MOJOK.CO – Bukan Alisson yang menjadi biang pembantaian Liverpool di Anfield, tetapi karma yang dibawa Mo Salah sejak dua tahun yang lalu.
Empat kali kalah beruntun di kandang sendiri. Liverpool diprediksi sudah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan gelar juara Liga Inggris. Terakhir, The Reds dibantai Manchester City dengan skor 1-4. Yang dinobatkan sebagai biang kekalahan adalah Alisson.
Kiper Liverpool itu membuat dua blunder yang berujung dua gol cantik dari City. Meme blunder kiper asal Brasil itu langsung mekar semerbak di media sosial. Salah satunya menyebutkan bahwa Alisson “kerasukan” Lloris Karius. Mantan kiper legendaris Liverpool… untuk urusan blunder.
Namun, saya rasa, yang patut menjadi biang kekalahan Liverpool adalah Mo Salah, bukan Alisson. Ya, kamu tidak salah baca. Biang kekalahan Liverpool adalah karma dari diving yang dilakukan Mo Salah.
Setelah kebobolan terlebih dahulu, Liverpool menekan City begitu hebat. Hingga di suatu momen, Mo Salah berhasil melewati Ruben Dias, bek tengah City. Ruben berusaha mengejar Mo Salah sambil melambaikan tangannya ke belakang. Alhasil, tangan Ruben dan Mo Salah pun bertaut.
Seperti balerina dari Royal Ballet, Mo Salah bukannya berkelit dari tangan Ruben, tetapi memperagakan salah satu teknik balet yang sulit dilakukan, yaitu grand jete.
Zen RS pernah menjelaskan ihwal gerakan balet ini. Beliau menulis:
“Grand jeté secara harfiah berarti “lompatan besar”. Ia merujuk gerak dalam tarian balet yang dicirikan oleh lompatan di udara yang dimulai dengan salah satu kaki dan lantas mendarat dengan kaki yang satunya lagi. Saat melayang di udara, dua kaki penari biasanya merentang di depan dan belakang, kadang antara kaki yang di depan dan belakang bisa membentuk satu garis yang vertikal. Ini gerakan yang terhitung sulit dan biasanya hanya dilakukan oleh para penari yang sudah terlatih. Lompatan grand jeté ke arah depan biasa disebut en avant.”
Masalahnya, yang dilakukan Mo Salah adalah grand jete yang tidak sempurna. Kaki depannya tidak merentang ke depan, tetapi menekuk ke belakang. Tentu saja karena Mo Salah tidak sedang menari balet, tetapi sedang diving untuk mencari penalti. Wasit terpukau dan senggolan ringan itu berbuah penalti untuk Liverpool.
Nah, sebagai orang yang masih memegang adat istiadat dan punya iman yang agak kuat, saya percaya setiap perbuatan pasti akan mendatangkan karma. Kebetulan, Mo Salah melakukan diving, cara curang untuk menang. Maka sudah pasti, karma buruk yang bakal mampir.
Kadang karma tidak datang secara instan, tapi bisa juga sebaliknya. Karma datang dalam bentuk Alisson yang tiba-tiba kehilangan ketenangannya. Dua kali Alisson salah mengumpan. Padahal, jika Alisson berpikir tenang, Liverpool bisa keluar dari tekanan City dengan menendang bola sejauh mungkin.
Sebagai konteks, Mo Salah sendiri sudah lama “dituduh” sebagai tukang diving. Untungnya, media di Inggris sayang kepada Salah dan Liverpool. Polemik soal diving ini selalu tertimbun oleh kontroversi baru.
Jika kamu punya waktu, silakan telusuri kata kunci “Mo Salah diving habit” di mesin pencarian. Sejak 2019, tuduhan itu sudah kencang disuarakan. Bahkan ada satu akun YouTube yang membuat video animasi berisi parodi Mo Salah si tukang diving.
Dulu, Andy gray, komentatorSky Sports, pernah berkomentar bahwa Mo Salah itu terlalu mudah jatuh di dalam kotak penalti. Richard Keys menambahkan bahwa pemain asal Mesir itu cenderung memanfaatkan semua kontak fisik di dalam kotak penalti untuk mencari kesempatan diving.
Pada 2019, ketika Mo Salah diving dan Liverpool menang dengan skor 0-1, suporter Brighton meledek wasit habis-habisan. Mereka bernyanyi, “1-0 to the referee”. Saat itu, Salah bahkan diledek dengan kata “pathetic” atau ‘menyedihkan’ atas aksi teatrikalnya.
Ledekan itu muncul setelah di periode Boxing Day 2019, Liverpool mendapatkan empat penalti di empat pertandingan. Tiga penalti berasal dari aksi gemulai Mo Salah. Padahal sebelumnya, Liverpool hanya mendapatkan satu penalti dari 18 laga. Kalau tidak salah ingat, periode itu juga yang kelak memicu memunculkan isitilah Li-VAR-pool, untuk menggambarkan betapa Liverpool pernah sangat diuntungkan wasit dan VAR.
Dua tahun berselang dan kebiasaan diving itu tidak hilang juga. Jadi, bukan Alisson yang menjadi biang pembantaian Liverpool di Anfield, tetapi karma yang dibawa Mo Salah sejak dua tahun yang lalu. Ingat, bahkan maling juga berdoa sebelum beraksi, lalu berdoa lagi setelah aksinya sukses. Pathetic.
BACA JUGA Dari Rachel Vennya Kita Belajar Bahwa Liverpool Sudah Salah Beli Thiago, Seharusnya Beli Lord Jesse Lingard dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.