MOJOK – Sebuah kejutan diberikan Arsenal ketika tidak jadi menunjuk Mikel Arteta sebagai pengganti Arsene Wenger. Manajemen memutuskan menggunakan jasa Unai Emery. Mengapa harus Emery? Logika seperti apa di balik kabar ini?
Nampaknya, Arsenal sedang hobi membuat kejutan. Sebelumnya, The Gunners membuat kejutan dengan mengizinkan Arsene Wenger mengumumkan pengunduran dirinya. Kali ini, Arsenal kembali melakukan hal yang sama dengan “memberi indikasi kuat” bahwa bukan Mikel Arteta yang akan menjadi pelatih baru, melainkan Unai Emery.
Saya beri sedikit latar belakang. Pertengahan minggu lalu, nama Mikel Arteta sudah sangat dekat menjadi pelatih baru Arsenal. Bahkan konon, 90 persen pemain Arsenal sudah mendapatkan informasi bahwa mantan pemain berdarah Spanyol tersebut yang akan menggantikan Wenger. Basis fans Arsenal, yang sebelumnya terbagi, antara setuju dan menolak Arsenal, sudah hampir menjadi satu suara mendukung.
Arteta dianggap sebagai figur yang cocok. Ia masih muda, belajar secara langsung di bawah dua pelatih berpengalaman, Wenger dan Pep Guardiola. Pun, mantan pemain Everton tersebut dianggap punya wawasan dan filosofi yang klop dengan Arsenal. Dibuktikan dengan deskripsi yang ia berikan ketika wawancara dengan banyak media.
Namun, datang dari sudut yang tak terduga, seperti hook kiri seorang petinju, kejutan datang ketika nama Unai Emery mengapung. Adalah David “Lord” Ornstein, jurnalis terpercaya dari BBC, memberi penegasan bahwa Emery yang akan menjadi suksesor Wenger. Selasa (22/5) pagi buta waktu Indonesia, nama Emery bergaung keras mengiringi azan subuh setelah sahur usai.
Mengapa Unai Emery?
Penunjukkan Emery memang mengejutkan lantaran bukan dirinya yang digaungkan oleh media selama beberapa minggu terakhir. Namun, jika Anda duduk dengan tenang dan memikirkan semuanya, terlebih jika Anda fans Arsenal, semuanya menjadi masuk akal. Pada titik tertentu, Emery adalah sosok pelatih (yang mungkin) cocok untuk kondisi Arsenal saat ini.
Saya menggunakan “yang mungkin” karena hanya Tuhan yang tahu akan seperti apa Arsenal musim depan. Inilah beberapa logika di balik penunjukkan Emery sebagai pelatih Arsenal. Perlu dicatat, nama Emery belum resmi diumumkan sebagai pelatih baru. Apakah akan ada kejutan baru? melihat kebiasaan Arsenal, ya mungkin saja.
Logika pertama adalah soal usia. Narasi yang terbangun adalah pengganti Wenger harus berusia muda, setidaknya di bawah 55 tahun. Mengapa? Karena untuk keperluan proyek jangka panjang. Gonta-ganti pelatih dalam rentang waktu yang pendek tentu tidak sehat.
Oleh sebab itu, nama-nama calon pelatih yang bocor ke media memang masih muda. Mulai dari Mikel Arteta (36 tahun), Max Allegri (50 tahun), Leo Jardim (43), Luis Enrique (48), dan Julian Nagelsmann (30). Emery sendiri berusia 46 tahun dan masuk ke dalam kriteria usia ini.
Manajemen Arsenal sendiri sudah menyiapkan diri untuk membantu siapa saja yang terpilih untuk bisa bertahan dalam waktu yang lama. Mulai dari penunjukkan kepala pencari bakat kelas dunia, negosiator transfer, hingga seorang ahli dalam bidang kontrak atlet profesional. Kerja pelatih baru nanti diharapkan tidak seberat yang dipegang oleh Wenger.
Perlu menjadi catatan di sini. Meski membutuhkan pelatih muda, Arsenal juga tak bisa sembarangan memilih pelatih yang belum berpengalaman. Masa transisi adalah masa yang berat bagi siapa saja. Dibutuhkan pengalaman merasakan situasi yang serupa untuk lepas dari masa-masa berat ini. Arteta mungkin calon pelatih kelas elite. Namun, risikonya memang lebih besar dibandingkan jika Arsenal memilih Emery.
Logika kedua adalah soal adaptasi pelatih terhadap skuat. Allegri dan Enrique dikabarkan meminta sejumlah dana untuk membeli pemain yang sesuai dengan filosofi mereka. Keduanya memang terbiasa bekerja dengan dana yang cukup besar. Allegri mendapat cukup dana untuk membuat Juventus memenangi Scudetto secara berturut-turut. Sementara itu, bersama Barcelona, Enrique juga mendaptkan kemewahan yang serupa.
Emery sendiri dikenal sebagai pelatih yang jago beradaptasi dengan lingkungan skuat yang ia pegang. Contoh yang paling pas tentu masa kepelatihannya bersama Sevilla. Tim asal Spanyol tersebut tak punya dana besar untuk belanja pemain. Jadi, manajemen mengakalinya dengan merekrut pemain-pemain muda atau “tidak terlalu terkenal” lalu mengubah mereka menjadi pemain kelas dunia.
Emery jelas tak punya kuasa ketika ada klub besar datang dengan uang yang banyak untuk membeli pemain Sevilla. Uang hasil penjualan digunakan untuk operasional klub dan membeli pemain muda lainnya.
Bersama Arsenal, Emery akan memulai musim dengan dana “hanya” 50 juta paun, di luar hasil penjualan pemain nantinya. Untuk ukuran sepak bola industri saat ini, dana 50 juta paun tentu sangat kecil. Maka, untuk bersaing dengan tim papan atas lainnya yang diguyur uang minyak dibutuhkan pelatih yang cakap memaksimalkan dana dan pemain muda.
Kesuksesan Emery bersama Sevilla memang tak bisa dilepaskan dari satu nama, yaitu Ramón Rodríguez Verdejo alias Monchi. Dialah mata dan otak Sevilla ketika berurusan dengan perekrutan pemain potensial. Monchi sudah bergabung dengan AS Roma musim lalu. Beruntung, Arsenal punya Sven Mislintat, yang matanya tak kalah tajam dengan Monchi.
Mislintat bertanggung jawab atas kesuksesan Borussia Dortmund mendatangkan pemain-pemain potensial dalam diri Pierre-Emerick Aubayemang, Shinji Kagawa, Robert Lewandowski, hingga Mario Gotze. Potensi kombinasi Emery dan Mislintat yang membuat penunjukkan ini menjadi masuk akal.
Logika ketiga adalah atensi kepada detail. Sebagai pelatih, Unai Emery adalah sosok yang gila dengan detail. Ia sangat menggemari video analisis. Pernah suatu kali, ketika melatih Valencia, Emery membagikan flash disk untuk semua pemain berisia video analisis calon lawan mereka. Emery mendapati ada satu pemain yang tidak mempelajari video-video yang sudah ia siapkan.
Untuk kesempatan berikutnya, Emery memberi si pemain sebuah flash disk kosong. Lantas, ia meminta si pemain untuk menjelaskan materi video yang ia “bagikan” tersebut. Atensinya kepada detail sukses membawa Sevilla menjuarai Liga Europa tiga kali berurut-turut. Bersama Paris Saint-Germain (PSG), ia meraih treble domestik musim ini.
Cacat Emery memang bersama PSG. Ia dianggap tak punya cukup mental untuk menghadapi tekanan ketika ia membuang keunggulan 4-0 atas Barcelona hanya untuk kalah pada akhirnya. Emery juga dianggap tidak punya aspek kepemimpinan ketika dirinya tak bisa menjinakkan Edinson Cavani dan Neymar.
Namun, jika dipikirkan lagi, Emery tak punya kebebasan menentukan pemain sendiri. Ia tak berharap PSG membeli Neymar, atau Kylian Mbappe. Apa jadinya ketika seorang pemain dibelikan pemain yang sebenarnya tak pernah ia butuhkan? Hanya untuk menjadi kambing hitam atas kegagalan yang memayungi PSG di Liga Champions. Sebuah situasi yang diharapkan tidak terjadi di Arsenal nanti.
Tiga logika di atas adalah hal-hal yang terbaca dari perkembangan di permukaan sejauh ini. Apakah ada faktor lain di balik penunjukkan ini? Siapa yang tahu. Satu hal yang pasti, momen transisi akan menjadi tantangan untuk semua pelatih. Terlebih ketika ia menggantikan Arsene Wenger yang melegenda di Stadion Emirates.
Jika Arsene berirama dengan Arsenal, boleh dikata Emery berima dengan Emirates. Pertanda jodoh? Ulala.