MOJOK.CO – Kasus babi ngepet depok harus kita rayakan, sebab ia memberikan banyak hal kepada kita.
Selayaknya warga +62, saya selalu menyukai perkelahian dan pertikaian. Kadang sebagai pelaku, kadang sebagai penonton, dan lebih banyak sebagai kompor. Saya selalu menikmati peran-peran “kebangsaan” seperti itu. Dan menjadi jauh lebih menikmati ketika sebab-sebab pertikaian itu adalah hal yang sepele dan sebenarnya tidak layak menjadi sebab pertikaian. Babi ngepet, tentu salah satunya.
Kasus babi ngepet yang meledak di negara bagian Depok dan menjadi heboh beberapa hari terakhir ini memang tak bisa tidak sangat mampu memuaskan hasrat pertikaian saya.
Kasus yang belakangan ternyata hanya rekayasa oknum itu mampu menghadirkan perdebatan-perdebatan keras dan sengit di media sosial. Tak hanya perdebatan terkait isu utama, namun juga perdebatan-perdebatan sempalan terkait babi ngepet.
Kasus babi ngepet itu, misalnya, membuat banyak orang mempertanyakan kenapa babi ngepet tidak pernah beraksi di ATM atau bank, padahal di sana jelas ada banyak uang pecahan 50 ribuan dan 100 ribuan. Orang-orang pun kemudian berdebat terkait jawaban atas pertanyaan tersebut.
Ada yang mengatakan babi ngepet hanya beraksi mengambil uang yang jelas kepemilikan uangnya, sedang uang di ATM tidak jelas kepemilikannya, sehingga babi tidak bisa beraksi di sana. Ada pula yang mengatakan bahwa bank sebenarnya memasang pagar gaib di setiap ATM atau kantor cabang mereka sehingga si babi tidak bisa beraksi. Pun ada juga yang mengatakan bahwa babi ngepet hanya mengincar uang yang halal, bukan uang yang terindikasi dan terafiliasi dengan praktik riba, sehingga uang bank bukanlah target mereka.
Bayangkan, dari kasus babi ngepet, kemudian bisa di-break down ke perkara ATM. Dan itu pun sudah cukup memunculkan perdebatan yang seru dan menyenangkan untuk disimak.
Ini membuktikan bahwa kasus babi ngepet ini memicu munculnya imajinasi-imajinasi liar yang, oleh Einstein, disebut sebagai hal yang jauh lebih dahsyat ketimbang “sekadar” ilmu pengetahuan.
“Ilmu pengetahuan dapat membawamu dari A sampai Z. Tapi, imajinasi mampu membawamu ke mana pun,” begitu kata Einstein.
Orang-orang di negara maju mungkin akan menyangkutpautkan babi ke perkara DNA, penangkaran hewan, ekosistem, dan aneka hal yang berkaitan dengan satwa lainnya. Namun orang-orang di negara yang penuh imajinasi, mereka mampu menggiring babi sampai ke ATM.
Kalau mau menyimak kasus secara garis besar, dialektika yang terjadi malah jauh lebih seru, yakni tentang keyakinan akan ada atau tidaknya sebenarnya babi ngepet itu sendiri.
Ini menjadi tema yang bukan hanya panas, tapi juga beyond. Jangan heran jika sekelas Peneliti bidang zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Taufiq Purna Nugraha pun sampai harus dimintai pendapat oleh wartawan.
“Kalau dari sudut pandang ilmiah sih, itu babi ngepet atau bukan, saya nggak bisa jawab, kalau di dalam ilmiah tidak ada itu istilahnya babi ngepet,” terang Taufiq.
Sementara itu, dari ranah kemistisan, praktisi spiritual Mbah Mijan secara tersirat menyatakan bahwa ilmu babi ngepet itu memang ada.
“Babi ngepet adalah sebuah ilmu yang mengubah manusia menjadi siluman babi atau disebut babi jadi-jadian. Ritualnya menggunakan sesaji dan lilin,” ujarnya. Ia juga menjabarkan dengan cukup detail, bagaimana fisik babi ngepet yang berbeda dibandingkan dengan babi biasa.
“Kaki belakang menyerupai kaki manusia dan kaki depan menyerupai tangan manusia. Selain itu ada bulu berwarna putih yang melingkar di pusar.”
Dua pendapat dari dua praktisi di bidangnya masing-masing tersebut semakin menyemarakkan khazanah perdebatan terkait ada dan tidaknya babi ngepet dan hal-hal gaib semacamnya.
Publik pun kemudian terbagi menjadi dua. Yang pertama, kelompok yang tidak percaya dengan babi ngepet. Kelompok ini biasanya menyangkal keberadaan babi ngepet dan juga fenomena-fenomena gaib sejenisnya dengan alasan tidak adanya pembuktian ilmiah.
Kelompok kedua adalah kelompok yang percaya adanya babi ngepet dan hal-hal gaib sejenisnya. Kelompok ini menganggap bahwa pengetahuan tidak sebatas pada hal-hal yang tampak dan bisa dijelaskan secara ilmiah, lebih dari itu, ada banyak pengetahuan dan instrumen spiritual yang bagi mereka memang ada, namun hal tersebut tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan ilmiah.
Keduanya tentu punya fondasi keyakinan masing-masing yang kebetulan saling bertentangan dan memang tidak akan bisa klop.
Nah, di posisi inilah saya amat menyukai perdebatan antara dua kelompok tersebut terkait babi ngepet ini. Sebab, sebagai debat yang sukar untuk mencapai titik temu, perdebatan antara kelompok yang percaya babi ngepet dengan yang tidak adalah jenis perdebatan yang tahan lama, dan bahkan cenderung abadi.
Rasanya menyenangkan melihat orang-orang saling bantah terkait babi, dengan segala argumen-argumen menarik mereka, dengan segala kengototan-kengototan mereka. Entah sampai kapan.
Dalam pusaran perdebatan itu, segala masalah yang saya alami seakan meranggas. Beban-beban hidup yang tadinya berat menjadi terasa ringan. Debat-debat politik dan sosial yang selama ini terasa amat berat dan rumit menjadi tampak receh belaka.
Kita juga harus mengakui, bahwa kita banyak mendapatkan hiburan segar melalui kasus babi ngepet Depok ini. Kreativitas anak-anak muda kita terpacu untuk berlomba-lomba membikin meme tentang babi ngepet. Pengetahuan-pengetahuan hewani kita meningkat. Khazanah spiritual kita juga semakin kaya.
Yang paling utama, polemik terkait babi ngepet ini juga menyadarkan saya (dan mungkin banyak orang lainnya) akan satu hal, bahwa sebagai manusia yang tidak lahir dan tidak tinggal di Depok, sudah seharusnya saya banyak-banyak berucap syukur.
Maka, sudah sepantasnya, kita merayakan kasus babi ngepet Depok ini.
BACA JUGA Wawancara Singkat Bersama Rengginang: Menggugat Guyonan Basi “Kaleng Khong Guan Isi Rengginang” dan artikel AGUS MULYADI lainnya.