Nama saya Litha, saya anak ke 5 dari 5 bersaudara. Asal saya dari Kupang, NTT. Semua kakak saya sudah berkuliah dan sudah lulus. Walaupun punya banyak saudara, hidup saya tidak serame itu, sepi-sepi saja, karena semua kakak saya merantau ke Kota Jakarta untuk kuliah.
Sejak SD, saya sudah banyak pengalaman mengantar kakak ke bandara untuk jadi anak rantau sesuai gilirannya masing-masing. Saya jadi seperti anak tunggal, setiap hari hanya berdua dengan ibu saya karena bapak bekerja di luar pulau.
Biasanya mengantar, sekarang saatnya saya yang jadi anak rantau. Keluarga di Kupang ikut mengantar saya ke bandara untuk ke Jakarta. Saya masuk kuliah di tahun 2021. Situasi pandemi membuat kampus masih menggunakan sistem daring. Jadi semester satu sampai semester dua, saya masih dapat berkuliah dari kampung halaman.
Yah, hitung-hitung mengundur-undur keberangkatan karena sejujurnya saya takut meninggalkan rumah, keluarga, kamar tidur, teman-teman saya, dan banyak lagi.
Sempat berpikir, coba saja sistem daring ini bisa dijalani hingga lulus, pasti akan lebih baik. Tapi di satu sisi merasa sayang juga jika tidak mencoba pengalaman di luar sana.
Sampai pada libur semester dua menuju semester tiga, saya mendapat informasi dari website kampus bahwa kegiatan belajar mengajar sudah akan berlangsung secara onsite.
Hari yang saya takutkan tiba, saya harus meninggalkan kampung halaman saya dan semua yang ada di dalamnya. Sepanjang perjalanan ke bandara maupun perjalanan udara sampai ke Jakarta, saya hanya menahan diri untuk tidak menangis. Berusaha kuat dan mempersiapkan diri, karena sesungguhnya tantangan hidup yang baru sedang menanti
Memikirkan dan melakukan pekerjaan rumah sediri
Di Jakarta saya tinggal di kontrakan bersama kakak laki-laki saya yang sudah lulus dari satu tahun kemarin dan masih dalam proses mencari pekerjaan tetap. Sempat berpikir, mungkin jauh dari rumah dan tinggal sendiri tidak akan disuruh mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mengepel, dsb, itu bisa jadi poin plus.
Namun, ternyata semuanya di luar ekspektasi saya. Lima bulan pertama tinggal dengan kakak, saya harus ke pasar sendiri, memikirkan bahan makanan yang harus saya beli, mencari referensi olahan makanan apa yang ingin saya buat.
Juga mencuci piring, membersihkan dan merapikan rumah sendiri, mencuci baju dengan tangan, semuanya sendiri. Kakak laki-laki saya? Bangun jam 12 siang menyantap masakan yang sudah saya masak, dan kembali bersantai. Selanjutnya bermain game online lagi sampai hari gelap.
Banyak pengalaman kesal yang selama masa ini, tapi pengalaman yang paling sedih adalah ketika saya punya jadwal kelas jam 7.30 pagi sampai jam 6 sore. Saya harus bangun dari jam 4 subuh untuk masak sekaligus bersiap ke kampus.
Jam 6 sore, ketika pulang ke kos mendapati nasi telah habis dan tidak ada niat dari kakak saya (yang tidak melakukan apa-apa seharian itu), untuk memasak nasi. Setelah berlelah-lelah dari kampus dan keadaannya seperti ini, jujur saya menangis.
Bagi saya ini tidak sepele, menahan kantuk berusaha bangun untuk menyiapkan makanan, sampai ke kampus harus menguras tenaga dalam belajar, tetapi ketika pulang harus memasak lagi karena masakan yang tadi pagi sudah habis kakak saya makan.
Menjadi anak rantau itu berat
Siapa sangka kondisi seperti ini berjalan bahkan sampai saat ini. Ya, mungkin ada sedikit perubahan pada sifat kakak setelah saya berjuta-juta kali marahi dia dan berujung pada saya mogok masak. Sesekali ia mau merendahkan dirinya untuk memasak nasi ketika melihat nasi sudah habis.
Memikirkan harus memasak apa, membeli apa dan memikirkan apakah uang bulanan cukup untuk keperluan-keperluan yang ada juga sangat membebani pikiran. Kalo di rumah ibu, mungkin disuruh masak, tapi tidak sampai mengatur uang untuk cukup makan selama sebulan kan. Mungkin orang tua menyuruh membersihkan rumah, tapi ibu mengambil alih cucian piring, artinya masih ada kerja sama di antara kami.
Tapi sekarang? Seperti saya bekerja dengan diri sendiri, sebagai pelayan yang melayani kakak saya setiap hari. Saya hanya membayangkan, bagaimana selama ini dia bisa tinggal sendiri dengan kebiasaan-kebiasaan dan pola pikirnya yang sekarang.
Saya selalu berharap rasa tanggung jawabnya akan hal sederhana di kehidupan sehari-hari dapat tumbuh agar Yang Maha Kuasa dapat secepatnya mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar di luar sana, di dalam pekerjaannya nanti.
Litha, Duri Kepa, Kebon Jeruk. [email protected]
BACA JUGA Penyesalan Menjadi Mahasiswa Nolep Saat Masih Mab dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini