Siang ini, saya dan kawan-kawan berangkat salat jumat di masjid tak jauh dari kantor. Hanya sepelemparan baru, ya benar-benar sepelemparan batu.
Tujuan kami tentu saja bukan agar tampang kami jadi ganteng, sebab kami tetap percaya, semulia-mulianya air wudhu, ia tetap tak akan bisa mengubah wajah kami menjadi lebih rupawan.
Buktinya, banyak kawan-kawan saya yang tak pernah salat tapi punya tampang yang cakepnya sporadis dan kolosal. Sebaliknya, saya punya banyak kawan yang rajin salat tapi punya tampang yang buluknya ngaudubillah setan.
Masjid tempat kami salat selalu penuh oleh anak-anak Kecil dari kompleks perumahan sekitar.
Maklum, setiap salat jumat, selalu ada suguhan aneka snack jaburan yang boleh diambil oleh para jamaah salat jumat. Ada jus jambu, ada susu kedelai, ada arem-arem, ada tahu bakso, ada bakpao, ada gorengan, dan sesekali waktu ada juga siomay kecil. Dan bisa ditebak, snack-snack ini biasanya lebih banyak dilarisi oleh anak-anak.
Yah, kadang, saya dan kawan-kawan juga ikut berebut. Lumayan, gratisan ini.
Begitu salat selesai, atau lebih presisinya, begitu salam selesai, maka anak-anak akan langsung gedebukan berebutan mengambil snack yang tersedia.
Ada yang disiplin ambil satu, ada yang ambil dua, dan tak jarang ada pula yang nggragas dengan mengambil lebih dari dua.
Snack-snack tersebut boleh dibilang cukup ampuh untuk menarik anak-anak agar mau berangkat salat jumat. Anak kecil memang acapkali butuh motivasi yang lebih dari sekadar iman. Butuh imbalan sesuatu agar ia mau beribadah.
Jangankan anak kecil, orang dewasa pun sejatinya juga sama. Bedanya hanya soal imbalannya. Anak kecil hanya butuh arem-arem dan susu kedelai, sementara orang dewasa butuh janji masuk surga dan dihindarkan dari neraka.
Sama-sama transaksional.
Bahkan, pada titik tertentu, orang dewasa seperti kita jauh lebih tidak tahu diri. Dengan salat, anak Kecil cuma berharap sesuatu yang sederhana, sedangkan kita mengharapkan sesuatu yang nilainya jauh-jauh lebih dari sekadar imbalan untuk gerakan tubuh yang bahkan durasinya tak sampai lima menit itu.
Sampai di parkiran samping, saya dan beberapa kawan kantor tak langsung masuk masjid.
“Bentar, dikit lagi…” kata Kuntet sembari menunjukkan rokoknya yang tampak masih setengah batang.
“Iyo, nongkrong dilit, toh dari sini khotbahnya juga kedengaran jelas,” tukas Ega Balboa, si ilustrator Mojok.
Saya yang imannya masih sangat lemah mau tak mau ikut apa kata dua sobat saya itu.
Tak berselang lama, Ega beranjak dan berjalan cepat masuk masjid.
Saya kemudian berdiri dan menyusulnya. Namun, belum juga saya sempat menyusulnya, Ega sudah muncul kembali.
Dari tangannya, ia membawa sebungkus siomay dan susu kedelai.
“Heh, goblok. Itu snack buat diambil setelah salat, bukan buat diambil sekarang!” Kata saya memperingatkan Ega.
Si goblok yang sudah saya kenal sejak SMA ini kemudian menjawab diplomatis.
“Kalau ngambilnya setelah salat, pasti sudah kehabisan soalnya harus rebutan sama anak-anak. Kalau diambil sekarang kan lebih mudah,” terangnya sambil prengas-prenges dan mulai membuka bungkus siomay dan menyantapnya.
“Woooo, kenthiiiiir!!!”
“Salat itu yang penting khusyuk, Gus. Lha daripada nanti aku salat sambil kepikiran siomay sama susu kedelai, mending tak ambil sekarang, biar nanti pas salat bisa khusyuk dan tenang!”
Ah, orang dewasa. Sudahlah transaksional, nggragas pula.