MOJOK.CO – Aksi dukung-mendukung Jokowi dan Prabowo oleh alumni tidak didominasi oleh milenial. Berikut tiga alasan milenial enggan datang ke acara deklarasi.
Tertanggal 12 Januari 2019 yang lalu, ribuan alumni Universitas Indonesia (UI) beserta kampus-kampus lain berkumpul di GBK untuk mendeklarasikan pilihan politik. Mereka, mendeklarasikan diri mendukung pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin di Pilpres 2019.
Sementara itu, berselang dua minggu kemudian, tertanggal 26 Januari 2019, ribuan alumni dari 115 kampus mendeklarasikan diri mendukung pasangan 02, Prabowo dan Sandiaga Uno di gedung Padepokan Pencak Silat TMII. Suara dan dukungan alumni sebuah kampus kepada calon pemimpin bukan hal baru. Namun, di Pilpres 2019 ini, cukup sering kita membaca berita terkait aksi dukung-mendukung itu.
Apakah aksi dukung-mendukung ini merupakan strategi pasangan 01 dan 02? Apakah mereka melakukan pendekatan untuk membujuk alumni supaya mau “menyerahkan” suaranya? Apakah suara alumni memang punya kekuatan di sebuah kontestasi politik?
Kalau kamu bertanya ke Ma’ruf Amin, cawapres 01, jawabannya tentu ada. Ketika mendapatkan dukungan dari Jaringan Alumni Mesir Indonesia (JAMI), Kiai Ma’ruf terdengar sedikit sesumbar dengan mengatakan bahwa Pilpres 2019 otomatis selesai. Suara dari JAMI dianggap punya pengaruh yang luas.
“Sebenarnya kalau alumni Mesir sudah deklarasi, sebenarnya Pilpres itu sudah selesai. Sebab ini semua punya pengaruh di mana-mana. Alhamdulillah. Mudah-mudahan ini pertanda,” terang Ma’ruf Amin sambil tersenyum.
Senada seperti Ma’ruf Amin, capres 02, Prabowo juga mengapresiasi suara dan dukungan alumni. “Hari ini saya gembira, di tengah-tengah saudara saya menyaksikan gelombang besar menuju perubahan. Saya mengapresiasi para alumni universitas, intelektual-intelektual kampus yang berani meninggalkan menara gadingnya,” kata Prabowo.
Nah, sepengamatan Mojok Institute, ada satu kekhasan dari aksi dukung-mendukung pasangan 01 dan 02 ini. Kekhasan yang kami maksud adalah suara dan dukungan alumni ini tidak didominasi oleh suara milenial, tapi baby boomer yang datang ke acara “reuni” sambil bawa anak dan perut yang sudah buncit.
Milenial yang kami maksud adalah milenial yang baru lulus dari kampus dan tengah merintis jalan karier masing-masing.
Ini sungguh perlu diperhatikan oleh pasangan Jokowi/Ma’ruf Amin dan Prabowo/Sandiaga Uno. Suara milenial, konon, mendominasi jumlah suara di Pilpres 2019 kali ini. Celakanya, kami yakin bahwa deklarasi dari “alumni generasi lama” itu tidak terlalu berefek kepada “alumni generasi baru”. Pilihan politik milenial paruh akhir ini cenderung abu-abu, bahkan mungkin banyak yang golput.
Nah, alasan apa yang menjadi latar belakang sangat sedikit jumlah alumni generasi milenial paruh akhir yang mau terlibat dalam aksi deklarasi pandangan politik? Kami menyusunnya menjadi tiga alasan besar.
1. Milenial memilih “liburan” ketimbang deklarasi mendukung Jokowi atau Prabowo.
Jam kerja milenial banyak yang tidak menentu. Bukan lagi melulu pola kerja 8-3 atau 9-5. Jika sedang “freelance”, jam kerja mereka sangat fleksibel. Bisa seharian penuh mengerjakan proyek. Deadline yang ketat, membuat generasi milenial paruh akhir ini lebih memilih suntuk di depan laptop di hari kerja.
Nah, ketika tiba weekend, mereka memilih “liburan” ketimbang menghabiskan waktu seharian penuh ikut deklarasi di bawah terik panas matahari atau hujan deras yang sedang lebat-lebatnya di Januari atau Februari. Liburan di sini bisa kamu ganti dengan “menghibur diri”. Pokoknya melakukan kegiatan untuk menyenangkan diri dan bikin mereka lupa sejenak dengan deadline proyek dan kerjaan di kantor.
Mereka lebih suka olahraga, nge-gym, supaya tubuh tetap fit untuk menghadapi deadline yang ketat. Ada pula yang pergi ngofee ngofee tjakep, demi sesruput kopi nikmat dan foto yang artsy untuk menghias kolom-kolom Instagram dan Instagram Stories itu.
Intinya, milenial paruh akhir ini butuh aktivitas yang namaste untuk melupakan UMR rendah dan deadline kerja yang rapat.
2. Milenial mending lembur demi cicilan KPR.
Sudah banyak kantor yang menerapkan libur dari Jumat sampai Minggu. Ada waktu tiga hari kosong yang sungguh lebih bermakna diisi dengan lemburan ketimbang ikut deklarasi Jokowi atau Prabowo.
Kamu kudu tahu, banyak daerah yang masih ber-UMR rendah. Padahal, harga tanah, rumah jadi, atau apartemen semakin sulit digapai oleh milenial. Ada sebuah penelitian yang dilakukan rumah123.com dengan karir.com yang menemukan kenyataan bahwa pada tahun 2021, milenial akan sulit beli rumah.
Kalau mau mengajukan KPR di Jakarta, minimal pendapatan antara 13 hingga 16 juta per bulan, untuk cicilan 20 tahun. Harga rumah yang kian mahal dan tak diiringi kenaikan gaji yang signifikan, membuat generasi milenial kesulitan memenuhi kebutuhan papan. Akibatnya, banyak dari mereka menggunakan uang orang tua, baik dalam bentuk hibah atau pinjaman, untuk membeli rumah. Ini sudah jadi fakta global yang tak hanya terjadi di Indonesia.
Nah, ketimbang ikut deklarasi, milanial generasi baru ini lebih memilih lemburan saja. Menabung. Merencanakan masa depan. Toh, siapa pun yang jadi presiden, nasib hanya bisa diubah oleh diri sendiri. Apa ya kalau Jokowi menang lagi, kamu otomatis dapat rumah? Apa kalau Prabowo ternyata menang, kamu akan langsung dapat sebidang tanah?
3. Milenial cemas dengan wabah CLBK.
Banyak alasan alumni sebuah kampus malas datang ke acara reuni. Salah satunya adalah kemungkinan ketemu mantan. Mending kalau putusnya baik-baik. Bakal jadi petakan kalau sudah putusnya jadi masalah, kamu malah teringat dendam masa lalu. Ha mending di rumah saja, ngopi sambil nonton Netflix.
Menjadi masalah yang lebih runyam ketika kamu ketemu mantan pacar atau mantan gebetan yang kebetulan masih single. Ketika kamu sudah punya pasangan, entah pacar atau istri, benih-benih CLBK itu bisa terpupuk lagi. Ya kalau berhenti di acara reuni saja. Biasanya, benih itu akan awet, tetap ada bahkan setelah acara reuni selesai.
Sama seperti reuni, acara deklarasi berpeluang mempertemukan kamu kembali dengan cinta masa lalu. Ketimbang kena masalah yang sulit diselesaikan, lebih baik menghindarinya.