Bapak saya adalah lelaki bertangan terampil yang memiliki minat besar terhadap matematika. Namun, bukannya mengambil teknik elektro, teknik mesin, teknik nuklir, atau teknik-teknik yang lain, ia malah mengambil fakultas ekonomi. Akhirnya, Bapak hanya menjadi pegawai kabupaten. Saya selalu yakin, andai bapak tidak salah mengambil jurusan, mungkin sekarang ia sudah menjadi perancang pesawat yang handal dan tokcer, serta bisa bikin Indonesia berkesempatan untuk meluncurkan pesawat ulang-alik pertamanya di hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-70 setahun yang lalu.
Apa mau dikata. Hidup sudah berkata demikian. Mungkin peruntungan Bapak saya memang menjadi seorang pegawai pemerintahan, dan peruntungan Indonesia memang belum cocok buat bisa meluncurkan pesawat ulang-alik pertamanya. Ambil saja hikmahnya: kalaupun Indonesia memang gagal meluncurkan pesawat ulang-aliknya, setidaknya, Indonesia boleh sedikit beruntung karena memiliki satu lagi abdi yang jujur dan tekun, serta mau sekadar menunggangi Vespa PX hingga pensiun.
Dua puluh sembilan tahun Bapak menjadi pegawai negeri. Ia masuk di tahun 1980 dan pensiun di tahun 2009. Kalau berhentinya Suharto dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998 boleh dijadikan tapal penanda ambruknya orde baru, artinya selama 18 tahun Bapak menjadi baut kecil yang turut menyertai berputarnya mesin birokrasi mereka.
Namun begitu, tak lantas membuat Bapak setengah gila dengan kecewa terhadap keputusan Tuhan menutup lowongan nabi setelah menjadikan Muhammad yang terakhir sehingga Suharto luput menjadi yang selanjutnya. Sebaliknya, Bapak malah sempat melakukan pembangkangan kecil-kecilan.
Misalnya, suatu ketika, atasannya memerintahkan Bapak, dan tentu saja pegawai-pegawai lainnya untuk turut dalam kampanye Golkar. Sebelum menuruti perintah yang saat itu sesungguhnya lumrah tersebut, Bapak terlebih dulu mengajukan pertanyaan iseng: apa hubungan pegawai negeri dengan Golkar? Dan sang atasan pun menjawab dengan melarang Bapak membereskan pekerjaan kantor apa pun selain bermain catur selama setahun.
Pembangkangan-pembangkangan kecil lainnya, sepanjang saya ketahui, hanya berwujud gerutuan-gerutuan Bapak terhadap apa yang tayang di koran dan televisi. Dan oleh gerutuan bapak, rumah kecil kami sejenak berubah seakan menjadi ruang produksi pabrik: pengap dan berisik.
Yang digerutukan Bapak tak sanggup saya ingat benar rinciannya. Maklum, saat itu saya masih seorang bocah yang gemar membandari adu gambar umbul atau berburu gangsir. Kalau pun ada yang cukup melekat, adalah soal istilah-istilah ajaib bikinan rezim yang dipimpin oleh jenderal yang selalu tampak tersenyum itu. Istilah-istilah yang awalnya terdengar menjemukan, namun, karena mungkin saking seringnya mendengar, lama-lama membuat saya penasaran.
“Oknam-oknum. Oknam-oknum.” Demikian sering terdengar suara Bapak menimpali suara pembaca berita di televisi.
Oknum, saya yakin dikau juga kerap mendengar, mereka pakai untuk menyebut seseorang atau sekelompok orang anggota institusi tertentu, seringnya institusi negara, yang kedapatan melakukan penyelewengan. Misalnya, seorang polisi kedapatan beternak tuyul dan tuyul-tuyul tersebut ditadah oleh seorang hakim yang lantas menggunakan mereka untuk menggangsir tandonan uang negara dan uang gangsiran tersebut ia pakai untuk memodali seorang anggota DPR yang selalu mangkir dari rapat membandari judi dadu di pasar bawah laut Segara Kidul, maka masing-masing dari mereka disebut oknum polisi, oknum hakim, dan oknum anggota DPR.
Istilah-istilah lain yang sering pula digerutukan Bapak, sepanjang saya ingat, adalah kritik yang membangun, penertiban, pengamanan, dan penyesuaian harga. Yang lain, mohon maaf, saya sudah lupa.
Selain dilahirkan berbakat menjadi insinyur, saya rasa, Bapak juga berbakat menjadi seorang pendiam yang nyaris sempurna, terutama bagi anak-anaknya. Untuk yang pertama jelas, ia gagal. Tapi untuk yang terakhir, bisa dibilang Bapak berhasil. Namun, disebabkan tak tahan menanggung rasa penasaran, suatu ketika saya memberanikan diri bertanya ke Bapak. Dan Bapak menjawab, bahwa Orde Baru memang sengaja memakai istilah-istilah tersebut untuk mengaburkan kenyataan. Parahnya, istilah-istilah itu kemudian mewabah dan diucapkan pejabat, dikutip wartawan, lalu kita pun ikut-ikutan.
Lalu, kalau sekarang saya diperbolehkan menambah sedikit keterangan jawaban Bapak, barangkali yang dipikir Bapak seperti ini.
Oknum misalnya, sengaja dipilih untuk meringkus masalah sesungguhnya yang bisa jadi teramat sangat ruwet. Bisa saja bukan, penyelewengan tak hanya dilakukan oleh satu-dua orang saja melainkan jamak dilakukan siapa pun yang berada di dalam institusi dan bahkan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun? Bisa pula sistem dalam institusi sudah keliru sejak proses rekrutmen anggotanya. Namun, bisa juga sekadar luput dalam pengawasan regulernya. Pendeknya, begitu oknum disebut, maka persoalan dianggap atau diharapkan bakal segera rampung.
Misalnya lagi, kritik yang membangun. Orang waras tentu berpikir bahwa orde baru adalah rezim antikritik. Dan kritik yang membangun merupakan sekadar kamuflase demi memperlihatkan mereka sebagai rezim yang demokratis. Meski pada kenyataannya, cara mangap yang benar sudah ditentukan oleh rezim. Mangap miring sedikit, siap-siap jadi cangkingan intel Koramil.
Sementara penertiban pada kenyataannya adalah penggusuran, pengamanan adalah penangkapan, dan penyesuaian harga sejatinya adalah kenaikan harga.
Sekalipun gerutuan Bapak sempat mengganggu ketenangan keluarga kami, sudah sepantasnya saya bersyukur Bapak tidak bertindak kelewat dramatis. Misalnya dengan memasang toa di atap rumah demi menyiarkan gerutuannya atau menulis buku saku “Istilah-istilah Orde Baru yang Menipu”. Sebab kalau itu terjadi, perihal toa atau buku saku, tentu itu bakal menjadi kenangan terakhir yang bersinggungan dengan Bapak yang saya miliki.
Berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer. Karena istilah-istilah tersebut, Pramoedya sempat alih profesi menjadi matematikawan. Saya bayangkan, ia menghentikan dulu hobinya membakar sampah, menepikan dulu kerja hariannya mengliping koran, lalu duduk di muka meja kerja demi mengotak-atik persamaan sekaligus pertidaksamaan. Sampai kemudian, aha, ketemulah persamaan jitu: jika yang dikatakan orde baru adalah x, maka kenyataannya adalah minus x.
Sekali lagi, jika turunnya Suharto dari kursi presiden boleh dijadikan penanda ambrolnya orde baru, 18 tahun sudah itu berlalu. Namun, nyatanya, beberapa istilah bikinan mereka itu masih eksis hingga kini. Oknum, kau tinggal membaca berita-berita soal pengakuan almarhum Freddy Budiman tentang keterlibatan anggota BNN, Polri dan TNI dalam bisnis narkobanya, niscaya kau akan mendapatkan berkarung-karung. Penertiban, coba hitung di berita-berita soal penggusuran, dan kau pun bakal sekelabakan ketika mencoba menghitung jumlah pipis yang sudah kau lakukan saat menderita anyang-anyangan. Lalu, kritik yang membangun, kau tinggal menulis kritik soal pemerintahan Jokowi atau Ahok lalu menempelkan ke muka para pendukung-sampai-ngawur mereka, maka kau akan bertemu dengan turunannya: kritik dengan solusi, coba jadi RT dulu bisa apa kamu, urusi saja pekerjaanmu, dan dasar haters.
Jika Bapak yang kini di usianya yang ke-62 masih mengikuti segala kabar berita atau bahkan getol bermain sosial media, bisa jadi, ujung dari masih digunakannya istilah-istilah purba bikinan Orde Baru tersebut tak sekadar gerutuan, melainkan terkereknya tensi Bapak. Dan itu tentu berbahaya. Saya tak mau buru-buru menjadi yatim, tentu saja.
Untungnya tidak. Bapak sudah berpuluh tahun tidak berlangganan koran, dan sepengamatan saya, tidak pula membeli eceran. Bapak, setahu saya, juga tidak terhubung dengan internet. Memang, ketika saya pulang ke rumah, masih menemui Bapak di muka televisi. Malah, tahun-tahun belakangan ini nyaris saban waktu. Tetapi kini ekspresi Bapak sudah berbeda. Tiada lagi kemarahan. Tak ada pula gerutuan. Bapak diam, tenang, tampak santai dan damai menyaksikan tayangan bernama sinetron.
Itulah. Tulisan ini sengaja saya buat, selain berbagi cerita, juga untuk berterimakasih kepada industri pertelevisian, utamanya RCTI dan Pak Hary Tanoe. Sebab sinetron-sinetron favorit Bapak, sepengetahuan saya, adalah yang tayang di RCTI. Dan yang termutakhir, tentu saja Anak Jalanan, sinetronnya Mas Boy dan Mbak Reva.
cinta itu buta dan tuli
tak melihat tak mendengar
namun datangnya dari hati
tidak bisa dipungkiri
itu benar, memang benar
Diam-diam, saya menunggu momen ketika Bapak tiduran di kasur depan televisi sambil mendendangkan bait pertama lagu pengiring sinetron tersebut. Bersikap santai dan bernyanyi, konon, kian menyentosakan tubuh dan memelarkan umur. Sehat selalu dan panjang usiamu, Pak!