Seperti yang sudah kita ketahui bersama, adik-adik, bahwasanya Mojok saat ini sedang menyelenggarakan pekan teman, pekan di mana setiap penulis akan diminta menuliskan tentang salah seorang teman yang menurut penulis punya ikatan batin yang cukup kuat atau minimal punya ikatan perjalanan pengalaman yang lumayan erat dengan dirinya.
Di hari pertama, sudah ada tulisan dari Eddward “Sunset di Tanah Anarki” Kennedy soal saya. Sedangkan di hari kedua, ada tulisannya Muhidin M Dahlan. Keduanya ndilalah kok ya jebolan LPM Ekspresi, hal ini tentu rentan memicu konflik. Banyak yang beranggapakan bahwa Mojok terlalu Ekspresi-sentris.
Oleh sebab itulah saya kemudian diberi mandat untuk menulis pekan teman di hari ketiga, padahal seharusnya, saya tidak punya kewajiban untuk menulis.
Saya sendiri bingung mau nulis siapa. Bukan… bukan… bukan karena saya tak punya teman. Plis, sebagai redaktur cum simpatisan salah satu partai dakwah, saya punya banyak sekali teman —kalau sampeyan mau, saya bahkan dengan sukarela akan menghibahkan beberapa buat anda. Saya bingung karena justru saking banyaknya teman yang saya miliki, saya jadi tak bisa fokus menentukan siapa yang harus saya tulis.
Untunglah, setelah merenung lumayan lama. Akhirnya saya punya satu nama teman yang rasanya memang harus saya tulis. Siapa dia? Perkenalkan, namanya Puthut EA.
Iyaaaa, Puthut EA yang sastrawan itu, yang kepala suku Mojok itu, yang anak filsafat tapi diragukan kefilsafatannya itu.
Puthut EA. Secara hierarki kelembagaan, Puthut memang agak kurang pantas saya sebut sebagai teman, saya lebih pantas menyebutnya sebagai atasan, guru, master, shifu, murabbi, bos, atau apapun itu. Tapi saya sadar, Ini adalah Mojok, dan Mojok bukan perusahaan, ia adalah perkawanan, sehingga mau bagaimanapun juga, Puthut adalah seorang teman bagi saya.
Lagipula, saya tak pernah mau menyebut Puthut sebagai bos kecuali pas tanggal 28 alias tanggal gajian. Di luar itu, sungguh tiada sudi bibir ini.
Jadi begini, Thut… eh, sori… Mas Puthut maksudnya. Aduuuuh, Saya kok jadi nracak begini ya. Maafkan saya ya, Thut… eh, mas Puthut ding…
Oke, langsung saja saya panaskan lantai dansanya, yes?
Saya kenal Puthut EA sekira tahun 2013, atas perantara Arman Dhani. Ya, Dhani lah yang dulu mengenalkan Puthut kepada saya —waktu itu Arman Dhani masih jadi fans saya, masih manggil saya dengan sebutan “mas Agus”.
Puthut dikenalkan oleh Dhani kepada saya sebagai seorang sastrawan.
Kami pertama kali bertemu di salah satu kedai kopi di pinggiran kota Jogja. Kesan pertama yang saya tangkap dari sosok Puthut adalah sebuah keteraturan. Tampang yang begitu datar tanpa konflik, berkacamata tebal, dengan senyumnya yang malu-malu asu. Cenderung unyu.
Sama sekali tak ada cambang, kumis, maupun jenggot, rambutnya pun tak gondrong. Sangat tidak sastrawan.
Di pertemuan pertama itu, kami ngobrol soal banyak hal. Soal tulisan, soal pekerjaan, hingga soal asmara. Selanjutnya, pertemuan kami kemudian semakin rutin. Setiap kali ia punya gawe, saya hampir selalu diundang ke Jogja untuk ikut serta. Puncaknya, saya akhirnya diajak kerja di salah satu proyek miliknya, yang kemudian turut memuluskan langkah saya untuk bergabung menjadi penulis Mojok.
Saya tak pernah tahu detail dengan kehidupan seorang Puthut, tapi tiga tahun mengenalnya membuat saya sedikit banyak tahu bagaimana ia menjalani masa mudanya.
Puthut mungkin sudah ditakdirkan untuk hidup di jalan pedang. Begitu masuk UGM, ia langsung banyak terlibat dalam aktivitas politik dan gerakan-gerakan mahasiswa. Ia bahkan sempat ikut mendirikan sebuah organisasi mahasiswa tingkat nasional dengan nama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan juga sempat menjadi Sekretaris jenderal di Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP)
Masa mudanya keras dan bergejolak, karenanya, jangan heran jika sekarang anda melihat Puthut sebagai sosok yang nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras, namun Puthut tetap tabah… wouhoooo, *Lho, kok malah jadi lagu Ebiet tho ini…
Kehidupannya yang keras dan penuh perjuangan sedikit banyak mempengaruhi banyak aspek kehidupannya. Hampir seluruh kehidupannya selalu berhubungan dengan kata keras, lawan, hantam, dan lain sebangsanya.
Pengaruh ini tak terkecuali terjadi juga pada klub sepak bola pilihannya: AS Roma. Klub sepak bola yang erat hubungannya dengan Srigala.
Hampir semua orang tahu betapa besar rasa cinta Puthut kepada AS Roma. Andai Romanisti Indonesia membuka perwakilan cabang di Ngaglik, saya yakin tak ada orang yang lebih berhak untuk menyandang posisi sekjen selain Puthut.
Saking cintanya sama AS Roma, ia sampai pernah berkelakar, “Anakku kelak harus jadi pendukung Roma, aku akan memperbolehkan dia berpindah kewarganegaraan, bahkan berpindah agama, tapi tak akan pernah aku merestuinya mendukung klub sepak bola selain Roma.”
See? Sungguh sebuah kecintaan yang membabi-buta. Betapa Puthut lebih mementingkan AS Roma ketimbang agama. Ia sampai lebih meninggikan AS Roma ketimbang iman dan taqwa. Ini tentu sinyal kuat bagi kita, bahwa selain gerakan Indonesia tanpa JIL atau Indonesia tanpa Syiah, kita juga harus mulai memikirkan gerakan Indonesia tanpa Puthut.
Beruntung, kefanatikan Puthut atas AS Roma ini mulai bisa diredam. Imannya mulai punya kesempatan untuk diselamatkan.
Belakangan mulai santer terdengar, bahwa Puthut akan segera berhenti menjadi fans AS Roma dan akan mencoba peruntungan baru sebagai fans tim lain. Saya dan beberapa kawan tak tahu, tim mana yang akan ia dukung. Namun besar kemungkinan, Tim baru tersebut adalah West Bromwich Albion atau Osasuna.
Saya tentu berharap, perpindahan ini akan berjalan lancar. Yah, maklum, sebagai teman dekat, saya tentu tak ingin melihat iman Puthut tergadai dengan mudahnya.
Nah, Di Balik latar belakangnya yang begitu keras dan bergerigi. Puthut ternyata juga punya banyak sisi kekonyolan. Bukan kekonyolan biasa, tapi kekonyolan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang lulusan filsafat.
Pernah suatu ketika, Puthut nekat main ke rumah saya, di Magelang, dengan mengendarai mobil. Saat itu, ia baru saja bisa nyetir. Dan katanya, Magelang adalah perjalanan terjauh pertama yang ia tempuh.
Namanya juga baru bisa nyetir, tentu ia tak berani berkendara di siang hari buta. Ia baru berani mancal gas jam satu pagi, dan sampai di Magelang sekitar jam dua.
Sesampainya di Magelang, saya diajaknya mencari makanan, berburu kuliner, katanya.
Tapi perburuan kami saat itu nihil. Satu-satunya kuliner yang kami dapat kala itu adalah indomi rebus yang kami beli di warung di dekat pintu gerbang pasar Rejowinangun.
“Gus, piye tho, lha jarene Magelang itu kaya akan wisata kuliner?”
“Kaya sih kaya, tapi yo bukan pas jam dua pagi begini tho Thuuuut…” jawab saya saat itu (tentu saja dengan tambahan “mas”)
Sungguh saya tak habis pikir saat itu, saya bahkan sampai meragukan, apakah yang ada di hadapan saya ini benar-benar seorang lulusan filsafat? UGM lagi.
Tak cuma sisi konyol, ia juga kental dengan nuansa emosi. Ia tak segan melampiaskan emosinya jika memang itu dirasa perlu.
Yang paling saya ingat tentu saja adalah peristiwa pelaporan SPT beberapa bulan yang lalu.
Kala itu, saya diajaknya ke kantor pajak untuk melaporkan SPT tahunan. Naas, Puthut mengajak saya pada tanggal-tanggal yang mepet dengan batas pelaporan SPT, maka jadilah kantor pajak ramainya ngaudubillah setan. Mobil kami bahkan sampai harus diparkirkan di bahu jalan.
Kami masuk kantor, langsung mengambil nomor antrian. Dan welhadalah, antriannya ratusan.
Tak tahan dengan antrian yang tak masuk akal itu, Puthut langsung mengajak saya pulang. “Wis, Gus! Bali wae, mumet ndasku,” katanya.
Kami akhirnya keluar kantor, tentu dengan wajah yang begitu kusut.
Begitu masuk mobil, datanglah masalah itu.
Mobil di depan kami rupanya parkir terlalu mepet, sehingga kami harus berusaha ekstra keras untuk mengeluarkan mobil. Puthut sudah berusaha sekeras dan secepat mungkin untuk memutar mobil dari bahu jalan.
Namun rupanya, para pengendara yang lewat di Jalan tidak mau tahu itu. Mereka begitu tidak sabar, dan terus saja membunyikan klakson karena merasa terhalang oleh mobil Puthut yang sedang memutar.
Tat tet tat teeeeet.
Berbekal emosi dari dalam kantor pajak di tambah emosi karena terus saja diklakson. Puthut akhirnya menumpahkan emosinya.
Melongok ia ke luar jendela mobil, ia acungkan jari tengahnya. Dan kemudian, berteriak sekencang mungkin ke arah si peng-klakson
“Kwontooooool…!!!!!”