Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Memang Begitulah Puthut EA

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
26 Oktober 2016
A A
Memang Begitulah Puthut EA

Memang Begitulah Puthut EA

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, adik-adik, bahwasanya Mojok saat ini sedang menyelenggarakan pekan teman, pekan di mana setiap penulis akan diminta menuliskan tentang salah seorang teman yang menurut penulis punya ikatan batin yang cukup kuat atau minimal punya ikatan perjalanan pengalaman yang lumayan erat dengan dirinya.

Di hari pertama, sudah ada tulisan dari Eddward “Sunset di Tanah Anarki” Kennedy soal saya. Sedangkan di hari kedua, ada tulisannya Muhidin M Dahlan. Keduanya ndilalah kok ya jebolan LPM Ekspresi, hal ini tentu rentan memicu konflik. Banyak yang beranggapakan bahwa Mojok terlalu Ekspresi-sentris.

Oleh sebab itulah saya kemudian diberi mandat untuk menulis pekan teman di hari ketiga, padahal seharusnya, saya tidak punya kewajiban untuk menulis.

Saya sendiri bingung mau nulis siapa. Bukan… bukan… bukan karena saya tak punya teman. Plis, sebagai redaktur cum simpatisan salah satu partai dakwah, saya punya banyak sekali teman —kalau sampeyan mau, saya bahkan dengan sukarela akan menghibahkan beberapa buat anda. Saya bingung karena justru saking banyaknya teman yang saya miliki, saya jadi tak bisa fokus menentukan siapa yang harus saya tulis.

Untunglah, setelah merenung lumayan lama. Akhirnya saya punya satu nama teman yang rasanya memang harus saya tulis. Siapa dia? Perkenalkan, namanya Puthut EA.

Iyaaaa, Puthut EA yang sastrawan itu, yang kepala suku Mojok itu, yang anak filsafat tapi diragukan kefilsafatannya itu.

Puthut EA. Secara hierarki kelembagaan, Puthut memang agak kurang pantas saya sebut sebagai teman, saya lebih pantas menyebutnya sebagai atasan, guru, master, shifu, murabbi, bos, atau apapun itu. Tapi saya sadar, Ini adalah Mojok, dan Mojok bukan perusahaan, ia adalah perkawanan, sehingga mau bagaimanapun juga, Puthut adalah seorang teman bagi saya.

Lagipula, saya tak pernah mau menyebut Puthut sebagai bos kecuali pas tanggal 28 alias tanggal gajian. Di luar itu, sungguh tiada sudi bibir ini.

Jadi begini, Thut… eh, sori… Mas Puthut maksudnya. Aduuuuh, Saya kok jadi nracak begini ya. Maafkan saya ya, Thut… eh, mas Puthut ding…

Oke, langsung saja saya panaskan lantai dansanya, yes?

Saya kenal Puthut EA sekira tahun 2013, atas perantara Arman Dhani. Ya, Dhani lah yang dulu mengenalkan Puthut kepada saya —waktu itu Arman Dhani masih jadi fans saya, masih manggil saya dengan sebutan “mas Agus”.

Puthut dikenalkan oleh Dhani kepada saya sebagai seorang sastrawan.

Kami pertama kali bertemu di salah satu kedai kopi di pinggiran kota Jogja. Kesan pertama yang saya tangkap dari sosok Puthut adalah sebuah keteraturan. Tampang yang begitu datar tanpa konflik, berkacamata tebal, dengan senyumnya yang malu-malu asu. Cenderung unyu.

Sama sekali tak ada cambang, kumis, maupun jenggot, rambutnya pun tak gondrong. Sangat tidak sastrawan.

Iklan

Di pertemuan pertama itu, kami ngobrol soal banyak hal. Soal tulisan, soal pekerjaan, hingga soal asmara. Selanjutnya, pertemuan kami kemudian semakin rutin. Setiap kali ia punya gawe, saya hampir selalu diundang ke Jogja untuk ikut serta. Puncaknya, saya akhirnya diajak kerja di salah satu proyek miliknya, yang kemudian turut memuluskan langkah saya untuk bergabung menjadi penulis Mojok.

Saya tak pernah tahu detail dengan kehidupan seorang Puthut, tapi tiga tahun mengenalnya membuat saya sedikit banyak tahu bagaimana ia menjalani masa mudanya.

Puthut mungkin sudah ditakdirkan untuk hidup di jalan pedang. Begitu masuk UGM, ia langsung banyak terlibat dalam aktivitas politik dan gerakan-gerakan mahasiswa. Ia bahkan sempat ikut mendirikan sebuah organisasi mahasiswa tingkat nasional dengan nama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan juga sempat menjadi Sekretaris jenderal di Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP)

Masa mudanya keras dan bergejolak, karenanya, jangan heran jika sekarang anda melihat Puthut sebagai sosok yang nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras, namun Puthut tetap tabah… wouhoooo, *Lho, kok malah jadi lagu Ebiet tho ini…

Kehidupannya yang keras dan penuh perjuangan sedikit banyak mempengaruhi banyak aspek kehidupannya. Hampir seluruh kehidupannya selalu berhubungan dengan kata keras, lawan, hantam, dan lain sebangsanya.

Pengaruh ini tak terkecuali terjadi juga pada klub sepak bola pilihannya: AS Roma. Klub sepak bola yang erat hubungannya dengan Srigala.

Hampir semua orang tahu betapa besar rasa cinta Puthut kepada AS Roma. Andai Romanisti Indonesia membuka perwakilan cabang di Ngaglik, saya yakin tak ada orang yang lebih berhak untuk menyandang posisi sekjen selain Puthut.

Saking cintanya sama AS Roma, ia sampai pernah berkelakar, “Anakku kelak harus jadi pendukung Roma, aku akan memperbolehkan dia berpindah kewarganegaraan, bahkan berpindah agama, tapi tak akan pernah aku merestuinya mendukung klub sepak bola selain Roma.”

See? Sungguh sebuah kecintaan yang membabi-buta. Betapa Puthut lebih mementingkan AS Roma ketimbang agama. Ia sampai lebih meninggikan AS Roma ketimbang iman dan taqwa. Ini tentu sinyal kuat bagi kita, bahwa selain gerakan Indonesia tanpa JIL atau Indonesia tanpa Syiah, kita juga harus mulai memikirkan gerakan Indonesia tanpa Puthut.

Beruntung, kefanatikan Puthut atas AS Roma ini mulai bisa diredam. Imannya mulai punya kesempatan untuk diselamatkan.

Belakangan mulai santer terdengar, bahwa Puthut akan segera berhenti menjadi fans AS Roma dan akan mencoba peruntungan baru sebagai fans tim lain. Saya dan beberapa kawan tak tahu, tim mana yang akan ia dukung. Namun besar kemungkinan, Tim baru tersebut adalah West Bromwich Albion atau Osasuna.

Saya tentu berharap, perpindahan ini akan berjalan lancar. Yah, maklum, sebagai teman dekat, saya tentu tak ingin melihat iman Puthut tergadai dengan mudahnya.

Nah, Di Balik latar belakangnya yang begitu keras dan bergerigi. Puthut ternyata juga punya banyak sisi kekonyolan. Bukan kekonyolan biasa, tapi kekonyolan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang lulusan filsafat.

Pernah suatu ketika, Puthut nekat main ke rumah saya, di Magelang, dengan mengendarai mobil. Saat itu, ia baru saja bisa nyetir. Dan katanya, Magelang adalah perjalanan terjauh pertama yang ia tempuh.

Namanya juga baru bisa nyetir, tentu ia tak berani berkendara di siang hari buta. Ia baru berani mancal gas jam satu pagi, dan sampai di Magelang sekitar jam dua.

Sesampainya di Magelang, saya diajaknya mencari makanan, berburu kuliner, katanya.

Tapi perburuan kami saat itu nihil. Satu-satunya kuliner yang kami dapat kala itu adalah indomi rebus yang kami beli di warung di dekat pintu gerbang pasar Rejowinangun.

“Gus, piye tho, lha jarene Magelang itu kaya akan wisata kuliner?”

“Kaya sih kaya, tapi yo bukan pas jam dua pagi begini tho Thuuuut…” jawab saya saat itu (tentu saja dengan tambahan “mas”)

Sungguh saya tak habis pikir saat itu, saya bahkan sampai meragukan, apakah yang ada di hadapan saya ini benar-benar seorang lulusan filsafat? UGM lagi.

Tak cuma sisi konyol, ia juga kental dengan nuansa emosi. Ia tak segan melampiaskan emosinya jika memang itu dirasa perlu.

Yang paling saya ingat tentu saja adalah peristiwa pelaporan SPT beberapa bulan yang lalu.

Kala itu, saya diajaknya ke kantor pajak untuk melaporkan SPT tahunan. Naas, Puthut mengajak saya pada tanggal-tanggal yang mepet dengan batas pelaporan SPT, maka jadilah kantor pajak ramainya ngaudubillah setan. Mobil kami bahkan sampai harus diparkirkan di bahu jalan.

Kami masuk kantor, langsung mengambil nomor antrian. Dan welhadalah, antriannya ratusan.

Tak tahan dengan antrian yang tak masuk akal itu, Puthut langsung mengajak saya pulang. “Wis, Gus! Bali wae, mumet ndasku,” katanya.

Kami akhirnya keluar kantor, tentu dengan wajah yang begitu kusut.

Begitu masuk mobil, datanglah masalah itu.

Mobil di depan kami rupanya parkir terlalu mepet, sehingga kami harus berusaha ekstra keras untuk mengeluarkan mobil. Puthut sudah berusaha sekeras dan secepat mungkin untuk memutar mobil dari bahu jalan.

Namun rupanya, para pengendara yang lewat di Jalan tidak mau tahu itu. Mereka begitu tidak sabar, dan terus saja membunyikan klakson karena merasa terhalang oleh mobil Puthut yang sedang memutar.

Tat tet tat teeeeet.

Berbekal emosi dari dalam kantor pajak di tambah emosi karena terus saja diklakson. Puthut akhirnya menumpahkan emosinya.

Melongok ia ke luar jendela mobil, ia acungkan jari tengahnya. Dan kemudian, berteriak sekencang mungkin ke arah si peng-klakson

“Kwontooooool…!!!!!”

Terakhir diperbarui pada 15 Oktober 2018 oleh

Tags: pekan temanPuthut EA
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Menjadi penulis jika ingin sejahtera maka jangan hanya fokus menulis MOJOK.CO
Ragam

Panduan untuk Calon Penulis agar Hidup Sejahtera, Karena Tak Cukup kalau Andalkan Royalti Saja

19 Januari 2025
Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan
Video

Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan

24 November 2024
Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang
Video

Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang

24 Oktober 2024
Direktur Mojok Puthut EA menunjukkan salah satu bukunya di FESMO 2024. MOJOK.CO
Sosok

Yang Akan Dilakukan Puthut EA Setelah 25 Tahun Berkarya

23 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.