalu melalui kawan saya, Pakdhe Blontank, betapa mongkok sekaligus segan hati saya. Mongkok karena akhirnya saya bakal bisa ngobrol banyak dengan sosok pendekar campursari Indonesia itu, sekaligus segan sebab ia menyampaikan pesannya dalam bahasa Jawa halus.
Beberapa hari berselang, saya akhirnya benar-benar bertemu dengan Didi Kempot. Lelaki yang saat itu boleh dibilang sedang berada di puncak kariernya itu menemui saya yang datang bersama kawan-kawan Mojok di sebuah ruang khusus di belakang panggung De Tjolomadoe, sebuah bangunan bekas pabrik gula terbesar di Solo raya. Saat itu, ia sedang gladi resik untuk konser kemerdekaan yang memang akan dilenggarakan di sana.
Di dalam ruangan berukuran sekira 4×6 meter itu, kami ngobrol banyak hal. Tentang Mas Mamiek, tentang Pak Ranto, juga tentang bagaimana dulu ia merintis karier.
Ia antusias menceritakan tentang proses pengambilan video klip yang baru saja ia rampungkan beberapa hari sebelumnya di sebuah kolam renang di hotel di Solo.
Saya melihat hasil video klip tersebut. Sebuah video yang, menurut saya, sangat tidak sepantasnya untuk ukuran seorang Didi Kempot. Maklum saja, pengambilan video klip tersebut hanya menggunakan kamera biasa, tanpa tata lampu dan tetek bengek lainnya seperti selayaknya pengambilan video klip artis-artis lain.
“Sing penting ki hasile, Mas,” kata Didi Kempot, kali ini dengan bahasa Jawa ngoko. “Lha nganggo kamera apik tapi sing nonton sithik, percumah.”
“Mashook, Pak Didi.”
“Biyen kuwi, Via Vallen le rekaman neng studione kancaku, aku ngerti dhewe deknen ngasi turu klekaran neng sofa ngenteni jadwal rekamane,” ujarnya, “Delok saiki hasile.”
***
Didi Kempot adalah sosok yang sangat murah senyum. Siapa saja yang pernah berinteraksi dengannya pasti tahu itu. Ia juga sederhana.
Rekam jejak hidupnya sebagai musisi yang besar di jalanan memang membuat Didi menjadi sosok yang dekat dengan masyarakat bawah.
Itu pula sebabnya, hampir seluruh lagu-lagunya selalu menceritakan tentang kehidupan masyarakat bawah. Lagu-lagu asmara atau patah hati yang ia nyanyikan hampir selalu mengambil fragmen percintaan yang melibatkan insan-insan melarat yang tak sentosa.
Ia menciptakan lagu tentang terminal, stasiun, dan pelabuhan. Namun tak pernah sekalipun ia menciptakan lagu tentang bandara. Memang ia pernah menyanyikan lagu “Cintaku di Kualanamu”, tapi dalam lagu itu, ia hanya menyanyikannya, sedangkan penulis lagunya bukanlah dirinya, melainkan seorang penulis lagu asal Batak bernama Tagor Pangaribuan.
“Wong sing pisahe neng bandara kuwi kemungkinan bakal iso ketemu meneh. Paling seminggu rong minggu yo wis mbalik. Karang wong sugih. Tapi nek pisahe neng stasiun, pelabuhan, opo meneh terminal, mesti nggrantes, soale le ketemu meneh mesti bakal suwe. Kuwi yo hurung karuan iso ketemu sebab hurung mesti nduwe sangu kanggo bali,” kata Didi Kempot.
Lagu-lagu Didi Kempot benar-benar mewakili kegagalan asmara orang-orang miskin. Sudahlah miskin, gagal pula asmaranya. Apesnya dobel. Dan kepada Didi Kempotlah orang-orang yang apesnya dobel itu bisa mewakilkan suara perasaannya melalui lagu.
Tengoklah sepenggal lirik lagu “Aku dudu rojo” yang menjadi salah satu lagu andalan radio-radio di pelosok daerah itu: Aku pancen wong cilik ra koyo rojo, Iso mangan wae aku uwes trimo. Sebuah titik kepasrahan yang sangat paripurna.
Atau tengoklah lagu “Cidro” yang legendaris itu: Opo mergo kahanan uripku iki, mlarat bondo seje karo uripmu. Ia membawa disparitas ekonomi dalam jalinan kisah asmaranya yang gagal.
Di tangan Didi Kempot, dua kombinasi maut penderitaan, yakni kemiskinan dan patah hati, bisa disulap menjadi sebuah seni bernilai tinggi.
Lagu-lagu Didi Kempot bukan lagu patah hati biasa. Ada magis yang besar di dalamnya. Ada perasaan remuk redam yang ikut menyusup ke dalam relung perasaan saat kita mendengarkan lagu-lagunya. Liriknya-lirik lagunya seolah tak rela jika hanya sekadar keluar dari mulut, ia harus juga harus masuk dan bergerilya ke dalam batin dan ingatan siapa saja yang mendengarkannya.
Hanya lewat lagu Didi Kempotlah, seseorang bisa jadi patah hati, bahkan tanpa perlu jatuh cinta.
***
Di mata saya, Didi Kempot adalah sosok yang detail. Selayaknya orang-orang jelata yang gemar mengamati hal-hal yang kecil. Lagu-lagu yang ia bawakan selalu naratif.
Ia piawai mengambil hal-hal kecil tak terpikirkan untuk dipadukan dengan kisah asmara.
Dalam lagu “Lingso Tresno”, ia menggunakan diksi sindap alias ketombe sebagai pembuka narasi patah hatinya.
Bayangkan, ketika Franky Sahilatua menggunakan “Rembulan di malam hari”, Broery Marantika menggunakan “Bulan sabit yang jatuh di pelataran”, atau Melly Goeslow menggunakan “Bagaikan langit di sore hari”, Didi Kempot justru menggunakan “Sindap sing ono rambutku iki”. Ini semacam semiotik sederhana bahwa cinta tak melulu tentang hal yang besar-besar. Cinta adalah potongan-potongan kecil yang rapuh dan bisa diempaskan angin kapan saja.
Dalam lagu yang lain, ia menggunakan lirik yang begitu sufistik dan pantunis: Pupus godhong gedhang, ajang pincuk saiki wis ra kelingan. Biting pringe garing, mbok apusi awakku yo nganti gering.
Ia mampu menggambarkan hancurnya perasaan melalui narasi seperangkat alat makan.
Didi Kempot bukan semata penyanyi. Ia adalah dimensi waktu. Maka tak berlebihan jika kemudian ada istilah “Waktu Indonesia bagian kembang tebu sing kabur kanginan.”
Katon Bagaskara boleh saja membuat Jogja menjadi tempat yang melemparkan ingatan masa lalunya, atau John Denver membikin West Virginia-nya sebagai labirin nostalgianya. Namun Didi Kempot, baginya kenangan bisa tercecer di mana saja. Di Stasiun Balapan, di Terminal Tirtonadi, di Terminal Kertonegoro, di Pantai Klayar, di Tanjung Mas, di Gunung Purba Nglanggeran, di Parang Tritis. Semuanya adalah lumbung-lumbung kenangan.
Didi Kempot adalah penyanyi yang mampu menembus sekat-sekat ketidakmungkinan. “Sewu kuto, uwis tak liwati,” ujarnya dalam lagunya. Padahal jumlah kota dan kabupaten di Indonesia hanya 514. Artinya, ia menembus batas negara untuk mengejar cinta sucinya. Tak banyak yang sanggup berjuang dengan perjuangan yang lebih sakit dari pada dia.
***
Pagi ini, mendung di atas rumah saya terasa semakin gelap. Didi Kempot, musisi yang tak akan cukup dituliskan dengan jutaan tinta emas itu akhirnya berpulang.
Banyak orang berduka. Mendung yang terus menggelayut semakin menambah kegetiran berita duka tersebut.
Berita kepergiannya sungguh bagaikan palu godam yang menghantam tanpa aba-aba. Kita semua sadar bahwa kita semua memang akan mati. Kita hanya tak siap, bahwa jadwal keberangkatan Didi Kempot ternyata secepat dan semendadak itu.
Didi Kempot musisi yang baik. Konon, tak terhitung lagi berapa kali menurunkan harga penampilannya berkali-kali lipat jika ia tahu acara yang akan ia isi adalah acara berbalut sosial. Di masa-masa jelang tutup usianya, ia bahkan berkali-kali mengadakan konser mandiri untuk menggalang dana untuk membantu korban terdampak corona.
Tak terhitung berapa studio musik daerah yang terbantu karena ia memaksa untuk rekaman di sana kendati ia sebenarnya bisa saja rekaman di studio yang lebih besar di kota.
Tak terhitung berapa penyanyi dan pekerja musik dan bisa terus menyambung hidup karena perantara lagu-lagu yang ia bikin.
Dan seperti selayaknya orang baik, untuk mengenang kebaikan-kebaikannya adalah hal yang teramat mudah, dan untuk mencoba tidak sedih atas kepergiannya adalah hal yang teramat susah.
Itu pula yang mungkin sekarang sedang dirasakan oleh orang-orang saat mendengar kabar berpulangnya Didi Kempot.
****
Di sini, kita semua sedih melepas seseorang yang lagu-lagunya menemani masa-masa kondangan dan rolasan kita.
Kesedihan yang tentu tidak dirasakan oleh Didi Kempot sendiri, sebab boleh jadi, di sana, dia justru sedang asyik bernyanyi “Plong rasane njero dadaku, rasane mak plong, lego atiku…” duet bersama Glenn Fredly.
Atau malah sedang kangsenan dan rasan-rasan dengan Bapak dan kangmasnya, Ranto Gudel dan Mamiek Prakoso.
“Lho, akhire kowe nyusul aku ro kakangmu, Le.”
“Enjih, Pak.”
“Wis, kene-kene, kumpul-kumpul. Tak setelke lagu-lagumu biyen jamane kowe isih urip. Wis tak cemke teh nasgitel barang lho. Saiki, tulung bapak ro kangmasmu iki dicritane piye awal mulane kok kowe iso ditanggap neng Syncronize Fest.”
“Lho, Bapak kok ngertos Synchronize Fest barang?”
“Ha yo ngerti, rumangsamu kene ki ora nduwe telik sandi po?”
“Lha menopo Bapak ngertos boso Inggris? Synchronize Fest niku ukara boso Inggris, lho, Pak.”
“Wooo, karang bocah kemaki. Kowe isih mentil, aku ki wis lancar boso Inggris. Lha aku ki mung pas neng Solo yo Yoja wae diceluk Ranto Gudel, nek pas oleh tanggapan neng Jakarta, celukanku Ranto Buffalo Boys.”
“Woalah, Atur pangapunten, Bapak.”
“Ya wis, kene aku ro kangmasmu dicritani.”
“Dados ngeten, Pak…”
***
Ah, bangsat, bahkan dengan iringan dialog imajiner yang saya coba bikin lucu pun, saya masih tak bisa menahan kesedihan.
“Udan-udan dalan’e lunyu…
“Lintange ndelik bulan’e turu…
“Sugeng tindak Didi Kempot katresnanku…
“Nyanyio saiki sareng bapakmu.