MOJOK.CO – Ole Gunnar Solskjaer punya tiga ramuan ajaib yang bikin Manchester United bangkit. Tiga ramuan itu adalah harapan, gairah, dan rasa memiliki yang besar.
Banyak yang mengakui bahwa Manchester United di rezim Sir Alex Ferguson bukan sebuah tim dengan corak permainan indah. Persetan permainan indah, yang dikejar United di setiap laga cuma satu, kemenangan. Dan terkadang, lewat berbagai cara, Setan Merah mengejar kemenangan yang sifatnya tunggal di sepak bola.
Manchester United dibenci banyak orang karena dominasi itu. Memang, ketika kamu berada di level tertinggi, sulit dikalahkan dalam waktu lama, bakal melahirkan banyak haters. Tapi memang begitulah tim dengan mental juara. Saya, seorang fans Arsenal, untuk satu hal ini, mengakuinya secara terbuka.
Nah, selepas Sir Alex Ferguson pensiun, United kehilangan dua hal yang sudah mendarah daging; mental juara dan determinasi. Situasi pun berubah. Yah, kalian sudah paham lah bagaimana proses “mediokerisasi” Manchester United. Dari penantang juara, menjadi klub papan tengah yang bakal merayakan posisi enam dengan sujud syukur.
Mental juara berubah menjadi mental kalahan. United, yang kental dengan nuansa menyerang, diubah secara paripurna menjadi sebuah tim yang takut kebobolan. Padahal, dahulu, United tidak akan berhenti berlari, menyerang lawan untuk mengejar atau menambah gol. Legenda squeaky bum time melekat setelah anak asuh Fergie bisa membalikkan keadaan di detik-detik akhir pertandingan.
Setelah zaman kegelapan itu, setelah identitas medioker melekat kuat, perubahan terjadi. Setelah Ole Gunnar Solskjaer ditunjuk menjadi pelatih menggantikan juru parkir, United berubah wajah.
Barney Ronay, kolumnis The Guardian menulis bahwa Ole Gunnar Solskjaer berhasil memberikan tiga hal penting yang memicu kebangkitan Manchester United. Tiga hal yang dimaksud Barney adalah berhasil memberikan harapan, gairah, dan rasa memiliki.
Ketika Jose Mourinho masih memegang kendali, pelatih brengsek yang sayangnya menjadi salah satu pelatih dengan piala terbanyak di dunia, United menunjukkan dengan sempurna, makna menjadi medioker. Sekumpulan pesepak bola dengan gaji tinggi yang determinasi dan kebahagiaan main bola saja kalah dari para peserta Liga Kampina.
Coba saja hitung berapa kali Jose harus berteriak ketika Anthony Martial enggan berlari turun untuk bertahan. Coba saja ukur berapa desibel kekesalan fans United di Old Trafford kerika Marouane Fellaini dijadikan jalan pintas bagi Jose ketika mengejar gol. Coba saja hitung seberapa banyak fans United di Twitter yang kesal ketika Tukang Parkir itu memainkan Romelu Lukaku alih-alih Marcus Rashford sebagai striker tengah.
Kok saya, sebagai fans Arsenal tahu semua itu? Ya sebagai fans rival yang kafah, kamu harus tahu kegoblokan tim lawan untuk dijadikan bahan banter di media sosial. Namun betul, saya angkat topi kepada kerja Ole Gunnar Solskjaer.
Sedikit banyak saya tahu perjuangan seorang pelatih mengembalikan determinasi sekumpulan medioker, menjadi tim yang kompak dan mau berkorban. Biasanya, pelatih baru membutuh setengah musim supaya idenya diterima baik oleh para pemain. Yah, kecuali ketika sekumpulan pemain tersebut sudah sangat jengah dengan pelatih lama mereka, pelatih yang gagal mengeluarkan kemampuan terbaik masing-masing pemain.
Inilah harapan dan gairah yang muncul dari kerja Ole Gunnar Solskjaer. Saya masih ingat betul cara bermain Romelu Lukaku di Piala Dunia 2018. Tepatnya ketika Belgia mempecundangi Brazil. Lukaku, yang di atas kertas ditempatkan sebagai striker tengah, justru bermain dari sisi kanan Belgia. Kenapa ia bermain seperti itu?
Pelatih Belgia, Roberto Martinez, ingin Lukaku mengeksploitasi bek kiri Brazil yang ditempati Marcelo. Bek kiri milik Real Madrid itu akan banyak naik menyerang dan sungguh tidak disiplin ketika kena serangan balik. Pun, Marcelo bukan jenis bek yang tangguh ketika bertahan. Apa yang terjadi? Dari sisi kanan, Lukaku berhasil melukai Brazil. Ia menunjukkan determinasi tinggi di peran yang “asing” itu.
Gairah yang sama terlihat selepas menit 70 ketika United menang atas PSG. Kaki Lukaku “sudah habis”. Ia tak lagi bisa berlari kencang karena stamina yang habis. Tapi, Ole Gunnar Solskjaer percaya dengan gairah striker berusia 25 tahun tersebut. Ole tidak mengganti Lukaku dengan pemain lain.
Kepercayaan di sepak bola adalah segalanya. Kepercayaan, melahirkan determinasi dan niat mau berkorban. Dua sifat itu melahirkan rasa memiliki yang hakiki.
Kepercayaan Ole Gunnar Solskjaer bikin Lukaku makin rajin bikin gol. Tiga pertandingan terakhir Manchester United, melawan Crystal Palace, Southampton, dan PSG, Lukaku selalu mencetak gol. Sebuah pemandangan langka di rezim Jose The Valet.
Ketika selebgram yang nyambi jadi pesepak bola, Jesse Lingard sampai bilang, “Ini mental United,” tepat setelah Rahsford bikin gol ke gawang PSG, kamu harusnya tahu perubahan besar yang terjadi dalam waktu singkat. Mental United, sesuatu yang hilang sejak SAF pensiun dan semakin dikubur oleh Jose The Valet di masa akhir jabatannya, muncul kembali.
Gairah dan rasa memilik seperti yang diungkapkan Barney juga terlihat di diri Chris Smalling. Bek asal Inggris itu terlalu akrab dengan blunder. Namun, di tangan Ole Gunnar Solskjaer, ia menjadi lebih tenang. Selama 95 menit laga vs PSG, Smalling memang hanya bikin satu tekel. Namun itu jadi bukti betapa solidnya United ketika bertahan, dengan Smalling sebagai salah satu tonggaknya.
PSG masih bisa bikin banyak peluang, salah satunya membentur tiang gawang. Pun ketika dengan gemilang mengalahkan Tottenham Hotspur, gawang David De Gea masih muda didekati lawan. Namun United tak lagi mudah panik. Mereka menjadi satu sebagai sebuah unit kerja. Corak yang sama terlihat di rezim SAF. Manchester United tidak lagi mudah kalah.
United yang tidak mudah kalah, melemparkan ingatan saya kembali di panasnya persaingan Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger. Apalagi ketika masa ketika Eric Cantona masih aktif bermain untuk United.
Saya lupa tahun pertandingan Manchester United vs Arsenal di Old Trafford. Saya menontonnya lewat sebuah rekaman video. Saat itu, dengan tangan yang dibebat perban karena patah, Cantona masih bisa bikin golazo ke gawang David Seaman. Tendangan bebas tidak langsung itu menghenyak saya, seorang bocah yang menggilai sepak bola. Dengan tangan patah saja ia bisa melepaskan tendangan bebas sekeras itu. Dengan tangan yang patah pun, Cantona tak mau kalah oleh siapa pun.
Situasi yang sama terjadi lagi semasa SAF vs Wenger. Persaingan dua manajer terhebat di Liga Inggris. Sikap tidak mau kalah oleh siapa pun itu berhasil ditransformasikan SAF kepada setiap pemain. Untuk alasan itu, meski sedang jelek-jeleknya, United tetap saja punya cara bikin jengkel Arsenal dan rival lainnya.
Ole Gunnar Solskjaer, memancarkan aura yang sama. Di mata saya, beliau mengembalikan United ke masa lalu, sekaligus sudah bermain di masa depan. Sebuah masa ketika United sudah selesai berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Respect penuh untuk kerja keras di periode yang sangat pendek. Tidak banyak pelatih yang bisa melakukannya.