MOJOK.CO – Revolusi PSSI jadi impian jutaan pecinta sepak bola Indonesia. bisakah suporter dengan segala dinamikanya menjadi roda gigi terwujudnya revolusi?
“Suporter itu bukan aktivis!”
Kalimat itu seperti terpanggil datang lagi ketika narasi revolusi PSSI kembali menyeruak. Selama ini, revolusi PSSI seperti diserahkan sepenuhnya kepada individu, kepada insan yang mau mewakafkan waktunya untuk mengurus sepak bola Indonesia. Namun, kita tahu sendiri, langkah orang-orang baru yang peduli sudah diganjal di tahap seleksi Ketum PSSI.
Apa yang terjadi? Orang-orang lama dengan aroma tidak sedap yang lagi-lagi kita hadapi. Kita seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Untuk menurut kepada “keadaan ideal” menurut orang-orang yang mencegah revolusi itu terjadi. Keadaan ideal bagi mereka, yang berarti busuknya sepak bola Indonesia tetap lestari.
Biasanya, kalau orang baru yang peduli itu diganjal, gaung revolusi PSSI akan lenyap begitu saja. Muncul lagi nanti ketika ada kisruh di kompetisi atau timnas senior Indonedia kalahan (seperti biasanya).
Maka, “gerakan” yang sebetulnya punya kekuatan besar ada di voters. Siapa mereka? Voters adalah semua klub yang berlaga di Liga 1, Liga 2, Liga 3, dan Asosiasi Provinsi (Asprov). Mereka yang punya kekuatan untuk menentukan siapa yang akan jadi ketua dan mengisi jabatan exco. Namun, apa yang terjadi?
Voters seperti kehilangan kekuatan di hadapan “sistem” yang sudah diciptakan dan berusaha dipertahankan. Ibarat kata, voters juga sama seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Bahkan bisa dibilang kaki-kaki mereka terpasung. Diikat oleh rantai tak kasat mata. Ya mohon maaf kalau kalimat pengandaian saya terlalu keras.
Melihat situasi seperti itu, maka kekuatan suporter yang diharapkan bisa mewujudkan revolusi PSSI. Sebuah harapan kosong? Bisakah suporter diandalkan untuk menjadi roda gigi revolusi PSSI?
Sebetulnya, jawaban untuk pertanyaan itu sudah kamu ketahui. Jawabannya sederhana: sangat sulit. Jawaban sederhana yang sudah menggambarkan kalau ini semua hampir mustahil. Mengapa bisa begitu?
Pertama, jurang permusuhan antara satu suporter satu dengan lainnya terlalu dalam. Usaha membangun jembatan perdamaian sudah gagal bahkan sejak berusaha mencari “bahan untuk membangun kaki jembatan yang kokoh.”
Sejarah, luka lama, dendam, gengsi, dan lain sebagainya. Permusuhan itu setua usia sepak bola sendiri. Diwariskan kepada generasi selanjutnya, bahkan dirawat dengan sangat baik. Media sosial menjadi salah satu wadah merawat dan menyalurkan kebencian itu. Saling tantang, saling ledek, saling hina. Permusuhan itu sulit sekali diredam.
Kemauan untuk menahan diri itu, padahal, jadi syarat awal mewujudkan “satu suporter”. satu wadah besar yang menaungi suporter Indonesia. Rivalitas tetap akan ada, tetapi wadah itu menjadi sebuah “kesepakatan” bersama untuk menggerakkan narasi revolusi PSSI.
Saya pernah membuat sebuah road map sederhana untuk menghilangkan warisan kekerasan. Namun saya juga sadar, proses mewujudkan road map itu sangat panjang. Kita berbicara memutus satu generasi kekerasan yang sudah mandarah daging. Bahkan, “para pendahulu” itu seperti punya tanggung jawab sosial untuk mewariskan kekerasan.
Jika tidak bisa bersatu dalam satu kesepahaman, suporter tidak akan bisa jadi penggerak revolusi PSSI. Silakan buktikan kalimat saya adalah sebuah kesalahan!
Kedua, masih banyak suporter yang apatis terhadap situasi PSSI. Asal ada pertandingan, suporter akan lupa dengan masalah terbesar. Ini manusiawi dan tidak bisa kamu ubah. Manusia butuh bahan-bahan pemantik hormon endorphin dan sepak bola adalah salah satunya. Melarang suporter masuk stadion adalah sebuah pelanggaran HAM.
Solusi sederhana ditawarkan oleh Mohammad Ilham, jurnalis Jawa Pos. Ilham menyarankan suporter untuk tetap beli tiket dan bikin stadion penuh. Di dalam stadion, pasang spanduk protes sebesar mungkin. Pasang di tempat-tempat yang sebetulnya dilarang supaya klub kena denda. Ini bukan tidak sayang kepada klub tetap ini cara menyentil paling halus bahwa revolusi PSSI bisa jalan asal klub (voters) ikut bergerak.
5. Ok, klo boikot datang ke stadion itu kasian pemain. Masih ada cara lain kok. Tetap beli tiket. Penuhi stadion. Biar pemain tetap semangat. Tapi pasang spanduk tuntutan yg besaaaar dia area yg dilarang. Biar klub kah yg bayar denda ?. Sapa suruh g mau ikut dalam perubahan
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
Ketiga, meminta suporter bergerak adalah meminta manusia untuk mewakafkan waktu dan tenaga. Sebagian dari suporter adalah warga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Jika tidak datang ke stadion, mereka menghabiskan waktu untuk bekerja. Turun ke jalan untuk protes berarti meminta mereka mengorbankan upah harian mereka. Siapkah kita semua memikirkan masalah sosial itu?
Sebagian para pekerja, sebagian lagi pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih mudah untuk diajak turun ke jalan. Namun, akan ada masanya ketika sekolah dan kampus berusaha mencegah. Siapkah kita mendobrak larangan dari institusi pendidikan demi mempertahankan hak untuk demo bagi suporter dari kalangan pelajar dan mahasiswa?
Suporter adalah sekumpulan manusia dengan dinamika sangat kompleks. Mereka bukan sekadar sekumpulan orang cinta sepak bola. Jika batasan-batasan ini bisa diterobos, baru kita bisa mengharapkan revolusi PSSI didorong oleh suporter.
Pada akhirnya, kekuatan terbesar tetap ada di tangan voters. Suporter punya “tugas” untuk menekan voters. Lakukan dengan santun supaya pergerakan suporter tidak dianggap liar. Hadirkan fakta-fakta dan sajikan argumen yang kokoh, bukan dengan teriakan kemarahan semata.
Saya tidak ingin terdengar pesimis. Saya hanya berusaha untuk realistis, melihat kenyataan dari kehidupan yang terjadi. Sepak bola adalah milik bersama. Oleh sebab itu, semua aksi untuk memperbaiki diri selayaknya dilakukan tidak seorang diri.
Suporter Indonesia, mari bergerak bersama, demi revolusi PSSI dan sepak bola yang sehat rohani dan jasmani.
BACA JUGA Masihkah Ada Kebanggaan Dari Timnas Indonesia? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.