MOJOK.CO – Meski bukan perokok dan malah cenderung anti-rokok, namun saya mencintai banyak perokok. Sebab tanpa mereka, kuliah saya di Amerika tidak akan pernah ada.
Tak sulit menemukan meme di internet bahwa pria yang tidak merokok adalah pasangan idaman. Jika begitu, maka bolehlah saya mengusulkan diri sebagai satu di antaranya.
Saya pernah berpacaran dua kali dan saya curiga mereka menerima saya karena saya bukan perokok. Walau nyatanya “keistimewaan” ini gagal menyelamatkan saya dari patah hati. Yang pertama kemudian berpacaran seorang yang ternyata perokok, sedang yang satunya lagi yah berpacaran juga dengan perokok. Nyatalah, tidak merokok bukan keistimewaan yang perlu dibanggakan. Setidaknya menurut saya.
Oleh sebab itu, wajar jika kemudian saya sempat dua kali saya menulis tentang antirokok di media lokal Makassar dan membuat saya berdebat panjang dengan seorang penulis yang kebetulan juga perokok.
Meski begitu, dukungan saya untuk no-smoking sebenarnya tidak 100% sebagaimana iklan susu murni 100% itu tidak pernah benar-benar murni. Jauh sebelum kuliah sejauh ini, perokok dan rokok telah turut andil berkontribusi dalam perjalanan pendidikan saya.
Saya merantau dan menumpang di rumah orang ketika kelas 4 SD. Saya tidak pernah meminta kiriman dari bapak saya yang perokok, sebab sejak meninggalkan kaki dari rumah saya memang bertekad mandiri. Tetapi Tuhan memang Maha Baik, dikirimkannya seorang perokok yang turut membantu biaya sekolah saya.
Setahun setelah saya tinggal di rumah tersebut, datanglah seorang kepala dinas sebuah instansi pemerintah dan tinggal bersama kami. Rupanya beliau seorang perokok berat.
Jika rokoknya habis atau akan habis, blio akan menyuruh saya membelikan rokok. Blio tidak akan tahan jika tidak memiliki persediaan rokok. Saya tentu saja menuruti dengan riang gembira. Sebab selain sebagai doyan merokok, ia juga dermawan.
Setiap kali membelikan rokok, haqqul yaqin saya akan selalu dapat uang kembalian. Setidaknya Rp2.000 bisa saya dapat sekali transaksi. Jumlah ini bisa berlipat jika saya diminta beli dua atau tiga bungkus rokok, rokok merek Surya tepatnya. Dan setiap kali itu, beliau akan menyodorkan pecahan Rp20.000 atau Rp50.000 dan selebihnya akan menjadi milik saya.
Dan bukan hanya beliau. Sering kali jika ada keluarganya berkunjung dan kebetulan perokok, sayalah yang akan sering disuruh membeli rokok. Kembaliannya adalah kompensasi buat saya.
Dari pengalaman inilah saya tidak hanya kenal harga tiap merek tetapi juga jenis-jenisnya: dari Surya, Class Mild, Dji Sam Soe dan Prinsip. Eh, dua jenis terakhir itu masih ada ndak sih? Sebagai lelaki Bugis perantau, rokok merek Prinsip inilah yang jargon iklannya selalu saya ingat: Lelaki harus punya PRINSIP. Gitu.
Nah, uang kembalian rokok itu yang sering menyelamatkan saya dari tagihan iuran dan uang SPP. Salah satu iuran yang sering saya bayar dengan uang itu adalah iuran les Bahasa Inggris sebesar Rp2.500. Nggak besar mungkin buat kamu, tapi itu jumlah yang besar bagi saya saat itu.
Enam tahun berlalu lalu saya memilih masuk jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Tujuh tahun kemudian saya melanjutkan pendidikan jurusan TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages). Satu jurusan lain selain Linguistics yang sedang saya tempuh di negeri Om Donald Trump ini.
Memang bukan karena uang rokok semata itu, tetapi jelas “uang kembali rokok” itu menyelamatkan saya agar tidak berhenti les Bahasa Inggris saat itu. Hal yang mengantarkan saya sampai ke pendidikan seperti sekarang.
Pun jika diminta menyebut satu satu dosen yang paling berjasa membantu meraih beasiswa Fulbright, saya tidak akan ragu menyebut salah satu dosen saya. Seorang perempuan, peminum kopi, dan perokok. Jasanya pada saya tak terkira.
Saya sendiri selalu menganggapnya seperti ibu sendiri. Bersama dengan teman-teman yang lain saya bisa sampai larut malam bahkan menginap di rumahnya. Dinding ruang tamu dan keluarganya penuh buku.
Ia—yang juga seorang pengawas dinas pendidikan—bersedia menemani curhatan kami tentang apa saja bahkan sampai subuh sembari menengguk kopi dan menghisap rokok. (Maksudnya menengguk kopi terus hisap rokok atau sebaliknya, tidak mungkin kan melakukan keduanya bersamaan?)
Tapi dengan cara itulah, banyak dari kami masa depannya “terselamatkan”. Yang skripsinya tak selesai, ia akan membimbing. Kemampuan ini wajar, soalnya ia memang alumni salah satu universitas keren di Australia. Selain itu ia juga mantan salah satu bendahara organisasi kemahasiswaan. Jadi interaksi dengannya selalu cair dan nyaman.
Maka ketika ada yang bermasalah dengan mata kuliah seperti Semantics, cukup duduk di depannya dan membiarkannya sesekali menghirup rokoknya dan mendengarkan, maka akan keluar penjelasan-penjelasan yang mudah dicerna.
Bahkan saya berani bertaruh, setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya—apapun yang diajarkannya—akan mengenang sebagai salah satu kelas terbaik yang diambil.
Meski saya bukan perokok, tapi saya sering risih ketika mendengar ejekan dari satu dua orang yang tak mengenalnya, lalu mengolok-olok hanya karena rokoknya. Mereka tak tahu jika dengan ditemani rokok itulah banyak orang yang terbantu.
Dari sekedar cerita, membimbing disertasi mahasiswa doktor, hingga membimbing mengisi aplikasi program ke luar negeri—salah satunya adalah saya ketika mendaftar beasiswa. Ah, memang orang-orang sering kali lebih senang mempermasalahkan rokoknya ketimbang kemampuannya. Seperti orang-orang mempermasalahkan rokok Bu Susi Pudjiastuti ketimbang prestasinya.
Selain itu, keluarga saya (dan orang-orang di kampung saya) sebenarnya turut menyokong industri rokok nasional. Lha iya karena keluarga saya kebetulan petani cengkeh. Salah satu tumpuan keuangan kami pada masa itu ya dari panen cengkeh. Wajar saja, karena sejak dulu kampung saya merupakan salah satu penghasil cengkeh terbaik.
Ketika libur, biasanya menjelang pertengahan tahun, cengkeh dipetik. Dari hasil panen itulah sebagian besar di kampung saya melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Saya termasuk sering memetik sendiri. Saya memanjat belasan meter memetik cengkeh dan menikmati aromanya.
Dahulu bapak saya juga perokok berat, Pencil Mas mereknya, bungkusnya merah. Dengan rokok itulah Bapak bisa bertahan di kebun. Dari subuh sampai magrib, sambil mengiringi saya untuk bisa terus mendapat kehidupan yang layak di masa depan.
Maka, meski saya sendiri bukan perokok dan—jujur—anti-rokok, di satu sisi yang lain hati saya berterima kasih juga pada para perokok di kehidupan saya. Sebab, sedikit banyak rokok (lebih tepatnya perokok) telah membantu sampai akhirnya saya yang dari keluarga biasa-biasa bisa menikmati kuliah di Amrik seperti sekarang.