MOJOK.CO – Masihkah ada kebanggaan dari juaranya Persija Jakarta dan sepak bola Indonesia itu sendiri? Jawabannya kembali ke kamu masing-masing.
Masihkah ada kebanggaan dari juaranya Persija Jakarta dan sepak bola Indonesia itu sendiri? Kalau kamu Jakmania, ya tentu saja bangga. Tidak ada fans sepak bola di luar sana yang tidak bersukacita ketika tim kebanggaannya juara. Dari level tarkam, hingga perayaan sepak bola terbesar, Piala Dunia, juara adalah target yang perlu dikejar.
Dan hal itu sah-sah saja, meski pada kenyataannya label juara itu tidak diraih dengan tangan yang “bersih”. Juara, ya juara, sebelum pengadilan berkata lain. Ambil kata Juventus di Serie A ketika mereka juara. Parade kemenangan tetap digelar klub dan suporter. Lain soal ketika mereka terbukti mencurangi liga, degradasi, dan Scudetto “dilungsurkan” untuk Inter Milan.
Bahkan sampai detik ini, banyak Juventini tetap menganggap “gelar juara yang hilang” itu tetap milik mereka. Justru Inter Milan di sini yang dianggap jahat karena merebut Scudetto mereka. Itu kalau di Italia, sebuah kejadian yang agak sulit terjadi di Indonesia. Agak susah membayangkan tiba-tiba ada sebuah pengusutan digelar oleh operator liga atau pihak independen, berlanjut ke persidangan, lalu PSM Makassar dinyatakan sebagai juara.
Sebentar, tolong jangan ngegas dulu. “Kenyataan” memang terkadang pahit dan bising di telinga. Kata “kenyataan” saya beri tanda kutip supaya kamu semua mau melihat kembali proses dua gol Persija ke gawang Mitra Kukar di laga pamungkas Liga 1 Indonesia. Sila perhatikan betul video proses gol pertama di bawah ini:
HARAM! pic.twitter.com/Q1azQ3v7Wu
— Anis Anshari Ahsan (@sanisanis_) December 9, 2018
Kalau kamu Jakmania dan masih yakin bahwa klubmu memang layak juara, ya nggak masalah. Toh saya fans ya bukan, haters juga bukan. Yang bikin saya geram adalah ketika sepak bola Indonesia berjalan dengan begitu gontai. Bagi saya pribadi, jika kamu pakai logika untuk sejenak berpikir, kondisi saat ini sudah sama parahnya ketika terjadi dualisme liga. Hanya saja, saat ini, para mafia bersatu dan bekerja sama secara rapi untuk memuluskan “pundi uang” mereka: Liga Indonesia.
Di mata saya, Persija Jakarta hanyalah satu sekrup kecil dari sebuah mesin besar bernama mafia. Persija seperti kuda tunggangan yang mengantar para mafia untuk mengeruk pundi dan merusak sepak bola. Tidak ada prasangka kepada Persija sebagai sebuah klub, dan terutama kepada Jakmania yang sudah susah payah mendukung, berkorban banyak uang, waktu, dan tenaga untuk mendukung tim di pertandingan kandang namun rasa tandang itu.
Satu hal lagi. Saya khawatir, masih banyak Jakmania di luar sana, dan fans sepak bola Indonesia yang belum tahu siapa pemilik Persija sebenarnya. Masih banyak yang menggunakan sindirian “Liga GW, gimana GW”. Seolah-olah sindirian itu dialamatkan kepada Gede Widiade. Namun, tahukah kamu, kalau Gede Widiade itu hanya “pegawai”, bukan pemilik?
Merujuk investigasi yang dilakukan oleh Tirto, saham mayoritas Macan Kemayoran bukan dipegang oleh Gede Widiade yang konon sudah membakar banyak uang untuk operasional.
Saat ini, Macan Kemayoran berada dalam naungan PT Persija Jaya Jakarta. Siapa pemilik saham mayoritas hingga 80 persen? Di dalam akta perusahaan, pemilik saham dikamuflase oleh sebuah perusahaan bernama PT Jakarta Indonesia Hebat (PT JIH). Siapa yang berkuasa di PT JIH? Ada tiga nama: Joko Driyono, Kokoh Afiat, dan Tigorshalom Boboy. Ketiga orang ini adalah komponen penting pada pengurusan PSSI sebelumnya.
Ketiganya jadi pejabat di PT Liga Indonesia, operator penyelenggara liga. Kala itu Jokdri—sapaan akrab Joko Driyono dari akronim namanya—sebagai CEO, Tigor sebagai sekretaris, dan Kokoh menjabat direktur keuangan PT Liga Indonesia.
Rezim berganti, hanya Tigor yang masih bertahan di PT Liga. Saat ini ia menjabat Direktur Operasional PT Liga Indonesia Bersatu, legal baru yang jadi operator kompetisi. Dalam akta PT JIH, Tigor disebut sebagai direktur. Namun, ia tak memiliki saham. Dan tentu kamu tahu, saat ini, Joko Driyono duduk sebagai Waketum PSSI. Dahsyat.
Sepak bola harus mengedepankan transparansi. Bermain di bayang-bayang seperti inilah yang membuat “mafia” tumbuh sangat subur. Bahkan, ketika dikonfirmasi Tirto Februari yang lalu, Ketua Jakmania, Ferry Indra Sjarief, mengaku tak tahu sama sekali detail pemilik klub kesayangannya saat ini.
“Gue enggak tahu, gue orang luar, masak tahu masalah dalam internal? Gue sebetulnya bisa dapat akses untuk tahu. Tapi kayaknya terlalu kepo deh,” katanya kepada reporter Tirto di kawasan Pondok Indah, 19 Februari lalu.
Oleh sebab itu, Gede Widiade, bagi saya sudah seperti Persija itu sendiri, menjadi sebuah “alat”. Tidak geramkah kalian dengan bayang-bayang itu?
Jangan keburu marah-marah lagi, karena ini sebuah fakta. Dan seperti kenyataan, fakta itu terkadang pahit. Meski pahit, kebenaran tetap kudu disampaikan. Jika sudah begini, masihkah ada kebanggaan dari juaranya Persija?
Dan kepada sepak bola Indonesia itu sendiri? Ketika klub dijadikan kendaraan politik yang lalu ditinggalkan ketika “si pemilik” sudah memenangi Pilgub, ketika jadwal liga kacau balau, ketika pengaturan skor rutin terjadi, ketika suap-menyuap menjadi sebuah hobi, ketika timnas tidak dirawat dengan baik.
Situasi Persija adalah gambaran sepak bola Indonesia itu sendiri. Jangan cuma mengarahkan caci-maki kepada sang juara, tapi jangan lupakan juga brengseknya Liga Indonesia. Marahlah dengan segala sesuatu yang terjadi di organisasi sepak bola kita.
Juaranya Macan Kemayoran harus menjadi penanda perlawanan. Jangan hanya jadikan Edy Rahmayadi sebagai sasaran tembak. Ingat juga bahwa perlu suara keberatan dari 2/3 voters. Siapa voters yang dimaksud? Ya para klub. Pergerakan akan berat, revolusi akan panjang. Januari 2019 akan diadakan kongres tahunan. Mulailah dari sana. Suarakan perubahan. Bergeraklah bersama-sama.
Kalau suara akar rumput tidak bersatu, yang mana suara kalian semua para fans dengan segala perbedaan dan retorika rival kedaerahan, maka perubahan sepak bola Indonesia hanya sebatas dongeng pengantar tidur.
Masihkah kita bisa berbangga dengan sepak bola Indonesia? Kalau soal ini, saya tegas menjawab: tidak! Kalau soal juaranya Persija? Itu kembali ke masing-masing kalian. Satu hal minimal yang bisa kita lakukan adalah mengucapkan: Selamat, Macan Kemayoran.