Sutan Syahrir, seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia ini, lahir di Padang, 5 Maret 1909. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan sehingga ia dapat mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan. Kesempatan ini memudahkannya mengakses buku-buku asing dan ratusan novel Belanda.
Setelah tamat dari MULO, ia melanjutkan sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sebuah sekolah Hindia Belanda termahal ketika itu. Di sana, ia bergabung dengan Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) dan aktif sebagai sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor. Hasil dari pementasan tersebut digunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan yakni, Cahaya Universitas Rakyat.
Di AMS, ia menjadi siswa yang aktif dalam klub debat serta berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Kegiatan sosialnya ini kemudian menjurus ke dalam kegiatan politis. Ketika saat itu para pemuda masih terikat dengan perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, justru ia bergabung dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis. Himpunan inilah yang kemudian menjadi penggerak penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Selepas AMS, ia melanjutkan sekolah ke Universitas Amsterdam dan mengambil studi Fakultas Hukum. Di sana, ia mempelajari sungguh-sungguh tentang teori-teori sosialisme. Selain menceburkan diri ke dalam sosialisme, ia juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia yang ketika itu dipimpin Mohammad Hatta. Sekembalinya ke Indonesia, ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru). Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pemerintah Belanda kemudian menangkap, memenjarakan, dan membuang Syahrir serta beberapa pimpinan PNI Baru ke Digoel, kemudian ke Banda Neira.
Berbeda dengan Soekarno-Hatta yang justru dekat dengan Jepang, di masa kependudukan Jepang, Syahrir justru membangun jaringan gerakan bawah tanah. Ia meyakini Jepang tidak mungkin memenangkan perang sehingga ia bersiap merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi dan mengetahui bahwa posisi Jepang sudah menyerah. Dengan didukung para pemuda, ia mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, ia menjalani peran sebagai Perdana Menteri termuda di dunia merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, karya terbesar Syahrir adalah sebuah tulisan yang berjudul Perjuangan Kita. Dalam tulisan tersebut, ia menceritakan tentang risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.