Dalam lima tahun terakhir, nama Dr. Fakhruddin Faiz semakin dikenal luas publik, khususnya lewat forum “Ngaji Filsafat” yang diadakan setiap seminggu sekali di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta. Meski kini ribuan orang menyimak kajiannya, baik secara langsung maupun lewat berbagai kanal YouTube, tak banyak yang tahu bahwa ngaji filsafat dimulai sejak 2013, dengan audiens yang hanya belasan orang.
Momen pandemi menjadi titik balik. Ketika banyak orang mengalami kegelisahan, kajian Dr. Fakhruddin Faiz menjadi pelipur sekaligus pencerah. Dengan gaya penyampaian yang jernih, runtut, dan membumi, ia menyampaikan gagasan-gagasan filsafat yang kompleks menjadi mudah dipahami tanpa menyederhanakan substansinya.
Lantas apa yang bisa kita pelajari dari hal tersebut?
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari sosok Dr. Fakhruddin Faiz. Pertama, istiqamah—konsistensi ia mengajar tak pernah terpengaruh oleh jumlah hadirin. Kedua, kesadaran bahwa mengajar adalah juga sarana belajar ulang. Ketiga, gaya penyampaiannya yang lembut, runtut, dan tidak menggurui. Keempat, kesabaran dalam membimbing audiens dari level paling dasar. Kelima, kebijaksanaan sebagai inti dari berfilsafat, yaitu keberanian berpikir radikal, komprehensif, dan koheren.
Hal lain yang membedakan beliau adalah kemampuan mengontekstualkan pemikiran filsuf klasik ke dalam persoalan kekinian. Ditambah selipan humor berkualitas yang membuat forum tidak kaku, namun tetap berisi.
Ngaji Filsafat ala Dr. Fakhruddin Faiz, menunjukkan bahwa konten edukatif dan reflektif punya tempat yang luas di ruang digital. Maka daripada terus mengeluhkan isi media sosial, mungkin kita bisa mengikuti teladan beliau: mengisinya dengan hal-hal yang mencerdaskan dan menenangkan.







