Ketika film Istirahatlah Kata-kata dibuat tahun lalu, saya menjadi salah satu orang yang amat bergairah untuk menyaksikannya. Saya meyakini kalau film ini bakal dinanti oleh banyak orang, wabil khusus teman-teman yang selama ini akrab dengan perjuangan dan kekiri-kirian. Kalaupun tidak meledak di bioskop-bioskop, minimal film ini mendapat hormat dari teman-teman tadi.
Nyatanya, kenyataan tak pernah sama dengan perkiraan. Film ini meledak. Di beberapa bioskop yang memutar film ini, banyak orang kehabisan tiket. Sold out. Mengecewakan banyak orang yang ingin menyaksikan, tapi juga membahagiakan karena animo masyarakat yang luar biasa.
Tentu saya tidak memperkirakan ini. Bukannya tidak berharap film ini laku keras, Toh kebanyakan film-film semacam ini memang tak diputar di bioskop. Mangkanya, ketika film ini akhirnya diputar, di 19 bioskop pula, saya cukup terkaget dan kagum terhadap para punggawa yang membikin film ini. Bagi saya, ini menjadi semacam anomali dalam dunia perbioskopan.
Membuat film semacam ini tentu tidak mudah. Yang saya tahu dari obrolan dengan sutradara dan produsernya, duit yang dibuat untuk film ini terbilang minim. Tak perlu disebut angkanya, karena saya memang tidak tahu pastinya. Tapi dengan segala kekurangan dalam produksi, animo masyarakat terhadap film Thukul amatlah menggembirakan. Sangat melebihi ekspektasi.
Tapi ya itu tadi, lagi-lagi, kenyataan memang tak seperti yang diharapkan. Beberapa rekan yang saya kira bakal menghargai keberadaan film ini justru malah menghujatnya. Mulai dari alasan penyair dikapitalisasi lah, interpretasi yang salah lah, sampai pembohongan oleh manikebu dipakai buat mencibir film ini.
Entah apa yang ada di kepala mereka. Sampai perkara manikebu dan kapitalisasi dibawa-bawa. Yang jelas, film semacam ini memang perlu (dan jelas perlu) diputar di bioskop. Kenapa? masa ya gitu aja nggak paham. Ayolah, bung. Suka ataupun tidak, bioskop adalah salah satu sarana penting untuk memberikan pemahaman tentang Wiji Thukul kepada masyarakat umum. Sekali lagi, kepada masyarakat umum lho ya, bukan kepada teman-teman segolongan. Kalau cuma diputar di festival atau buat pemutaran bareng, tentu efeknya tidak akan sebesar sekarang. Toh tujuannya baik, mengenalkan Thukul pada masyarakat dan mengingatkan mereka kalau masih ada aktivis-aktivis yang dihilangkan negara.
Memang, dengan memutar film ini di bioskop nggak bakal bisa bikin revolusi atau membuat Presiden Jokowi menepati janjinya pas kampanye. Toh yang begini-begini juga belum bisa dilakuin sama teman-teman yang kekiri-kirian itu.
Kalaupun kemudian film ini dianggap sebagai pesta kelas menengah, pestanya aktivis, atau apapun itu, ya monggo saja. Bukankah pesta adalah hak segala bangsa?
Lagipula, lewat film inilah, setidaknya, sisi kemanusiaan Thukul yang selama ini jarang ditampakkan bisa dimunculkan ke permukaan, dipertegas. Bahwa seorang Thukul juga mengalami kecemasan. Bahwa seorang Thukul tak melulu ia yang selalu meledak-ledak. Bahwa seorang Thukul juga mengalami rasa kangen yang teramat sangat kepada kerabat, anak, dan istri.
Dan yang paling penting, film ini membuktikan bahwa perjuangan lewat kata-kata adalah perjuangan yang nyata.
Jika Harry Belafonte pernah mengatakan “Anda dapat mengurung sang penyanyi, tapi tidak nyanyiannya.” maka film Istirahatlah Kata-kata seolah ingin mengatakan hal yang sama, namun dalam konteks yang sedikit berbeda.
“Anda dapat menghilangkan sang penyair, tapi tidak syairnya.”