Narasi sejarah Indonesia disusun ulang oleh rezim baru. Rezim baru tetapi rasa lama. Rezim tentara pedagang yang di mimbar pidato selalu ngomongin anti asing. Tapi justru hari ini kita lihat antek asing 100%.
sesudah reformasi, pernah dilakukan pemutakhiran berjilit-jilit buku sejarah nasional Indonesia yang dikerjakan dengan tekun oleh salah satunya ini tentara yang sastrawan bernama Nugroho Noto Susanto.
Edisi pemutakhiran itu atau edisi updatean itu diterbitkan persis memperingati 100 tahun kebangkitan nasional 2008. Setelah itu kita enggak mendengar lagi ada usaha ngutak-ngatik perihal sejarah Indonesia. Sampai tahun ini, rezim Presiden Prabowo Subianto mencoba ngocok ulang sejarah Indonesia.
Kalau ditanya apa yang saya bayangkan soal negara menghadirkan sejarah itu ke publik? Tentu bukan sebuah buku sejarah yang kehadirannya langsung digasak habis-habisan oleh publik.
Padahal, kalau negara benar-benar ingin menghadirkan sejarah yang hidup, yang adil, yang bermakna, maka sejarah itu harus bicara tentang peristiwa-peristiwa kunci: saat tokoh dan rakyat bertemu dalam gelombang sejarah. Sejarah bukan daftar nama, bukan daftar jasa, dan bukan alat pencuci dosa.
bukan ingin hanya menyalahkan. Tapi Jasmerah juga ingin mengusulkan bentuk baru—bentuk yang lebih jujur, lebih hidup, lebih manusiawi. Terutama kayak apa model buku sejarah ditampikan dan ditulis dengan cara bagaimana







