Pernyataan Prabowo terkait “Tampang Boyolali” beberapa waktu yang lewat tanpa disangka ternyata meluncur bagaikan bola salju yang liar. Pernyataan tersebut bikin banyak orang merasa tersinggung. Dari mulai orang-orang Boyolali yang merasa tidak terima karena dicitraan sebagai orang-orang miskin yang tidak kuat masuk hotel mewah, sampai orang-orang yang bekerja di hotel mewah yang disebut oleh Prabowo karena mereka merasa tidak pernah mengusir orang-orang berdasarkan tampang seperti yang dikatakan oleh Prabowo dalam pidatonya itu.
Pernyataan Prabowo tersebut seakan semakin mengamini dan melegitimasi adanya kesenjangan yang masif antara orang-orang kota yang kaya dengan warga desa yang miskin.
Penggambaran Jakarta sebagai kota modern yang punya banyak hotel-hotel mewah seperti Ritz Carlton, Waldorf Astoria, sampai St Regis, yang kemudian diperbandingkan dengan konsep “Tampang Boyolali” yang desa, yang miskin, dan yang tidak biasa masuk hotel-hotel mewah, entah kenapa bagi saya terasa begitu menyebalkan.
Bagi saya, mau Jakarta yang “ngota” atau Boyolali yang dianggap “ndesa” itu sama-sama kaya. Sama-sama punya apa yang oleh satu sama lain sukar dimiliki.
Bagi banyak orang Boyolali, dan mungkin juga bagi banyak orang dari dari daerah lain yang juga meyandang sebagai daerah bukan kota, bayangan akan Jakarta atau kota-kota besar lainnya boleh jadi adalah bayangan tentang dunia yang gemerlap, dengan gedung-gedung yang tinggi, dengan segala kemajuan yang pernah dibuat oleh manusia. Hal yang seakan menjanjikan banyak kesempatan untuk mencari uang.
Sebaliknya, bayangan orang-orang kota akan desa adalah pemandangan hijaunya sawah dengan aliran sungai yang bening, pemandangan yang menyejukkan mata, udara yang segar, serta hal-hal lain yang selalu identik dengan ketenangan.
Keduanya sama-sama punya nilai jual. Sama-sama sanggup dijadikan patokan impian di benak masing-masing. Dan yang paling pokok: keduanya sama-sama tidak bisa saling memiliki.
Pemandangan hijaunya sawah dengan aliran sungai yang bening dan menyejukkan itu bagi banyak orang desa tentu adalah hal yang biasa. Hal yang memang sudah sehari-hari menjadi makanan mereka. Namun bagi banyak orang kota, hijaunya hamparan sawah yang bikin hati tenteram itu adalah pemandangan yang tentu saja jarang dilihat oleh mata mereka yang lebih terbiasa melihat hamparan gedung beserta orang-orangnya yang serba bergegas di jalanan, serba mekanis, serga egois.
Bagi banyak orang-orang desa, menanam padi, memandikan kerbau, bersepeda onthel di jalanan kampung atau berjalan-jalan seturut pematang sawah adalah pekerjaaan sehari-hari. Aktivitas biasa yang dilakukan sebagai pengisi hidup. Namun bagi orang-orang kota, aktivitas tersebut adalah bagian dari paket outbond yang harganya kadang tak bisa dinalar oleh akal pedesaan.
Maka, tak heran jika kemudian pemandangan-pemandangan seperti itu, lengkap dengan segala aktivitasnya banyak “dikomersilkan” menjadi dagangan. Banyak tempat wisata, rumah makan, juga penginapan, yang menjual “kedesaan”-nya.
Lantas siapa yang membeli? Ya, orang-orang kota. Orang-orang yang dengan polosnya mau membeli dengan harga tinggi sesuatu yang bagi orang desa adalah hal yang biasa saja.
Mungkin memang begitulah seharusnya. Semata agar keseimbangan kosmis tetap terjaga. Orang-orang desa yang selalu menganggap kota sebagai entitas yang modern, maju, dan serba gemerlap itu harus sadar, bahwa di kota, ada banyak orang-orang yang mau membayar mahal untuk bisa menjadi “orang desa” barang sehari dua.
Orang kota tak pantas jumawa, orang desa pun harus sadar bahwa dirinya diberkahi dan berdaya.
Tak perlu Jakarta, tak perlu Boyolali. Kita semua kaya. Dengan jenis kekayaan masing-masing.