MOJOK.CO – Edy Rahmayadi ngurus PSSI seperti kerja remote? Ya mari kita khusnudzon. Mungkin inilah revolusi kerja rangkap jabatan. Pilih tanding!
Selepas hasil hitung cepat Pilkada Sumatera Utara 2018, nama Edy Rahmayadi dan Nawal Lubis berhasil keluar sebagai pemenang. Salah satu pertanyaan yang mengganjal adalah terkait jabatan Rahmayadi sebagai ketum PSSI. Januari silam, beliau pernah berkata: “(Tidak akan mundur). Kan, tidak ada undang-undangnya. Sah dan boleh.” Pernyataan bapak berusia 57 tahun tersebut dilansir oleh banjarmasinpost.co.id pada tanggal 4 Januari 2018.
Sejak mengambil cuti untuk berlaga di pesta demokrasi Sumut 2018, desakan untuk mundur bergaung dengan keras. Namun, Edy Rahmayadi bergeming. Edy Rahmayadi, yang memiliki karier militer mentereng dengan sempat menjadi Pangdam Bukit Barisan dan pernah menjabat sebagai Pangkostrad, bersikeras bahwa dirinya tidak masalah rangkap jabatan. Sungguh jantan sekali.
Artinya, harapan melihat sepak bola Indonesia terbebas dari pengaruh politik secara perlahan-lahan gagal terwujud. Tentu sangat tidak mungkin bebas dari pengaruh politik apabila ketumnya saja seorang gubernur, sebuah jabatan politik. Campur aduk kepentingan inilah yang tidak ingin dirasakan masyarakat sepak bola. Lagi.
Keprihatikan kedua terkait perkembangan sepak bola Indonesia itu sendiri. Mulai dari jadwal liga yang bisa molor dengan ajaib, klub yang bisa begitu saja lahir dan ikut kompetisi tanpa melewati divisi paling bawah, sanksi yang terkesan tebang pilih, kekerasan suporter, kematian suporter yang tidak terurus padahal ketumnya sudah berjanji di depan publik akan menuntaskannya, dan sederet masalah yang tidak mungkin bisa dirusi tanpa konsentrasi penuh.
Achsanul Qosasi, Presiden Madura United memberi penjelasan yang menarik. Lewat akun Instagram pribadinya beliau menjlentrehkan beberapa masalah yang perlu diperhatikan secara serius oleh Edy Rahmayadi. Jenis-jenis masalah yang tak akan selesai apabila disambi, rangkap jabatan.
“Dibutuhkan keseriusan dan waktu yang banyak untuk mengurusnya; pembinaan usia muda, pengembangan organisasi, timnas, lobi internasional, permasalahan kompetisi, hubungan dengan Pemda, pemerintah, sponsor, AFF, AFC dan FIFA, bukan pekerjaan yang bisa disambi dan dirangkap. Ini pekerjaan yang butuh fokus dan total,” kata Achsanul Qosasi lewat akun Twitter pribadinya.
Namun, yang namanya Edy Rahmayadi tentu agaknya bisa menyelesaikan semua masalah. Mulai dari masalah di PSSI; yang melibatkan kompetisi, tim nasional, pembinaan pemain muda. Sembari blusukan di pelosok Sumatera Utara untuk mengawasi pembangunan desa tertinggal yang mencapai 2.164 pada tahun 2016 lalu, sekaligus mengurusi masalah pembangunan infrastruktur, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengawasi kerja pegawai pemerintah tingkat provinsi, menyelesaikan janji kerja 100 hari, memenuhi janji kampanye, dan lain sebagainya.
Memang, gubernur sebuah provinsi tentu punya yang namanya tim. Namun, pengawasan tentu membutuhkan keberadaan fisik sang gubernur. Begitu juga denga PSSI, yang meskipun punya Joko Driyono, kehadiran badan wadag sang Ketum PSSI tetap dibutuhkan. Ia harus berada di lapangan untuk mengetahui secara jelas masalah sepak bola Indonesia yang sudah kadung berkarat itu.
Begitulah ribetnya pekerjaan gubernur dan Ketum PSSI. Lantaran sudah merasa buntu tidak bisa membujuk Edy Rahmayadi untuk mundur dari jabatan Ketum PSSI, Achsanul Qosasi mengajak kita semua untuk berpikiran positif. Mendukung kerja Edy Rahmayadi.
Lewat akun Twitter pribadinya, Achsanul Qosasi menyampaikan, “Saya sudah memberikan saran kepada Ketua Umum PSSI dan sudah direspons bahwa beliau mampu mengurus Sumut dan PSSI. Saya menghormati keputusannya. Mari kita berdoa semoga dimudahkan dan PSSI bisa diurus dari Medan melalui WA, email, dan telepon.”
Lewat aplikasi WhatsApp, email, dan telepon. Sepertinya, inilah revolusi PSSI ala Edy Rahmayadi yang cerdik itu. Beliau menyamakan kerja Ketum PSSI seperti freelancer, bisa dikerjakan secara remote. Ini cerdik sekali, memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memaksimalkan kerjanya sebagai Gubernur Sumut dan Ketum PSSI.
Jadi, di suatu siang yang panas, sambil mengawasi pembangunan desa tertinggal di pelosok Sumut, Edy Rahmayadi mengirim pesan lewat WhatsApp. Isinya adalah beberapa instruksi penting. Pertama, supaya sanksi kepada pemain tidak tebang pilih. Kedua, jangan ada lagi penundaan pertandingan karena alasan pemainnya bermain di timnas. Ketiga, verifikasi stadion dilakukan secara transparan dan profesional.
Tiga hari kemudian, ternyata masalah-masalah di atas masih terjadi. Sanksi hukuman masih tebang pilih, jadwal pertandingan yang molor tanpa alasan konkret, dan stadion yang sebetulnya tidak layak tetap bisa menggelar pertandingan. Edy Rahmayadi terlihat gusar di kantornya yang sejuk. Beliau bertanya-tanya, mengapa instruksinya yang dikirim lewat WhatsApp tidak dilaksanakan. Mengapa, ia bertanya-tanya.
Setelah ditelusuri, ternyata pesan yang ia kirim hanya centang satu sejak tiga hari yang lalu. Padahal, di pelosok Sumut dan di kantornya yang sejuk sudah terjangkau sinyal provider 4G LTE. Kecepatan unduh di kisaran 12,9 Mbps, sedangkan kecepatan unggah mencapai 7,3 Mbps. Sudah lumayan cepat kok tidak terkirim? Ternyata setelah dicek, paketan kuota internet Edy Rahmayadi sudah habis, sementara wifi kantor sedang trobel sejak satu minggu belakangan.
Edy Rahmayadi mencoba menggunakan email. Duduk ia di depan laptop dengan logo apel miliknya. Setelah tiga kali mencoba log in dan memasukkan password, kok, gagal terus. Edy Rahmayadi mencoba beberapa kombinasi kata kunci. Mulai dari “Sumutkeren2018”. Gagal. Lalu mencoba “P55IGotongRoyong”. Gagal lagi. Ia mencoba sekali lagi: “EdyRahmayadiSaestu”. Kok ya masih gagal. Terakhir ia mencoba, “IndonesiaMenujuPialaDunia2022”. Tetap gagal.
Gregetan, jiwa kesatria Edy Rahmayadi muncul. Beliau langsung meluncur ke Bandara Kualanamu. Naik pesawat ekonomi untuk mempertahankan citra gubernur merakyat, ia menuju Jakarta, ke kantor PSSI. Di kantor, ia menggelar rapat darurat. Setelah rapat maraton selama tiga kali jam kerja, semua masalah selesai. Memang, kehadiran diri dan konsentrasi penuh ke PSSI adalah satu-satunya jalan untuk membenahi sepak bola Indonesia.
Cerita di atas tentu hanya fiktif belaka. Jika Presiden Madura United, Achsanul Qosasi mengungkapkan bahwa Edy Rahmayadi bisa mengurusi PSSI dengan bekal WhatsApp, email, dan telepon, ya kita percaya saja kepada Sang Gubernur. Kerja remote kan sedang menjadi tren. Apalagi kerja di working space, sambil ngopi-ngopi cantik. Cuma pesan secangkir kopi tubruk, pakai wifi sampai 6 jam. Tidak apa-apa.