MOJOK.CO – Serie A adalah sebuah taman paling indah. Dia menawarkan keindahan dari kejayaan Juventus dan kejatuhan yang dialami AC Milan. Belleza perfetta!
Jujur saja, saya berharap Inter Milan tidak kalah ketika melawan Juventus. Apalagi setelah mereka bisa menyamakan kedudukan lewat kaki Lautaro Martinez. Namun, apa daya, namanya juga harapan. Apalagi berharap kepada manusia, tempatnya seribu kesalahan bersemayam. Di Serie A, Si Nyonya Tua masih sakti.
Masih sakti, bahkan ketika mereka sebetulnya baru menemukan setelan yang pas supaya bisa bermain maksimal. Sebelumnya, sejak Maurizio Sarri resmi melatih, Juventus belum menemukan setelan tim yang cocok. Ide bermain yang ingin ditanamkan Sarri perlahan sudah dipahami. Namun, yang namanya paham di atas kertas tentu berbeda dengan kenyataan di atas lapangan.
Dominasi Juventus memang tidak hanya berasal dari kekuatan kaki-kaki yang menendang bola. Kekuatan mereka berasal dari spirit kuno yang menaungi. Spirit lo spirit Juve, semangat kuno yang selalu menjadi pendorong ketika tim ini terpojok dan bertemu lawan sepadan. Terutama jika kita berbicara Serie A.
Ada yang bilang kalau dominasi Juventus ini tidak sehat. Delapan kali Scudetto berturut-turut memang tidak baik untuk kesehatan kompetisi. Seakan-akan, hanya Juve yang serius berlari, sementara tim-tim raksasa tradisional seperti AC Milan, AS Roma, dan Lazio masih suntuk memilih sepatu lari yang paling nyaman.
Saya punya pandangan yang sedikit berbeda. Dominasi Juventus di Serie A adalah keindahan tersendiri. Terbuat dari apa hati seorang pemenang? Tentu bukan berasal dari bahan hati pengecut dan mereka yang lemah. Hati sekokoh diamond itu berasal dari sebuah proses panjang. Ditempa oleh cobaan dan cemoohan. Diuji oleh ego diri sendiri dan jegalan dari lawan.
Proses dari hati “manusia mortal”, yang bertransformasi menjadi sebuah batu mulia abadi adalah proses yang menginspirasi. Tepikan ledekan Juventus tidak juara secara murni. Satu hal yang pasti, di puncak kejayaan ini, dari masa Antonio Conte hingga Max Allegri, hanya mereka yang kuat berlari mengejar kejayaan.
Kekuatan hati untuk tidak kalah dari siapa saja ini yang membuat saya mencintai Serie A. Mereka tidak mau lunak kepada diri sendiri. Pilihannya menjadi terbaik atau mati di kalang malu. Perjuangan, selalu menghadirkan romansa tersendiri. Apalagi jika dirimu adalah pemuja klub kacangan yang bermain cantik saja tidak bisa.
Lantas, apakah keindahan Serie A hanya terlihat di dada pemain-pemain Juventus? Serie A masih menawarkan keindangan dalam proses kejatuhan AC Milan.
Di Serie A, Juventus adalah klub Italia paling sukses. Namun, di Eropa, Juventus hanya salah satu dari pecundang. Di Eropa, nama Milan yang lebih harum tercium. Hanya Real Madrid yang punya gelar juara Liga Champions lebih banyak dari koleksi Milan. Tidak ada yang bisa membantah bahwa mereka adalah Setan Merah orisinal. Tiruannya ada di Inggris dan mungkin akan degradasi musim ini.
Milan yang digdaya, Milan yang dirindukan di ajang paling mewah. Mirip seperti Juventus ketika berkompetisi di Serie A, Milan juga punya semangat tidak mau kalah ketika sampai di babak paling menentukan di Liga Champions. Mereka, yang bisa bermain indah, akan menanggalkan “zirah berkilau” itu demi efektivitas. Milan menjadi pembunuh paling sukses di sepanjang sejarah Italia.
Sayangnya, mata raksasa itu semakin berat dan wajahnya sendu. Lelah, dia tertidur. Lelah, Milan sedang dalam era kejatuhan.
Pergantian pelatih terjadi seperti layaknya musim. Setelah musim kemarau, pasti musim hujan. Pasti terjadi.
Ada orang berkata kalau puisi terindah adalah tentang manusia yang kehilangan arah. Ketika manusia tidak lagi punya pilihan. Ketika semua indera dimatikan dan tersesat adalah pilihan paling menjanjikan. Ia kehilangan rasa, identitas. Tidak lagi bisa memilih, menanggalkan jati diri.
Beberapa tahun terakhir, Milan menjadi “si manusia” itu. Apa yang dilakukan manusia ketika tersesat di tengah hutan lebat? Apa yang dilakukan manusia ketika kehilangan kemerdekaan untuk memilih? Si manusia hanya bisa berharap dan menerima semua kemungkinan. Yang berkecamuk di dalam benaknya adalah cara untuk bertahan dan tidak ditelan oleh hutan belantara itu.
AC Milan adalah wujud sempurna empat bait pertama dari La Divina Commedia, sebuah sayatan paripurna tentang Dante, penyair misterius dari Italia.
Nel mezzo del cammin di nostra vita
mi ritrovai per una selva oscura
ché la diritta via era smarrita
Ahi quanto a dir qual era è cosa dura
Ke dalam Bahasa Inggris, syair itu melagukan:
Halfway through our life’s journey
I woke to find myself within a dark wood
because I had strayed from the correct path.
Oh how hard it is to describe
Sangat pilu, tetapi ada keindangan yang terselip di sana. Kejatuhan, kegagalan bukan untuk ditolak, tetapi dipelajari. Kegagalan justru menunjukkan titik sebuah kesalahan yang perlu diperbaiki.
Di sinilah letak keindahan itu. Menyaksikan manusia berjuang, dengan segenap kekuatan, berbekal kesalahan yang menumpuk. Cermati betul cara Milan bangkit. Amati dari dekat geliat mereka menyingkirkan kesalahan. Serap semangat mereka untuk mengubah kejatuhan menjadi titian baru menuju kejayaan.
Suatu saat nanti, ketika akhirnya bangkit, geliat Milan akan terserap ke dalam pori-porimu. Menjadi sebuah inspirasi bahwa kejatuhan hanya satu fase dari sebuah perjalanan, bahwa kesalahan masih bisa diperbaiki. Tidak ada jalan buntu, yang ada hanya hati lemah yang memilih untuk menyerah. Sangat indah kejatuhan il Vero Diavolo.
Itulah keindahan yang ditawarkan Serie A. Melihat perjuangan kesatria-kesatria tampan dalam balutan seragam Inter Milan dan AS Roma menyelamatkan “sang puteri” dari dekapan Nyonya Tua yang sakti. Melihat raksasa bernama Milan bergeliat mencoba menghancurkan rantai medioker yang memasung kaki-kaki legendaris itu.
Pensi di conoscere il calcio?
Sei solo un figlio di mamma
Sei un una vergogna un imbarazzo
Ti faccio vedere io come si fa
Ti faccio vedere io la strada
La strada del Super Soccer
BACA JUGA AC Milan Adalah Puisi Paling Sedih di Sejarah Serie A atau artikel Yamadipati Seno lainnya.