MOJOK.CO – Dari heavy metal ke rock ballad, Jurgen Klopp membuat Liverpool menjadi super band yang mudah dicintai semua orang. Dominasi di Liga Inggris?
Menunggu itu memang menyebalkan. Apalagi ketika kamu orang yang begitu menghargai waktu dan kesempurnaan. Namun, bagi fans sepak bola, menunggu bisa menjadi kemewahan tersendiri. Kenapa bisa begitu?
Menunggu adalah perihal kesabaran. Sebagai unit kecil yang ikut berputar mengikuti orbit semesta sepak bola, mulai dari pemain, pelatih, hingga suporter, kesabaran sering membuah hasil tak terduga. Pemain muda yang matang sepenuhnya, pemain berkualitas yang sembuh dari cedera, pelatih yang sukses menanamkan idenya, hingga suporter yang berbahagia karena itu semua.
Liverpool dan Jurgen Klopp, di musim 2019/2020, bisa jadi akan merasakan buah kesabaran selama setengah dekade ke belakang. Menurut fans Liverpool, puncak mana yang lebih mengharukan? Yang terbaik di Eropa atau memutus “kutukan” di Liga Inggris selama hampir tiga dekade? Saya rasa jawabannya sudah pasti: Liga Inggris.
Tanpa bermaksud mengecilkan makna yang terbaik di Eropa, kembali merajai Inggris adalah impian yang masih tergantung. Yang terbaik di Inggris bukan saja soal “menambah jumlah piala”, tetapi menghancurkan olok-olok “tahun ini adalah tahun kita” yang dibuat oleh fans Liverpool untuk menyiksa diri mereka sendiri.
Fans The Reds butuh endorfin untuk menipiskan rasa sakit untuk kesekian ribu kali, mereka gagal menguasai Inggris. Musim lalu hanyalah salah satu musim penuh duri. Sebuah rutinitas bagi klub yang justru sangat sukses di panggung Eropa ini. Dan semuanya menuntut kita ke satu pertanyaan utuh: Bagaimana cara Jurgen Klopp meraih piala paling mengilap itu?
Jurgen Klopp belajar, Liverpool bersabar
Ia langsung dicintai ketika kali pertama menginjakkan kaki di kota pelabuhan itu. Jurgen Klopp diterima dengan baik, dirinya pun mampu menyesuaikan diri. Pribadinya yang riang, menyemarakkan suasana. Gairah sepak bolanya terpancar, senyumnya menggambarkan determinasi. Semuanya terjelaskan di atas lapangan.
Gairah dan determinasi adalah foto abadi Jurgen Klopp ketika menukangi Borussia Dortmund. Orang menyebutnya gegenpressing. Ahli menyebutnya “menyerang transisi lawan”. Liverpool menyebutnya heavy metal football.
Setiap laga di Anfield sudah seperi konser band metal. Menggelegar, penuh teriakan, dan bir tumpah di mana-mana. Saya ingat betul sebuah laga ketika Liverpool menjamu sebuah tim yang digambarkan sebagai “sebuah orkestra”. Mereka berusaha bermain cantik. Di akhir pertandingan, kita tahu, tim kemayu itu dihajar sempurna oleh gelegar gegenpressing dan tusukan tajam di setiap transisi.
Namun, seperti Kratos di God of War yang tengah masuk dalam mode Spartan Rage, kekuatan itu menggerogoti kulit dan stamina. Banyak pemain, dari masa Dortmund hingga Liverpool, tumbang karena ide bermain Jurgen Klopp. Cedera, dalam waktu yang lama, membuat tim yang coba ia bangun kehilangan fondasi di momen-momen penting.
Sebuah keadaan yang membuat The Reds tak bisa terus-menerus berlari kencang di maraton yang panjang. Sebuah keadaan, yang membuat Si Merah ini kesulitan menyalip para rival dengan “periodisasi” yang lebih baik. Maka, Jurgen Klopp belajar. Sang front man itu berusaha mengubah citra heavy metal menjadi rock ballad. Sama-sama menghentak, tetap lebih penuh dinamika dengan riff gitar yang lebih enteng di telinga.
Jurgen Klopp belajar. Ia mencoba menggambarkan make up baru di wajah The Reds. Tim ini menjadi lebih nyaman menguasai bola. Tidak lagi terlalu kesulitan ketika meladeni lawan yang memakai deep block. Periodisasi, sejak di menu latihan hingga pertandingan membuat rata-rata cedera tim berkurang.
Bisa menurunkan pemain-pemain terbaiknya dalam waktu yang lama, dengan stamina yang lebih segar, adalah salah satu buah kesabaran. Sabar belajar, sabar menerapkan ide. Tiga tahun melatih tim ini, Jurgen Klopp sudah menabung satu piala Liga Champions. Saya rasa, hanya tidak beruntung saja membuat mereka gagal mencongkel dominasi Manchester City musim lalu.
Meski lebih kalem, lebih ballad, Liverpool dan Jurgen Klopp tak lantas melupakan jiwa metal di dalam dirinya. Pressing intensitas tinggi dipakai dalam momen-momen yang tepat. Barcelona dicekik oleh pressing itu. Tim kelas tiga dari London merasakannya di final Liga Champions. Kombinasi kebugaran maksimal tim utama, nyaman menguasai pertandingan, dan kemampuan pressing intensitas tinggi membuat tim ini menjadi hampir sempurna.
Lantas, harus bagaimana musim depan?
Buah kesabaran lainya
Dua musim lalu, ketika tim yang sama ini mencapai laga final dan kalah oleh Real Madrid, mereka kehilangan satu kepingan penting. Kepingan itu bernama Alex Oxlade-Chamberlain. Setelah Philippe Coutinho pergi entah ke mana, Chamberlain menjadi outlet, menjadi pemain yang menjadi jembatan lini belakang dan depan.
Ia punya akselerasi dan kualitas teknis untuk menjadi jembatan itu. Semifinal melawan AS Roma, dua musim lalu, lalu melawan Manchester City ketika mereka begitu dominan, terdapat nama Chamberlain di dalam skuat. Mantan pemain Arsenal itu punya kemampuan yang disebut pressing resistance, membuatnya bisa menahan bola di lapangan tengah untuk didistribusikan ke depan.
Ketika cedera dalam waktu yang lama, Liverpool berusaha mengisi kualitas Chamberlain dengan dua pemain; Xherdan Shaqiri dan Naby Keita. Namun, kedua nama ini tidak sekonsisten Chamberlain di puncak permainannya. Untung saja, Jurgen Klopp sudah mengubah pendekatannya. Membuat Shaqiri dan Keita bisa berkembang dan menjadi bagian penting di Liga Champions.
Pra-musim musim 2019/2020, Chamberlain sembuh total. Uji tanding melawan Borussia Dortmund menjadi pertandingan kompetitif pertama sejak cedera panjang. Dan, ada banyak sebab fans Liverpool berbahagia. Chamberlain tidak kehilangan dua hal penting yang dibutuhkan The Reds; pressing resistance dan akselerasi.
Trio Fabinho, Jordan Henderson, dan Chamberlain adalah komposisi yang menarik. Ketika ia bermain di sisi kanan, ditemani oleh Trent Alexander-Arnold dan Mohamed Salah, Anfield bakal menyaksikan kembali konser-konser sebuah band rock. Namun, kali ini, dengan ide baru dari Jurgen Klopp, konser akbar itu akan diselingi oleh riff-riff gitar dan gebukan drum yang lebih manja.
Buah kesabaran lainnya adalah matangnya Harry Wilson dan Ryan Kent. Dua penyerang sayap ini berusia sama, 22 tahun. Banyak menghabiskan waktu untuk “disekolahkan” di tim lain. Pra-musim ini, keduanya menunjukkan kedewasaan dan kepercayaan diri yang layak untuk dipertimbangkan. Dipertimbangkan masuk tim utama untuk menemani Sadio Mane dan Mo Salah.
Posisi ujung tombak, Rhian Brewster mengaku siap menggantikan Daniel Sturridge. Jurgen Klopp mendukung penuh keingan Brewster. Pun pemain berusia 19 tahun ini tahu diri. Kepercayaan pelatih ada untuk tidak disia-siakan. Sebuah motivasi yang sudah cukup untuk membuat dirinya layak menemani Roberto Firmino dan Divock Origi.
Pemain-pemain muda ini sudah seperti pemain baru. Terkadang, bukan mereka yang berharga mahal atau menjadi kesayangan media yang dibutuhkan. Tim akan selalu membutuhkan pemain, yang tahu diri dan cocok dengan ide sebuah tim. Wilson, Kent, Brewster, ditambah Chamberlain belum punya nama cemerlang seperti Nicolas Pepe atau Ousmane Dembele. Namun, mereka adalah kepingan yang dibutuhkan dan fakta itu sungguh priceless.
Dari heavy metal ke rock ballad, Jurgen Klopp membuat Liverpool menjadi artis yang mudah dicintai semua orang. Membuat mereka menjadi super band yang sudah saatnya menapaki puncak Grammy di sepak bola Inggris: dominasi.