MOJOK.CO – mBak Titiek Soeharto ingin Indonesia kembali ke zaman Orba. Banyak yang gusar, bahkan menentang. Kalau saya sih mendukung. Hidup Orba!
Budiman Sudjatmiko, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), gusar. Politikus yang sekarang menjadi kader PDI-P tersebut sedikit “terganggu” dengan pernyataan Titiek Soeharto. Puteri almarhum Soeharto tersebut, lewat akun Twitter pribadinya, mencoba membangkitkan nostalgia kepada betapa enaknya hidup di masa Orde Baru atau Orba.
Titiek Soeharto secara gamblang menyampaikan bahwa beliau ingin Indonesia kembali ke “penak zamanku to?”. Politikus Partai Berkarya ini nampaknya kangen dengan kehidupan masa Orba.
Membaca twit dari mBak Titiek Soeharto, Budiman mengingatkan akan adanya konsekuensi yang perlu dipertimbangkan ketika rasa kangen itu menjadi kenyataan. Misalnya, harga cengkeh yang dikuasai Keluarga Cendana hingga mobil nasional dimonopoli keluarga yang kehilangan pamornya punya pengaruh itu.
Sebagai bagian dari generasi milenial, saya sih justru setuju dengan rasa kangen mBak Titiek Soeharto kepada zaman Orba. Jujur saja, saya sangat kangen dengan situasi kehidupan ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar masih dua ribu rupiah saja. Mau jajan es krim nggak perlu pusing-pusing milih. Kenapa? Karena saat itu cuma ada satu merek. Sungguh seiya sekata. Kompak. Nggak kayak sekarang, beda preferensi mie instan saja sampai marah-marah.
Salah satu hal yang paling saya notice sekarang itu situasi politik yang sangat gaduh. Sejak Pilpres 2014, suasana politik Indonesia sangat panas. Kampanye, yang seharusnya menjadi panggung adu ide dan gagasan, berubah menjadi aksi saling serang kepercayaan, agama, dan ras. Sudah gaduh, penuh hoaks lagi.
Situasinya sangat berbeda dengan zaman Orba. Saat itu, panggung politik terasa adem ayem, tenang, dan kita tidak terpapar hoaks. Karena hoaks-nya ada di pusat kekuasaan, tidak di tengah masyarakat. #ehh…
Bandingkan dengan sekarang. Hoaks bertebaran. Mulai dari kabar pemukulan aktivis perempuan tapi ternyata “korban operasi kecantikan”. Lalu yang paling sering disebut ketika kampanye adalah kabar bangkitnya PKI yang konon sudah punya jutaan pendukung.
Beda dengan zaman Orba, zamannya Titiek Soeharto ketika “memegang” banyak proyek. Kekerasan terhadap aktivis tidak terdengar. Ya jelas tidak terdengar karena….*thiiiiiitttttt*hilang sinyal*.
Lalu soal PKI-PKI-an tidak terdengar. Pak Harto sudah berhasil membawa stabilitas keamanan dan ekonomi hingga kabar-kabar menakutkan soal PKI tidak muncul.
Ribut-ribut soal kampanye hanya terjadi di tengah masyarakat. Itu saja volumenya sangat terbatas. Volume tinggi hanya terdengar dari knalpot motor blombongan yang dipakai untuk kampanye. Tidak dinaiki, tapi dituntun dan tuas gasnya “bertukar tangkap dengan lepas” seperti pusinya Amir Hamzah yang berjudul “Padamu Jua”.
Bisingnya knalpot blombongan untuk kampanye zaman Orba hanya terdengar selewat saja. Beda dengan kampanye zaman sekarang ini yang penuh hoaks dan akibatnya lebih bikin telinga pengar. Terima kasih zaman Orba, terima kasih mBak Titiek Soeharto untuk kampanye yang aman dan tenteram karena sudah ketahuan pemenangnya sejak setelah presiden terpilih disumpah jabatan.
Selain panggung politik zaman sekarang yang bikin gerah, urusan agama juga jadi isu yang seksi untuk terus digoreng. Antara politik dan agama kawin-mawin, berkelindan, hingga preferensi capres dan cawapres menentukan nasib pemilih di pintu surga.
“Kamu milih Si Jiwo, nggak?”
“Nggak!”
“Yadah, kamu masuk neraka!”
Zaman Orba itu enak sekali ya. Saya bolos Sekolah Minggu, hingga jarang ke gereja saja tidak ada yang ngomel. Bandingkan dengan zaman sekarang yang dikit-dikit dimarahi karena nggak rajin ibadah. Dikit-dikit kafir. Dikit-dikit bukan golongan kami. Kami merindukan saat-saat ketika bolos Sekolah Minggu dan TPA untuk main layangan atau sepak bola bareng-bareng.
Saya yang waktu itu sudah berusia 10 tahun sangat menikmati zaman Orba. Terima kasih, Pak Harto.
Selain panggung politik dan agama yang di zaman Orba sangat tenang, soal hiburan pun kami kompak. Rasa kebersamaan itu begitu terasa. Saat itu, yang punya televisi, biasanya satu orang saja untuk satu kampung. Biasanya Pak RT, RW, Dukuh, Lurah, atau orang-orang kaya saja.
Karena hanya ada satu televisi, maka kalau mau nonton harus bareng-bareng. Duduk bersama di satu tikar, minum dari teko yang sama, berbagi gelas blirik yang terbuat dari seng, ngemil makanan yang sama; biasanya kacang rebus atau ubi goreng. Kaya dan miskin minum dan makan bersama-sama. Sungguh Bhineka Tunggal Ika. Kompak selalu.
Satu hal lagi yang bikin kangen adalah ketika selesai nobar wayang orang di televisi, pulangnya digendong di punggung bapak. Sungguh syahdu.
Nontonnya pun acara yang sama. Seiya sekata. Biasanya wayang orang atau tayangan sepak bola hitam putih. Bandingkan dengan zaman sekarang di mana bapak-bapak dan ibu-ibu berebut remote televisi. Bapak-bapak pingin nonton ILC, ibu-ibu pingin nonton “Uttaran” dan acara azab. Pertengkaran keluarga jadi sering terjadi.
Kalau dulu bertengkar karena faktor kemiskinan, kalau sekarang bertengkar karena pilihan acara televisi. Pertengkaran yang nggak elite.
Anak-anak? Zaman Orba kami milih lari-larian di sekitar tempat nobar wayang orang hitam putih di televisi. Kalau sekarang? Sibuk selfie dan bikin wording ndakik-ndakik kayak admin medsos.
Anak-anak zaman dulu bermain bersama lewat lari-larian atau petak umpet. Selain sehat, juga membantu kami menjadi lebih berjiwa sosial. Kalau sekarang? Sibuk main PUBG yang satu tim cuma empat orang. Bunuh-bunuhan lagi.
Dahulu, dari hiburan saja kami kompak dan berjiwa sosial. Kalau sekarang, jadi pemicu pertengkaran rumah tangga dan memberi efek yang negatif. Terima kasih, zaman Orba.
Oleh sebab itu, mari mendukung mBak Titiek Soeharto. Siapa yang juga kangen dengan “penak zamanku to?”