MOJOK.CO – Mau dia guru, kepala sekolah, atau tukang cilok, bullying tetap bullying. Tugasmu adalah menjaga agar mentalmu tak jatuh. Tidak gampang, tapi harus bisa.
Semasa SMA saya pernah punya guru yang kehadirannya lebih kerap memicu asam lambung ketimbang mengajar mata pelajaran yang diampunya, Bahasa Inggris. Guru wanita ini seperti dilanda dendam kesumat pada murid bodoh, atau banyak mulut, dan terlebih murid bodoh dan banyak mulut.
Saya di waktu itu adalah anak yang dalam kondisi separuh tidur pun bisa dapat nilai sembilan di pelajaran ini. Namun, karena banyak mulut, maka saya dibencinya. Matanya berkobar-kobar saat mengusir saya karena bersenandung kecil dalam upaya mengusir rasa bosan ketika ia sedang menerangkan di depan kelas.
“Pindah ke Inggris sana kalau sudah merasa sangat pintar!!!”
Teman lain kelas, seorang anak perempuan, pernah juga diteriakinya,”Sudah bodoh, hitam, pesek pula!” Waktu istirahat berita itu tersebar dan si guru disumpahi punya menantu bodoh, hitam, pesek pula oleh anak-anak dari sekian kelas.
Beragam jenis kata kejam pernah keluar dari mulut guru ini. Tapi, tak ada yang lebih sadis ketimbang apa yang dikatakannya pada salah seorang teman sekelas, sebut saja Nyonyo, satu-satunya etnis Tionghoa di SMA kami.
Demikian kata Ibu Guru: ”Besok kamu pindah sekolah sana! Jangan di sekolah negeri, pindah saja ke sekolah anu (menyebut nama sekolah swasta elit pilihan anak-anak keturunan di kota kami). Kamu seharusnya berkumpul dengan kaummu!”
Berhubung kami adalah produk tahun ‘90-an yang biasa dipukuli kemoceng di rumah, maka rentetan kata-kata jahat ibu guru itu justru kami jadikan bahan untuk meledek satu sama lain. Pendeknya, kami sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata keji guru culas tersebut. Hanya saja saya belakangan kerap berkhayal, betapa indahnya dunia bila ia hidup di masa kini, di mana orang tua murid sedikit-sedikit melaporkan guru ke polisi.
Mungkin ia bisa keluar-masuk penjara sesering orang tua mengambil rapor bayangan dan semesteran.
Guru-guru dengan mental bullying macam ini, entah dengan alasan apa, selalu tersambung regenerasinya dari waktu ke waktu. Masa boleh berganti, dari generasi X dan seterusnya, namun pengajar dengan mulut tajam tak kenal nurani tetap lestari. Bukti paling mutakhir adalah twit viral yang menjalar ke Facebook tentang anak-anak yang telah sukses di bidangnya masing-masing, datang untuk “menggoda” guru yang pernah merendahkan mereka.
Seorang perempuan muda memamerkan studi S-3 yang ditempuhnya pada guru yang mendakwanya tak bakal lolos S1, sebab nilai UN Fisikanya hanya 5,25. Seorang dokter menyampaikan salam dari pasiennya pada wali kelas yang mengatainya tak bakal jadi dokter. Satu perempuan muda dituding bermasalah dan tak tahu besok jadi apa oleh guru BK-nya dulu, dan beberapa tahun kemudian ia menjadi manajer di usia 23.
Bahkan ada yang ketika SMP dimaki goblok oleh guru sambil dijambak rambutnya karena jawabannya salah. Dituding seniman tak bakal punya masa depan, ternyata perempuan muda itu sukses menggelar pameran di mana-mana dan membuat bangga orangtuanya.
Itu cerita-cerita yang terekspose. Sudah pasti di balik air yang biru tenang masih gunungan guru lain yang gemar melakukan bullying. Apakah semua kata-kata tersebut digunakan para guru tersebut untuk memotivasi muridnya agar maju? Saya tidak yakin. Ada banyak pilihan kata lain untuk mendorong semangat tanpa menyinggung latar belakang ras, penampilan fisik, dan lain-lain hal menyakitkan.
Tetapi apakah kemudian kata-kata itu bisa dijadikan alasan untuk membuat si penerimanya jatuh dalam kubangan rasa sakit hati dan amarah tak berkesudahan? Untuk soal ini, saya sangat yakin jawabannya adalah tidak, kendati kita memang punya pilihan.
Sama halnya pedang bermata dua, kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk bullying verbal, bisa “menguntungkan” kalau kita memang memilih menjadikannya begitu. Yang jelas jadi bukti adalah rentetan kisah di atas. Anak-anak yang dipandang hina oleh guru-gurunya, tapi memutuskan mengubah rasa sakit itu sebagai lecut pemacu.
Bahkan dalam beberapa hal saya menganggap mereka cukup “beruntung”. Mereka beruntung sudah kena “lecutan” di periode awal kehidupan. Sebab kelak, ketika seragam putih abu-abu mereka tanggalkan, mereka akan menghadapi deretan dosen yang kerap berlagak separuh dewa, yang dimintai waktu untuk konsultasi saja sulitnya minta ampun. Jangan dikira dibiarkan menunggu seharian tanpa kepastian bukan teror mental. Belum terhitung makalah yang susah-payah dibuat sampai berkeringat jagung, dan di ujung hari hanya dipandang sekilas sambil dicoret-coret tanpa ampun.
Sudah cukup? Belum. Masih ada medan cambukan lanjutan, yaitu periode lulus kuliah. Di sini ada berkas-berkas lamaran yang tak kunjung mendapat respons, rangkaian wawancara kerja tanpa berita, dan seterusnya.
Di tengah tekanan itu, tetangga kiri-kanan mulai kasak-kusuk karena anak Pak Ibnu sudah lulus empat bulan tapi masih nganggur, dan sebagainya. Lalu, ketika sambil menunggu panggilan, anak Pak Ibnu tersebut memutuskan mengisi waktu dengan menjadi sopir ojol. Tawa makin menggema dari balik pintu-pintu rumah tetangga.
Dan ketika akhirnya panggilan kerja diterima, masih ada ancaman rekan kerja penjilat yang suka memfitnah di depan atasan. Atau atasan culas yang “mencuri” proyek hasil peras otak bawahannya dan mengaku sebagai hasil kerjanya di depan big boss. Belum terhitung konsumen yang mengartikan pepatah “pembeli adalah raja” dengan segenap penghayatan dan kesungguhan.
Satu lagi jenis tekanan yang kerap tak diperhitungkan, tapi dampaknya sangat nyata pada menurunnya tingkat kebahagiaan seseorang adalah stres di jalanan. Kota mana pun di Indonesia kini menghadapi masalah padatnya lalu lintas, bukan hanya Jakarta. Berangkat dari rumah subuh, di jalanan tertekan, di kantor sikut-sikutan, ketemu konsumen jadi bulan-bulanan, pulang larut dan tidur hanya beberapa jam.
Tidak ada satu dalil pun yang bisa membenarkan guru yang bersikap rasis, menghina penampilan fisik muridnya, atau mengatainya goblok hanya karena si murid tak mahir satu jenis pelajaran. Saya jadi ingat Alm. Romo Mangunwijaya dalam satu wawancaranya, di mana beliau berkata demikian, kira-kira, “Tak ada satu anak pun yang bodoh sepenuhnya. Bisa saja dalam SEMUA pelajaran dia jeblok, tapi siapa tahu dia pintar main layangan?”
Kalau dipikir-pikir benar juga, ya. Dipikir main layangan itu gampang apa? Saya saja waktu kecil diajari selama beberapa minggu oleh bapak saya sampai kulit hangus, baru mahir teknik “ampatan” atau memotong senar lawan.
Sekali lagi, tak ada dalih bagi guru untuk menjatuhkan mental muridnya. Tapi ini berita baiknya: Si murid dalam hal ini justru diberi semacam peluang “the moment of truth”: “Kira-kira aku bakal drop, percaya pada semua omongan jahat itu, lalu putus asa dan seterusnya, atau justru maju karena hinaan, ya?”
Percayalah, anak zaman sekarang, walaupun kelihatannya terkubur dalam kubangan Tik-Tok, sesungguhnya adalah kelompok manusia dengan kemampuan berpikir yang tajam, kalau saja ada sedikit dorongan. Mereka berbeda dengan anak-anak tahun ’90-an, anak-anak zaman saya, yang direndahkan macam apa pun toh tak memetik hikmah sedikit jua kecuali cengengesan tanpa ukuran.
Mengingat fakta bahwa guru-guru dengan hobi bullying akan selalu hadir di setiap zaman, tak ada pilihan lain bagi para murid—yang kelak akan tumbuh dewasa dengan beragam stres dan tekanan dari dunia luar yang jauh lebih keras. Mereka harus mengubah kekejian verbal menjadi cambuk. Cambuk memang tak ada yang empuk, tapi dengan itu, siapa pun yang menerimanya tak akan mudah diinjak untuk kemudian remuk.
BACA JUGA Ancaman dan Ujaran Kebencian untuk Pak Guru Humaidi atau komentar lainnya di rubrik ESAI.