Pada akhirnya, aku bisa meluangkan waktu untuk menulis endapan pikiran emak-emak yang baru saja punya anak dan hari ini dia genap usia 4 bulan. Selamat ulang bulan anakku. Terimakasih tidur pulasmu malam ini menjadi perizinanmu untukku menulis pengamatan tentangmu.
Sebagai ibu yang baru punya anak, pasti nggak cuma aku aja yang ngalamin perasaan ketar-ketir dan mudah khawatir. Tapi satu hal yang kuyakini jika semestinya aku sungguh-sungguh belajar mengamati dan mempelajari anakku boleh jadi Allah sendiri yang menerbitkan surat izin praktek bidan atas anakku sendiri. Amin, aminin Ya Rabb..
Bulan ke-0. Hari demi hari kuresapi kedatangannya, ada beberapa kemampuan dasar pada bayi antara lain ialah menguap, bersin, batuk, menyusu, dan belum bisa merespon lelucon, tetapi sesekali tersenyum entah apa penyebabnya. Masa-masa ini sepertinya bagi dia adalah masa transisi antara dunia dalam rahim dan dunia nyata.
Beberapa hal yang dia lakukan seperti tidur dengan kaki tersilang dan kedua tangan bertelungkup di depan kepala atau sampingnya merupakan kebiasaannya selama dalam kandungan. Kenyamanan lain yang ia dapatkan ialah kehangatan oleh ruang yang terbatas sehingga anak akan tidur pulas ketika dibedong untuk usia ini.
Waw di usia segini aku masih bisa mengurus diri karena kebanyakan aktivitasnya memang tidur, kalau dia bangun dari tidurnya itu pertanda dia sedang istirahat dari aktivitasnya.
Bulan pertama dan kedua
Langsung bulan 1-2 dulu yaa, keburu kemalaman aku menulisnya. Anakku adalah alasan bukan sembarang alasan untukku setiap hari bersyukur sebagai emak-emak. Sebab dia, aku tidak akan pernah tuntas untuk belajar jika hanya sebatas membaca buku parenting saja.
Di bulan ini yang kutunggu-tunggu ialah kemunculan suaranya. Maksudku yang pasti bukan suara tangisannya ya, karena aku ingin sekali segera bercakap-cakap dua arah dengannya.
Suara itu ada, tapi sangat lirih, dan jarang sekali. Aku cuma bertiga dalam satu rumah kontrakan, di usianya yang ini cukup membuatku dan suami kewalahan. Jam tidur anakku sangat berantakan, kalau tidak tengah malam ya azan subuh baru mulai tidur dengan pulas.
Kondisi rumah seisinya jadi sakit. Segala cara untuk mengatur jam tidurnya belum juga berhasil membuatnya belajar tidur normal. Oke, akhirnya aku mengalah. Akulah yang perlu belajar, mengertinya, dan memakluminya sehingga kuikuti saja apa maunya.
Bulan ketiga
Bulan ketiga aku menjadi ibu muda alias emak-emak. Aku sementara pulang dulu ke rumah ibuku karena suami sedang ada tugas kerja di luar kota. Keluarga di rumah kaget dengan anakku yang kebiasaannya tidur tengah malam.
Pada hari-hari berikutnya jadi aku yang kaget, jam 8 malam sudah bisa tidur? Dan hanya terbangun ketika ia lapar saja? Lalu tidur pulas lagi?
Sungguh seperti keajaiban yang turun tak disangka-sangka. Bagiku itu rezeki nomplok, bisa istirahat dan bercengkrama dengan diri sendiri. Ternyata yang perlu kusadari ialah bahwa aku tidak sedang mengurusnya sendirian.
Aku selalu bersama Tuhan, ketika tanganku bukan lagi sebagai perantara-Nya. Dia tidak lepas tangan begitu saja, sehingga Tuhan membimbing anakku untuk mengenal malam dan membangunkannya saat pagi hari. Tidak hanya itu, tidurku juga selalu dibangunkan oleh-Nya setiap 2-3 jam sekali padahal saat sebelum punya anak aku adalah orang yang doyan tidur.
Terbangunku saat malam hari karena harus menyusui atau mendengar bunyi tangisannya, memandikannya saat pagi dan sore hari, menemaninya belajar bermain setiap waktu dia membuka mata, bagiku tak layak disebut sebagai pengorbanan.
Menurutku, tidak pernah satu pun sebagai emak-emak aku korbankan demi anakku karena memang inilah yang menjadi mandat Allah untuk menjadikanku sebagai ibu. “Ibu” ya, itu panggilan pilihan ketika anakku sedang menyeruku nanti.
Kalau dipikir-pikir anak akan lebih mudah untuk mempelajari panggilan ayah karena pengucapannya yang hanya perlu satu huruf vocal saja (aa..aa.. yaa..yaa.. aa..yaahhh). Akhirnya kemungkinan terbesarnya adalah ayah yang bisa ia ucapkan lebih dulu.
Tapi tak masalah, “nak, ibu yakin kamu mengenal ibu tidak hanya sebatas kata-kata saja. Selain bibirmu, ada matamu, telingamu, tanganmu, rengekanmu, dsb. Mereka semua juga berkata-kata. Kita saling memahami itu. Dan kita perlu sadar bahwa kata tidak melulu tentang suara.”.
Hentya Dewi Qoriana Ngaglik, Sleman [email protected]