Bulan puasa, rasanya durhaka jika Mojok, melalui Mojok Institut dan rubrik Nabati, tidak membahas soal cincau. Bisa kualat kita.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, cincau adalah produk olahan makanan dan minuman berbentuk gel yang dibuat dari ekstrak daun tumbuhan tertentu.
Nah, satu yang sering tidak diketahui oleh banyak orang adalah, ternyata, cincau yang selama ini kita kenal sejatinya berasal dari tidak hanya satu jenis daun. Ia bisa dibikin dari beberapa jenis daun.
“Daun cincau”-nya orang Jawa Barat, misalnya, boleh jadi berbeda dengan “daun cincau” yang dimaksud oleh orang Jawa Tengah. Begitu pun dengan sebutan “daun cincau” bagi orang Kalimantan. Itulah sebabnya, ketika kita mencari gambar “daun cincau” di Google, maka yang tampil adalah gambar beberapa jenis daun yang berbeda. Hal simpel yang seringkali bisa memicu perdebatan dan perpecahan antar etnis yang bisa berujung pada konflik. Nah, tulisan ini diulas salah satunya untuk menyudahi konflik cincau tersebut. Sebab Mojok tidak ingin Indonesia terpecah belah hanya karena cincau.
Lalu, daun manakah sebenarnya yang dimaksud dengan daun cincau?
Ternyata eh ternyata, ada empat jenis daun yang lumrah diolah sebagai cincau, bukan hanya satu. Keempat daun tersebut adalah: Cyclea barbata atau yang lebih dikenal sebagai cincau hijau, Mesona palustris alias cincau hitam, Stephania hermandifolia alias cincau minyak, dan yang keempat, Premna oblongifolia alias cincau perdu. Keempat daun tanaman tersebut kesemuanya berhak untuk disebut sebagai daun cincau.
Begitulah, pembaca. Berbeda-beda tetapi tetap cincau jua.
Yah, terlepas dari banyaknya versi cincau yang berkembang di Indonesia, cincau tetaplah kuliner yang nikmat. Cincau begitu menyegarkan bila dibikin es dan diminum saat berbuka puasa atau saat cuaca sedang panas-panasnya.
Namun, ia juga bisa menjadi sangat kering dan menyebalkan jika dibikin tebak-tebakan: cincau-cincau apa yang egois? Aku cincau kau dan dia.
Garing banget, anjiiiing.