MOJOK.CO – Semakin menyedihkan, karena konten lelang keperawanan Sarah Keihl, perempuan dianggap selalu ngasih celah. Memancing monster bernama kekerasan verbal seksual, yang mana sudah dirasakan sendiri oleh Sarah.
Tahun lalu, ketika mengikuti kursus pernikahan, salah satu tema yang saya pelajari adalah tentang kekerasan verbal. Omongan yang nyelekit, tetapi dibalut dengan candaan, berpotensi menjadi kekerasan psikis. Dan di kehidupan pernikahan, kekerasan psikis, sedihnya, kalah popular sama kekerasan fisik dan seksual.
Banyak yang saya pelajari dari diskusi di grup kursus pernikahan. Mulai dari aspek kebiasaan sampai ranah hukumnya. Perlu kamu ketahui, dear ladies, kekerasan verbal di kehidupan pernikahan itu ada hukumnya, lho. Jadi, kalau pacar suamimu sering ngata-ngatain dan kamu sakit hati sampai sedih banget, bisa diperkarakan.
Salah satu kasus yang pernah ramai terkait kekerasan verbal dan berujung penderitaan secara psikis adalah Galih Ginanjar dan makian “ikan asin” untuk mantan istrinya, Fairuz. Tahu dong kasus itu. Kayaknya Galih Ginanjar kena hukuman 6 tahun penjara setelah dijerat pakai UU ITE. Hmm…UU ITE yang konon berisi pasal karet itu ada gunanya juga, ya. Tapi UU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih urgen, sih.
Lalu, apa nih hubungannya sama Sarah Keihl dan lelang keperawanan? Yang ingin saya katakan sebenarnya sederhana, kok. Terkadang, dear ladies, kalian tidak membantu diri sendiri. Ini “terkadang” dan tidak berlalu secara general, ya. Tapi ada saja, dear ladies, yang membuat kekerasan verbal seksual tetap lestari.
Sarah Keihl contohnya, yang tidak membantu diri sendiri dengan konten lelang keperawanan. Tahukah kamu, setelah konten lelang keperawanan itu viral, ada orang bilang begini: “Kenapa Sarah Keihl nggak ngelelang mobilnya aja, terus keperawanannya digratisin.” Kalimat itu, saya tahu, jadi celetukan bercanda. Namun, bagi saya, dan dear ladies kebanyakan, pasti terdengar sangat kejam, kan.
Ada aksi, ada reaksi. Sarah Keihl seperti melempar umpan ke lautan yang tidak dia kenali. Ketika monster yang tertangkap oleh kailnya, Sarah Keihl tidak akan bisa mengendalikan apa yang akan terjadi. Kalau sekarang Sarah Keihl bilang dirinya sampai nggak bisa tidur karena “diteror” oleh respons netizen, yang salah siapa?
Dear Sarah Keihl, mengontrol komentar orang itu susahnya minta ampun. Apalagi ketika dipancing dengan konten-konten panas seperti lelang keperawanan. Coba cek, berapa banyak orang yang bersuka cita karena dipancing Sarah Keihl dan meresponsnya dengan “candaan kejam”. Padahal itu seksisme dan merendahkan martabat perempuan banget.
Mungkin Sarah Keihl menikmatinya, mungkin juga tidak, toh kita tidak tahu isi hatinya. Mungkin beliau bersuka cita karena dapat engagement bagus. Konten-kontennya jadi dilirik sama pengiklan. Pemasukan lancar, meski harus mencederai citra dirinya sendiri. Sarah Keihl mencoba menangkis tuduhan miring dengan berkilah kalau konten lelang keperawannan hanya sebatas sarkas. Ya mohon maaf, sarkasnya nggak nyampek.
Lantas, apa hubungannya sama cerita di bagian pembuka tulisan ini?
Begini, dear ladies and gents. Kekerasan verbal, biasanya muncul karena kebiasaan. Misalnya, dalam sebuah rumah tangga, salah satu dari suami atau istri mempermasalahkan kondisi tubuh. Misalnya bau badan seperti makian “ikan asin” yang dibuat secara begitu kreatif oleh Galih Ginanjar untuk mempermalukan Fairuz.
“Mah, kamu tuh lho, mbok mandi. Bau kayak ikan asin. Mandi kok pas Jumat kliwon saja. Emangnya kamu keris!”
“Pah, pulang kerja langsung mandi sana. Malah tiduran. Bau kakimu tu kayak ikan asin. Emang kamu pedagang ikan ya!”
Obrolan-obrolan seperti itu dianggap lumrah, bahkan mungkin dibumbui tawa karena lucu. Namun, mulai dari yang sepele itu, kekerasan verbal berujung psikis akan menjadi kebiasaan dan menumpuk. Ketika terjadi cek cok sebagaimana biasa rumah tangga, makian seperti itu akan secara reflek terpanggil dan menjadi kalimat verbal yang menyakiti hati karena didukung suasana batin yang kacau.
Banyak pegiat hak-hak perempuan yang berjuang setulus hati untuk mengubah kebiasaan itu. Ya tentu saja biar perempuan nggak jadi objek dan komoditi konten semata. Celakanya, yang namanya “sudah membudaya”, sangat sulit dikikis. Apalagi ketika, banyak perempuan, sengaja memberi celah.
Ya kalau saya, sih, segala perjuangan kelas atau sosial, harus dilakukan oleh semua pihak secara berbarengan. Nggak bisa satu pihak teriak, sementara pihak lain memaklumi kesalahan. Apalagi yang memaklumi kesalahan dari pihak yang sama. Eh, kesalahan malah di-monetize lewat sebuah impian akan engagement medsos yang tinggi. Mboten cucuk, Lur.
Sudah ngasih celah dengan konten lelang keperawanan, Sarah Keihl membayar kesalahan secara “nggak cantik banget”. Maaf ya, kata “cantik” nggak ada hubungannya sama kondisi fisik. Kata itu saya pakai untuk menggambarkan respons Sarah Keihl yang, maaf saja, malah kelihatan bodoh.
Kok, begitu?
Kalau tujuan awal Sarah Keihl adalah menyindir orang yang nggak peka sama kondisi sekarang, jelas konten lelang keperawanan nggak pas banget. Ini maksudnya orang yang mana? Maaf, ya, Sarah Keihl, justru ketika kondisinya kayak gini, banyak kok yang malah semakin sadar untuk gotong royong tanpa menunggu pemerintah. Eh, pemerintah ada ya?
Yang dimaksud Sarah Keihl itu mereka yang lebih mementingkan baju baru buat lebaran? Sebuah video ajakan untuk lebih peka dengan situasi sudah lebih dari cukup, kok. Apalagi, tanpa konten lelang keperawanan, engagement Sarah Keihl sudah sangat bagus. Sudah bisa dibilang sebagai orang yang punya influence akan orang lain. Dan itu cukup.
Kebodohan kedua adalah dengan menyiarkan kalau Sarah Keihl akan menyumbang 1000 paket sembako sebagai “bentuk penyesalan”. Saya menyebutnya di bagian judul sebagai gratifikasi kebodohan. Apa ya sebuah kebodohan, bisa ditebus hanya dengan materi saja?
Kalau sejak awal tujuannya mau menyumbang, kenapa harus bikin konten sarkas yang sebetulnya nggak sarkas itu? Kan, Sarah Keihl sendiri nanti yang repot karena dianggap mau pamer saja. Saya tuh care lho sama kondisi psikis Sarah kalau malah jadi bulan-bulanan netizen yang menyasar ke status perawan atau tidak. Wah, itu tema yang luar biasa sensitif di Indonesia.
Kalau sudah begitu, segala niat baik Sarah Keihl hanya akan dianggap sebagai usaha berburu engagement semata. Nggak lebih, dan ini menyedihkan. Niat baik seharusnya tidak dicurigai. Namun, sekali lagi, beliau sendiri yang memberi celah. Kebaikan yang akan dilakukan hanya sebatas menjadi gratifikasi akan kebodohan.
Pada titik tertentu, kalau mau kritik ya kritik saja karena maksud seseorang belum tentu bisa ditangkap orang lain sebagai sebuah “kritik semata”. Kalau mau membantu ya membantu saja, tak perlu bikin konten. Seakan-akan dosis kebodohan yang dikonsumsi netizen masih kurang. Karena mengejar engagement? Ya maaf, makin salah.
Dan semakin menyedihkan, karena konten lelang keperawanan Sarah Keihl, perempuan dianggap selalu ngasih celah. Memancing monster bernama kekerasan verbal seksual, yang mana sudah dirasakan sendiri oleh Sarah.
BACA JUGA Ikan Asin Galih Ginanjar: Kekerasan Psikis yang Disepelekan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.