MOJOK.CO – Aaron Ramsey bukan pesepak bola yang sempurna. Ia dibenci karena banyak alasan. Namun, satu yang pasti, cinta kepadanya tak akan pernah berkesudahan.
“Part of the journey is the end.”
Tony Stark pergi dengan begitu gemilang. Ia laki-laki yang arogan, super narsis, dan enggan menghalah. Namun, ketika ia mengorbankan diri, membiarkan dirinya dimakan oleh Infinity Stones, semua orang menundukkan kepala, berduka. Pada akhirnya, berpisah juga bagian dari sebuah perjalanan.
Oh, Tony Stark juga dikenang dengan salah satu kalimatnya yang menegaskan bahwa pahlawan itu mereka yang berani menentukan jalan sendiri. Ia bicara begini: “Heroes are made by the paths they choose, not the powers they are graced with.” Aaron Ramsey melakukannya, kamu tahu. Ia adalah pahlawan dengan caranya sendiri.
Ramsey datang ke Arsenal di usia belia. Nama dan wajahnya lamat-lamat dikenali oleh sensor saraf saya. Saat itu 2008, ketika remaja berusia 17 tahun masuk berita utama. Belum karena kemampuannya, melainkan karena rivalitas Arsene Wenger dan Sir Alex Ferguson yang merambat ke mana saja, salah satunya pasar transfer.
Menembus tim akademi Cardiff City bak komet, keberadaannya menyita banyak pemandu bakat. Ketika itu, kita masih sulit mendapatkan rekaman pemain berbakat di media sosial. Ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Berbeda dengan sekarang, di mana ada sebuah akun di Twitter yang mendedikasikan dirinya untuk melacak dan membahas pemain-pemain berbakat.
Konon, saat itu, Sir Alex sudah melakukan pendekatan. Namun, kuncinya ada pada Wenger, yang tatap muka dengan Ramsey secara langsung di Swiss saat Euro 2008. “Wenger adalah alasan utama saya memilih Arsenal,” kata Rambo–nama panggilannya. Dan hingga penhujung kariernya bersama Arsenal, Ramsey adalah salah satu pemain “binaan” yang setia kepada Wenger.
Ketika ia datang, Gooners sedang menikmati periode puncak Cesc Fabregas, Samir Nasri, Emmanuel Adebayor, dan tentu saja, our beloved, Eduardo! Ya, Februari 2008 adalah bulan yang masih saya kutuk sampai sekarang. Salah satu momen paling menyedihkan, ketika potensi besar Eduardo dihajar oleh patah kaki.
Saat itu, sebelum Edu tumbang, Gooners menikmati salah satu periode penuh optimis. Enam bulan kira-kira, ketika lini depan Arsenal seperti selalu punya solusi untuk bikin gol. Rentetan performa menyenangkan, yang membuat kita tak memberi perhatian kepada Ramsey.
Setelah Edu tumbang, sekira Agustus 2008, krisis cedera, kawan lama Arsenal, datang juga. Wenger tak pikir panjang untuk memberi menit kepada calon golden boy setelah Fabregas cedera. Debutnya adalah melawan Twente. “Keberadaannya langsung terasa setelah ia masuk ke lapangan dan kamu bisa melihatnya sendiri kalau dia tidak takut,” kata Wenger kala itu.
Kawan lama datang di saat yang tidak terduga. Bagi The Gunners, cedera adalah kawan yang setia. Laga di rumah Stoke City, jadi petaka malam itu. Kakinya diterjang, bersih, patah. Ia absen hingga akhir musim. Calon golden boy tumbang oleh kawan lama. Here we go again…
Namun, inilah momen penentuan, yang membedakan pemain semenjana dengan kelas dunia. Membedakan orang biasa dengan pahlawan. Rambo pernah memilih tidak mau ikut Sir Alex, kini ia menentukan jalan sendiri (lagi) dengan tidak mau menyerah kepada kehacuran karier. Ia bangkit, dan menjadi pengait, mengikat Arsenal jadi satu unit.
Musim 2013/2014 adalah musim penentuan bagi dirinya. Robin van Persie menjual jiwanya kepada setan. Juara satu musim, untuk kemudian terpuruk selamanya. Tak ada protagonis, ia menentukan takdirnya sendiri. Ia menjadi bagian paling penting. Menjadi pencetak gol terbanyak, ketika bermain sebagai box-to-box.
Tidak berhenti sampai di situ, puasa gelar klub ini dibasuh oleh anggur terbaik dalam diri Ramsey. Golnya di final Piala FA membuat Arsenal merasakan lagi nikmatnya mengangkat piala. Pemain asal Wales itu melakukannya lagi ketika melawan Chelsea di final. Ia penentu. Orang bilang ia adalah big game player.
Dan memang itu yang terjadi. Musim ini, dengan menit bermain yang terbatas, ia memberikan segalanya di lapangan. Ia tidak berhenti berlari, menyediakan diri, menekan lawan, membuat peluang, mencetak gol.
Selama periode terbaik bersama Arsenal, bukan berarti ia tak punya pembenci. Memang, pemain berusia 28 tahun ini bukan call-carrier yang sempurna. Ia sering kehilangan bola di wilayah sendiri. O jangan salah, ia banyak melepas umpan yang salah hingga membuang peluang emas. Ia tidak sempurna. Ia dibenci.
Banyak fans yang ingin dirinya dijual, mumpung masih ada peminat dan harganya tinggi. Namun, Wenger bergeming. Ia tak mau melepas anak terbaiknya. Ketika Thierry Henry hengkang, Fabregas pergi, Alexis Sanchez minggat, rasa sesal itu entah kenapa tak memukul dengan telak. Kenapa? Kenapa? Henry adalah legenda, Fabregas kapten yang mengagumkan–meneruskan tongkat estafet dari Patrik Vieira di usia sangat muda bukan urusan ringan.
Mungkin, kesetiaan memang tidak bisa diberi harga. Kesetiaan itu tidak ternilai. Ketika Ramsey mengalahkan petaka, lalu menjadi salah satu “advance 8” terbaik di dunia, ketika klub-klub dengan kantong tebal datang, kesetiaan menjadi perisai terakhir. Perisai yang tak luruh oleh godaan. Perisai bapak dan anak. Perisai Wenger-Ramsey.
Aaron menyertai Arsene hingga ujung karier. Ketika Arsene memutuskan mundur, kita semua seharusnya tahu kalau Aaron pasti menyusul. Ia sudah memberikan semuanya, bahkan kaki dan nyawanya. Namun, terkadang, klub ini, beserta segala universe di dalamnya, gagal memahami konsep timbal balik. Arsenal ini adalah terjemahan terbaik untuk “kegagalan”. Wis wayahe?
Ia menangis di Emirates Stadium, di rumah megah di mana dirinya turut serta meletakkan pondasi-pondasi yang indah dan artistik itu. Stadion yang terkadang kehilangan nyawa dan gairah.
Ada banyak alasan untuk tidak suka kepadanya. Namun, kita semua tahu kalau cintanya kepada klub ini tak berkesudahan. The end adalah sebuah bagian, yang bisa berulang menjadi the new dawn kelak. Cinta, cukup satu saja alasan untuk menghormati Ramsey. Aaron, we love you 3000…