Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Begitu pun Warga NU

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
29 Januari 2020
A A
nu
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Kang, ternyata acara yang speakernya ndengung bukan hanya di acara NU, tapi juga di acaranya Ilmu Komunikasi UI yang gedungnya keren begini,” begitu kata Ahmad Tohari seperti yang tertulis dalam buku ‘Ulama Bercanda Santri Tertawa’ karya Hamzah Sahal.

Dalam dunia humor, NU sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan-keagamaan memang sudah sejak lama mempunyai banyak stereotipe-stereotipe lucu yang selama ini melekat kepadanya. Stereotipe yang sebenarnya bersifat “negatif”, namun justru kerap dibangga-banggakan oleh banyak warga NU sendiri.

Dasar warna NU, yang mungkin memang sudah sangat lekat dengan guyonan, hal yang oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu kelebihan NU sebagai sebuah organisasi. Humor memang menjadi ciri khas NU. Dan hebatnya, salah satu cara merawat kelebihan ini adalah dengan menertawakan “kekurangan” mereka sendiri.

Misalnya ya kayak speaker ndengung itu tadi.

Dalam konsep sebuah event, speaker ndengung tentu saja adalah hal yang buruk, namun saking seringnya hal buruk itu terjadi dalam berbagai acara NU, ia kemudian menjelma menjadi stereotipe yang justru seiring berjalannya waktu tumbuh menjadi semacam kekhasan tersendiri.

“Kalau ada pengajian kiai NU, tapi speakernya bening, sound system-nya mantap, itu justru harus dicurigai, jangan-jangan itu pengajian Muhammadiyah.” Begitu guyon yang tercipta tentang suara speaker ndengung ini.

Menertawakan speaker yang ndengung itu kalau dilihat dari banyak aspek tentu saja bisa menjadi sangat beragam. Ia bisa menjadi semacam sikap “nrimo” atas keadaan, bahkan menjadikannya sebagai sebuah pemakluman. Pada titik yang lain, ia juga menjadi self-criticism bagi sebuah organisasi.

Nah, stereotipe lain yang juga identik dengan acara-acara NU, menurut Hamzah Sahal —yang mana boleh jadi diamini oleh jutaan warga NU sendiri— adalah panitia yang sering nombok, dan acara yang sering terlambat.

Soal panitia yang nombok, ini sudah menjadi semacam hal yang biasa.

Saking seringnya hal ini terjadi, sampai-sampai muncul anekdot tentang kepanjangan NU sendiri yang sebenarnya bukanlah “Nahdlatul Ulama”, melainkan “Nombok Uangnya”.

Kalau soal acara yang sering terlambat ini juga sudah menjadi rahasia umum.

Sudah bukan hal baru, misalnya, kalau ada acara pengajian NU, di undangan tertulis pengajian dimulai pukul 8 malam, tapi Pak Kiai yang mengisi pengajian baru datang pukul 10.

Penulis kondang asal Semarang, Prie GS, suatu ketika pernah mengalami pengalaman yang lucu lagi berharga tentang stereotipe ke-NU-an ini, pengalaman yang kemudian berkali-kali ia ceritakan dengan sangat jenaka.

Ia, suatu ketika, pernah diundang untuk mengisi acara yang diselenggarakan oleh anak-anak muda NU (Kalau nggak IPNU, ya PMII, saya agak lupa). Sesuai jadwal, acara seharusnya dimulai pukul 11 siang.

Iklan

Merasa tidak ingin mengecewakan panitia, Prie GS berusaha datang ke venue tepat waktu. Ia sudah tiba di tempat berlangsungnya acara lima belas menit sebelum acara dimulai.

Tapi nahas, ketika ia memasuki gedung, ternyata gedung masih kosong melompong. Hanya tampak dua orang panitia yang sedang sibuk memasang backdrop acara.

Prie GS tentu saja kaget. “Ini belum ada orang yang datang?” tanya Prie GS.

Dengan entengnya, salah satu panitia itu kemudian menjawab, “Lho, Mas Prie ini gimana, sudah tahu diundang sama anak-anak NU, kok ya datangnya tepat waktu.”

Modiar.

Saya sendiri juga merasakan pengalaman ini saat kemarin ngisi acara diskusi buku di Jombang.

Acara dijadwalkan mulai pukul 7 malam. Namun sampai pukul 8, peserta yang hadir masih sangat sedikit. Hanya ada 4 orang. Panitia juga masih sangat santai dan menggelar karpet sambil ngetes mic dengan nyanyi lagu Iwan Fals dengan suara yang sangat buruk. 

Saya tentu saja agak kaget. Saya khawatir, jangan-jangan nggak ada orang yang tertarik untuk mengikuti acara diskusi buku ini. Sebagai pemateri, tentu saja ini menjadi sebuah beban tersendiri.

Panitia yang tampaknya mengetahui kekhawatiran saya kemudian menenangkan saya.

“Nggak usah khawatir, Mas Agus. Sampeyan ini sedang menghadapi barisan Nahdliyin, acara sudah pasti molor. Itu kearifan lokal. Apalagi ini di Jombang, rumahnya NU. Maka molornya pasti ndobel,” katanya sambil tertawa. Jancuk.

Dan benar saja, satu setengah jam dari jadwal acara, peserta mulai datang dan memenuhi tempat diskusi.

Pengalaman tersebut membuat saya yakin, bahwa kalau ada acara yang pesertanya adalah warga NU, dan acaranya ramai lagi penuh, maka bisa dipastikan, bahwa jadwal acara tersebut sebenarnya dimulai beberapa jam sebelumnya.

Terakhir diperbarui pada 29 Januari 2020 oleh

Tags: nupengajiantepat waktu
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? MOJOK.CO
Esai

Fakta Menyeramkan Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Lahir di Indonesia

5 Oktober 2025
Aktual

11 Ribu Warga NU Geruduk Mapolda DIY, Tuntut Polisi Usut Tuntas Kasus Penusukan Santri Krapyak Jogja

29 Oktober 2024
Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU MOJOK.CO
Esai

Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU: Masih Relevankah Isu-isu Moderasi Beragama?

7 Agustus 2024
Banser NU Selalu Kena Caci Maki MOJOK.CO
Ragam

Pahitnya Jadi Anggota Banser, Tulus Berbuat Baik dan Tak Rugikan Orang tapi Kerap Dicaci Maki

25 Juli 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.